Lagi-lagi Denny Indrayana (DI/Wamenkum HAM) berkicau di twitter. “Advokat koruptor adalah koruptor itu
sendiri. Yaitu advokat yang membela kliennya yang nyata-nyata korupsi menerima
bayaran dari uang hasil korupsi.
Pernyataan DI sering mewarnai media massa sebagai pernyataan yang kontroversial,
inkosisten, menabrak “rambu-rambu.
Masih ingat “perseteruan” antara
Yusril Ihza Mahendra (YIM) dengan Jaksa Agung Hendarman Soepanji. Setelah
kemenangan YIM, justru DI memberikan keterangna pers yang “justru” mengelimir putusan MK. Persoalan ini kemudian “tuntas” setelah MK memberikan keterangan
pers.
Begitu juga persoalan “remisi”
yang kemudian digugat di PTUN. DI berjanji tidak akan “banding” apabila kalah di PTUN. Namun apa yang terjadi. Walaupun
kalah, putusan PTUN tetap diajukan banding. Belum lagi polemik di LP Pekanbaru
yang hingga kini masih misteri.
Sebagai pernyataan yang disampaikan oleh pejabat publik
menimbulkan implikasi yang cukup serius. Tanpa memasuki wilayah substansi, ada
beberapa “sesat pikir” yang harus
diluruskan.
Pertama. Adanya perjuangan “anti
korupsi” sudah menjadi agenda nasional yang dirumuskan baik dalam TAP MPR,
UU anti korupsi maupun berbagai agenda nasional. Artinya, perjuangan “anti
korupsi” sudah menjadi issu dan agenda nasional dari berbagai komponen untuk
terus disuarakan dan dilawan.
Semua pihak sudah “gregetan”
terhadap berbagai penyimpangan yang terjadi baik dari hulu (penerimaan uang negara), di tengah (berbagai penyimpangan proyek) maupun di
hilir (pelaksanaan proyek). Rasa “gregetan” ini kemudian sudah menjadi
keprihatinan bersama.
Namun, rasa “gregetan”
ini tidaklah menjadikan para koruptor tidak menjadi kapok dan sadar. Hampir
setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara sudah “tercemar”. Hampir seluruh sektor (termasuk sektor agama dan pendidikan) tidak bisa dilepaskan dari “suasana korupsi”. Termasuk beras raskin,
pungli masuk sekolah, “menilep dana bencana hingga berbagai sektor kehidupan
masyarakat. Sehingga tidak salah kemudian, agenda nasional untuk memberantas
korupsi menjadi perjuangan bersama.
Persidangan yang mengadili korupsi menjadi perhatian publik.
Hampir praktis, persidangan korupsi menjadi berbagai persoalan masyarakat dan
wacana tidak henti-hentinya ditayangkan dan menjadi diskusi (Baik kampus maupun aktivis anti korupsi).
Dari titik ini, sebenarnya tidak ada yang salah yang disampaikan
oleh DI. Namun menyamakan antara “advokat
koruptor” dengan koruptor merupakan pernyataan yang berbahaya. Sama tuduhan
terhadap “advokat teroris” dengan
teroris, “advokat pembunuh” dengan
pembunuh, “advokat penipu” dengan
penipu, “advokat pemerkosa” dengan
pemerkosa dan seterusnya.
Dalam pembincangan di warung kopi, pernyataan yang disampaikan
justru menimbulkan persoalan yang cukup serius. Apalagi disampaikan pejabat
publik. Pernyataan yang “tidak pantas”
haruslah disikapi dengan jernih.
UU Korupsi sudah mencantumkan ketentuan yang cukup berat. Dalam
praktek, Jaksa Penuntut Umum paling sering “mendakwa”
terdakwa dengan pasal 2 dan pasal 3. Pasal
2 malah mencantumkan “hukuman mati”
atau “hukuman seumur” atau paling
singkat “empat tahun hingga 20 tahun”.
Dengan
ancaman hukuman yang cukup tinggi, maka hukum memberikan perlindungan hukum
kepada tersangka untuk mendapatkan “bantuan
hukum”. Baik karena keinginan sendiri dari tersangka dan apabila “tidak mampu” akan “disediakan” oleh negara. Pasal 54 KUHAP
telah menegaskan “Guna kepentingan
pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang
atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat
pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini”.
