27 Agustus 2012

opini musri nauli : SESAT PIKIR DENNY INDRAYANA





Lagi-lagi Denny Indrayana (DI/Wamenkum HAM) berkicau di twitter. “Advokat koruptor adalah koruptor itu sendiri. Yaitu advokat yang membela kliennya yang nyata-nyata korupsi menerima bayaran dari uang hasil korupsi.

Pernyataan DI sering mewarnai media massa sebagai pernyataan yang kontroversial, inkosisten, menabrak “rambu-rambu. Masih ingat “perseteruan” antara Yusril Ihza Mahendra (YIM) dengan Jaksa Agung Hendarman Soepanji. Setelah kemenangan YIM, justru DI memberikan keterangna pers yang “justru” mengelimir putusan MK. Persoalan ini kemudian “tuntas” setelah MK memberikan keterangan pers.

Begitu juga persoalan “remisi” yang kemudian digugat di PTUN. DI berjanji tidak akan “banding” apabila kalah di PTUN. Namun apa yang terjadi. Walaupun kalah, putusan PTUN tetap diajukan banding. Belum lagi polemik di LP Pekanbaru yang hingga kini masih misteri.

Sebagai pernyataan yang disampaikan oleh pejabat publik menimbulkan implikasi yang cukup serius. Tanpa memasuki wilayah substansi, ada beberapa “sesat pikir” yang harus diluruskan.

Pertama. Adanya perjuangan “anti korupsi” sudah menjadi agenda nasional yang dirumuskan baik dalam TAP MPR, UU anti korupsi maupun berbagai agenda nasional. Artinya, perjuangan “anti korupsi” sudah menjadi issu dan agenda nasional dari berbagai komponen untuk terus disuarakan dan dilawan.

Semua pihak sudah “gregetan” terhadap berbagai penyimpangan yang terjadi baik dari hulu (penerimaan uang negara), di tengah (berbagai penyimpangan proyek) maupun di hilir (pelaksanaan proyek). Rasa “gregetan” ini kemudian sudah menjadi keprihatinan bersama.

Namun, rasa “gregetan” ini tidaklah menjadikan para koruptor tidak menjadi kapok dan sadar. Hampir setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara sudah “tercemar”. Hampir seluruh sektor (termasuk sektor agama dan pendidikan) tidak bisa dilepaskan dari “suasana korupsi”. Termasuk beras raskin, pungli masuk sekolah, “menilep dana bencana hingga berbagai sektor kehidupan masyarakat. Sehingga tidak salah kemudian, agenda nasional untuk memberantas korupsi menjadi perjuangan bersama.

Persidangan yang mengadili korupsi menjadi perhatian publik. Hampir praktis, persidangan korupsi menjadi berbagai persoalan masyarakat dan wacana tidak henti-hentinya ditayangkan dan menjadi diskusi (Baik kampus maupun aktivis anti korupsi).

Dari titik ini, sebenarnya tidak ada yang salah yang disampaikan oleh DI. Namun menyamakan antara “advokat koruptor” dengan koruptor merupakan pernyataan yang berbahaya. Sama tuduhan terhadap “advokat teroris” dengan teroris, “advokat pembunuh” dengan pembunuh, “advokat penipu” dengan penipu, “advokat pemerkosa” dengan pemerkosa dan seterusnya.

Dalam pembincangan di warung kopi, pernyataan yang disampaikan justru menimbulkan persoalan yang cukup serius. Apalagi disampaikan pejabat publik. Pernyataan yang “tidak pantas” haruslah disikapi dengan jernih.

UU Korupsi sudah mencantumkan ketentuan yang cukup berat. Dalam praktek, Jaksa Penuntut Umum paling sering “mendakwa” terdakwa dengan pasal 2 dan pasal 3.  Pasal 2 malah mencantumkan “hukuman mati” atau “hukuman seumur” atau paling singkat “empat tahun hingga 20 tahun”.

Dengan ancaman hukuman yang cukup tinggi, maka hukum memberikan perlindungan hukum kepada tersangka untuk mendapatkan “bantuan hukum”. Baik karena keinginan sendiri dari tersangka dan apabila “tidak mampu”  akan “disediakan” oleh negara. Pasal 54 KUHAP telah menegaskan “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini”.

