Seakan-akan tiada henti dunia
politik di Indonesia selalu “hingar bingar”. Rasanya baru kemarin kita melihat
pertarungan antara Goliat dan David ketika persoalan Cicak lawan buaya dalam
perseteruan antara KPK dan Polri. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana
para pimpinan KPK lebih banyak “mondar-mandir” di Kepolisian setelah
ditetapkannya Bibit S Waluyo dan Chandra Hamzah (dalam kasus Bibit Chandra)
sebagai tersangka. Hampir praktis, energi KPK jilid II “dikriminalisasi”
setelah sebelumnya Antazari Azhar dituduh dalam kasus pembunuhan.
Pertarungan terbuka kembali
terjadi. KPK menetapkan Irjen Pol Djoko
Susilo sebagai tersangka simulator SIM. Dari
berbagai sumber diketahui, Nilai Proyek SIMULATOR SIM aslinya Rp.
74,580 M. Kemudian di Mark-Up menjadi Rp. 196,87 M
dengan rincian - Simulator motor/unit Rp. 42,8 juta (aslinya)
menjadi Rp. 77,79 juta (Mark Up), - Simulator mobil/unit Rp. 80 juta
(aslinya) menjadi Rp. 256,142 juta (Mark Up), 700 simulator motor Rp. 54,453 M–>556
simulator mobil Rp. 142,415 M = Rp. 196,868M
Nilai diatas merupakan nilai
dalam kontrak setelah di Mark UP, padahal seharusnya : 700 simulator motor
Rp. 30,100 M –>556 simulator mobil Rp. 44,480 M = Rp.
74,580 M SELISIH = Rp. 196,868M - Rp.
74,580 M = Rp. 122,286
KPK datang “menggeledah”
Korlantas Mabes Polri. Dalam proses penyitaan di Korlantas Mabes Polri, datang
“petinggi” Polri yang kemudian “menghalangi-halangi” penyitaan yang dilakukan
oleh KPK (berita berbagai media massa).
Bahkan 3 orang pimpinan KPK (Abraham Samad, Busyro Muqodas, Bambang Widjojanto
harus datang ke lokasi) dan berdebat dengan “petinggi” Polri. Bahkan sempat
disebutkan adanya “insiden kecil” terhadap proses penyitaan.
Pembenahan Menyeluruh
Momentum terhadap pemeriksaan
“JS’ dalam dugaan korupsi terhadap alat simulator di Korlantas Mabes Polri
merupakan momentum perbaikan menyeluruh. Harus diakui adanya “budaya patron”
yang menempatkan berbagai posisi penting di tubuh kepolisian “rawan” korupsi.
Tuduhan berbagai pegiat anti korupsi dalam issu “rekening gendut” seakan-akan
jawaban asumsi di tengah masyarakat terhadap kasus korupsi di tubuh kepolisian.
Terlepas dari akhir lakon
“perseteruan” antara KPK dan Kepolisian dalam kasus ini, momentum perbaikan
kepolisian harus dibenahi. Berbagai tuduhan “miring” peran sektor keamanan
berbagai konflik sumber daya alam yang menempatkan posisi kepolisian “lebih
banyak berpihak kepada perusahaan” daripada pelindung masyarakat membuktikan.
Kasus penembakan (entah kasus yang paling
hangat di cinta Manis antara PTPN, kasus Senyerang) sekedar
mengkonfirmasikan atas asumsi di tengah masyarakat.
Harus diakui, pembenahan di tubuh
kepolisian baru berjalan di lapis paling bawah. Berbagai kasus-kasus yang
melibatkan para “bintara” lebih banyak menghiasi media massa daripaa kasus-kasus yang melibatkan
“petinggi” kepolisian.
Tuduhan seperti kasus narkoba,
kasus pemukulan tahanan “menjadi” blow up yang terus diberitakan. Bahkan
lengkap dengna upacara “pencobotan dalam sidang-sidang.
Upaya pembenahan ini tidak salah
dan terus dilakukan. Namun mengungkapkan berbagai skandal memalukan itu juga
harus diberi porsi seimbang dengan pembongkaran kasus-kasus korupsi yang
menyentuh lapisan level di atasnya.