Sedangkan
pasal 56 ayat (1) memerintahkan Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana
lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam
dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum
sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Pasal 56 ayat (2) KUHAP
“Setiap penasihat hukum yang
ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan
bantuannya dengan cuma-cuma.
Pasal
22 ayat (1) UU Advokat kemudian menegaskan “Advokat
wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang
tidak mampu.
Lantas, apakah para tersangka yang “berhak mendapatkan bantuan hukum” maka “advokat” yang diminta mendampingi (berdasarkan pasal 54 KUHAP) maupun yang kemudian ditunjuk oleh
penyidik (berdasarkan pasal 56 KUHAP)
dikatakan sebagai “advokat koruptor.
Sesat pikir inilah yang sungguh-sungguh tidak pantas disampaikan oleh DI
sebagai pejabat negara (yang berlatar
belakang hukum).
Yang harus diingat, tugas advokat mendampingi tersangka koruptor
bukanlah “ingin” terdakwa harus
dibebaskan dari segala dakwaan jaksa penuntut umum. Sama sekali bukan, karena
yang berwenang untuk “membebaskan”
terdakwa adalah hakim yang memeriksa dan mengadili perkara.
Namun tugas advokat baik yang diminta mendampingi (berdasarkan pasal 54 KUHAP) maupun yang
kemudian ditunjuk oleh penyidik (berdasarkan
pasal 56 KUHAP), “memastikan”
hukum acara, penerapan hukum, pembuktian, kesalahan dan pertanggungjawaban
sudah tepat sesuai dengan berbagai ketentuan yang berlaku.
Pendampingan terhadap tersangka yang dituduh korupsi dalam
berbagai berita di media massa “justru”
banyak menunjukkan kepada kita, “siapa
yang harus bertanggungjawab” dalam kasus,
siapa saja yang “harus diseret
dimuka” persidangan, pengadilan rekayasa, penghukuman yang melebihi
kesalahan dan berbagai fakta yang membuka mata kita, ternyata fungsi “advokat”
tidak terseret terhadap opini yang dibangun media massa (trial by press) yang “sumber”
informasinya justru dari aparat penegak hukum. Sehingga dengan pendampingan
oleh advokat, kita dapat melihat kasus ini secara utuh.
Kedua. “Advokat koruptor
adalah koruptor itu sendiri. Pernyataan ini tidak tepat. Penyamaan advokat
koruptor dengan koruptor adalah pernyataan yang tidak mempunyai dasar hukum. Pasal 18 ayat (2) UU advokat telah menegaskan “Advokat
tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.
Sehingga menyamakan antara “advokat koruptor” dengan koruptor, “advokat
teroris” dengan teroris, “advokat pembunuh” dengan pembunuh, “advokat penipu”
dengan penipu, “advokat pemerkosa” dengan pemerkosa tidak tepat.
Ketiga. Pernyataan itu memberikan pendidikan hukum yang sesat
ditengah masyarakat (education). Pernyataan ini merupakan “omongan” yang
ngawur, tidak mendidik, serampangan.
Keempat. Tuduhan DI terhadap adanya advokat yang “bermain-main dan mempermainkan hukum” akan
dipersoalkan di organisasi advokat itu sendiri. DI harus mampu membawa
data-data terhadap tuduhan yang cukup serius itu. Dan tanpa pernyataan DI itu
sendiri, zaman sudah menghendaki kedepan, Indonesia memang membutuhkan advokat
yang bersih. Maka terhadap advokat yang salah menggunakan dan bertentangan
dengan etika akan terlindas oleh putaran zaman itu sendiri.
Dengan penjelasan yang telah penulis sampaikan, sudah semestinya,
kicauan DI di twitter “harus dipersolkan
secara hukum” semata-mata agar penghormatan hukum harus diutamakan di Indonesia
yang mengklaim sebagai negara hukum (Rechtstaat).
“Mempersoalkan” dimuka hukum terhadap
DI agar publik percaya adanya persamaan dimuka hukum (equality before the law) tanpa melihat apakah rakyat atau pejabat
negara yang “Berkicau” menimbulkan
polemik. Biarlah hukum yang menentukan, apakah “kicauan” DI benar atau salah secara hukum.
Dimuat di Harian Jambi Independent, 3 September 2012