Sedangkan pasal 56 ayat (1) memerintahkan Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Pasal 56 ayat (2) KUHAP “Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.

Pasal 22 ayat (1) UU Advokat kemudian menegaskan “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.

Lantas, apakah para tersangka yang “berhak mendapatkan bantuan hukum” maka “advokat” yang diminta mendampingi (berdasarkan pasal 54 KUHAP) maupun yang kemudian ditunjuk oleh penyidik (berdasarkan pasal 56 KUHAP) dikatakan sebagai “advokat koruptor. Sesat pikir inilah yang sungguh-sungguh tidak pantas disampaikan oleh DI sebagai pejabat negara (yang berlatar belakang hukum).

Yang harus diingat, tugas advokat mendampingi tersangka koruptor bukanlah “ingin” terdakwa harus dibebaskan dari segala dakwaan jaksa penuntut umum. Sama sekali bukan, karena yang berwenang untuk “membebaskan” terdakwa adalah hakim yang memeriksa dan mengadili perkara.

Namun tugas advokat baik yang diminta mendampingi (berdasarkan pasal 54 KUHAP) maupun yang kemudian ditunjuk oleh penyidik (berdasarkan pasal 56 KUHAP), “memastikan” hukum acara, penerapan hukum, pembuktian, kesalahan dan pertanggungjawaban sudah tepat sesuai dengan berbagai ketentuan yang berlaku.

Pendampingan terhadap tersangka yang dituduh korupsi dalam berbagai berita di media massa “justru” banyak menunjukkan kepada kita, “siapa yang harus bertanggungjawab” dalam kasus, siapa saja yang “harus diseret dimuka” persidangan, pengadilan rekayasa, penghukuman yang melebihi kesalahan dan berbagai fakta yang membuka mata kita, ternyata fungsi “advokat” tidak terseret terhadap opini yang dibangun media massa (trial by press) yang “sumber” informasinya justru dari aparat penegak hukum. Sehingga dengan pendampingan oleh advokat, kita dapat melihat kasus ini secara utuh.

Kedua. “Advokat koruptor adalah koruptor itu sendiri. Pernyataan ini tidak tepat. Penyamaan advokat koruptor dengan koruptor adalah pernyataan yang tidak mempunyai dasar hukum.  Pasal 18 ayat (2) UU advokat telah menegaskan “Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.

Sehingga menyamakan antara “advokat koruptor” dengan koruptor, “advokat teroris” dengan teroris, “advokat pembunuh” dengan pembunuh, “advokat penipu” dengan penipu, “advokat pemerkosa” dengan pemerkosa  tidak tepat.

Ketiga. Pernyataan itu memberikan pendidikan hukum yang sesat ditengah masyarakat (education). Pernyataan ini merupakan “omongan” yang ngawur, tidak mendidik, serampangan.

Keempat. Tuduhan DI terhadap adanya advokat yang “bermain-main dan mempermainkan hukum” akan dipersoalkan di organisasi advokat itu sendiri. DI harus mampu membawa data-data terhadap tuduhan yang cukup serius itu. Dan tanpa pernyataan DI itu sendiri, zaman sudah menghendaki kedepan, Indonesia memang membutuhkan advokat yang bersih. Maka terhadap advokat yang salah menggunakan dan bertentangan dengan etika akan terlindas oleh putaran zaman itu sendiri.

Dengan penjelasan yang telah penulis sampaikan, sudah semestinya, kicauan DI di twitter “harus dipersolkan secara hukum” semata-mata agar penghormatan hukum harus diutamakan di Indonesia yang mengklaim sebagai negara hukum (Rechtstaat). “Mempersoalkan” dimuka hukum terhadap DI agar publik percaya adanya persamaan dimuka hukum (equality before the law) tanpa melihat apakah rakyat atau pejabat negara yang “Berkicau” menimbulkan polemik. Biarlah hukum yang menentukan, apakah “kicauan” DI benar atau salah secara hukum. 

Baca : Bantuan Hukum 

Dimuat di Harian Jambi Independent, 3 September 2012