02 Agustus 2012

opini musri nauli : BELAJAR DARI KASUS DI TUBUH KEPOLISIAN

Seakan-akan tiada henti dunia politik di Indonesia selalu “hingar bingar”. Rasanya baru kemarin kita melihat pertarungan antara Goliat dan David ketika persoalan Cicak lawan buaya dalam perseteruan antara KPK dan Polri. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana para pimpinan KPK lebih banyak “mondar-mandir” di Kepolisian setelah ditetapkannya Bibit S Waluyo dan Chandra Hamzah (dalam kasus Bibit Chandra) sebagai tersangka. Hampir praktis, energi KPK jilid II “dikriminalisasi” setelah sebelumnya Antazari Azhar dituduh dalam kasus pembunuhan.


Pertarungan terbuka kembali terjadi.  KPK menetapkan Irjen Pol Djoko Susilo sebagai tersangka simulator SIM. Dari berbagai sumber diketahui, Nilai Proyek SIMULATOR SIM aslinya Rp. 74,580 M. Kemudian di Mark-Up  menjadi Rp. 196,87  M dengan rincian - Simulator motor/unit  Rp. 42,8 juta (aslinya) menjadi Rp. 77,79 juta (Mark Up), - Simulator mobil/unit  Rp. 80 juta (aslinya) menjadi Rp. 256,142 juta (Mark Up),  700 simulator motor Rp. 54,453 M–>556 simulator mobil Rp. 142,415 M = Rp. 196,868M

Nilai diatas merupakan nilai dalam kontrak setelah di Mark UP, padahal seharusnya : 700 simulator motor Rp. 30,100 M –>556 simulator mobil Rp.  44,480 M = Rp. 74,580 M SELISIH     = Rp. 196,868M  - Rp. 74,580 M = Rp. 122,286
KPK datang “menggeledah” Korlantas Mabes Polri. Dalam proses penyitaan di Korlantas Mabes Polri, datang “petinggi” Polri yang kemudian “menghalangi-halangi” penyitaan yang dilakukan oleh KPK (berita berbagai media massa). Bahkan 3 orang pimpinan KPK (Abraham Samad, Busyro Muqodas, Bambang Widjojanto harus datang ke lokasi) dan berdebat dengan “petinggi” Polri. Bahkan sempat disebutkan adanya “insiden kecil” terhadap proses penyitaan.

Pembenahan Menyeluruh

Momentum terhadap pemeriksaan “JS’ dalam dugaan korupsi terhadap alat simulator di Korlantas Mabes Polri merupakan momentum perbaikan menyeluruh. Harus diakui adanya “budaya patron” yang menempatkan berbagai posisi penting di tubuh kepolisian “rawan” korupsi. Tuduhan berbagai pegiat anti korupsi dalam issu “rekening gendut” seakan-akan jawaban asumsi di tengah masyarakat terhadap kasus korupsi di tubuh kepolisian.

Terlepas dari akhir lakon “perseteruan” antara KPK dan Kepolisian dalam kasus ini, momentum perbaikan kepolisian harus dibenahi. Berbagai tuduhan “miring” peran sektor keamanan berbagai konflik sumber daya alam yang menempatkan posisi kepolisian “lebih banyak berpihak kepada perusahaan” daripada pelindung masyarakat membuktikan. Kasus penembakan (entah kasus yang paling hangat di cinta Manis antara PTPN, kasus Senyerang) sekedar mengkonfirmasikan atas asumsi di tengah masyarakat.

Harus diakui, pembenahan di tubuh kepolisian baru berjalan di lapis paling bawah. Berbagai kasus-kasus yang melibatkan para “bintara” lebih banyak menghiasi media massa daripaa kasus-kasus yang melibatkan “petinggi” kepolisian.

Tuduhan seperti kasus narkoba, kasus pemukulan tahanan “menjadi” blow up yang terus diberitakan. Bahkan lengkap dengna upacara “pencobotan dalam sidang-sidang.

Upaya pembenahan ini tidak salah dan terus dilakukan. Namun mengungkapkan berbagai skandal memalukan itu juga harus diberi porsi seimbang dengan pembongkaran kasus-kasus korupsi yang menyentuh lapisan level di atasnya.