Kasus
Hambalang masih menyisakan catatan kecil. Apakah akan berlanjut
kepada tersangka lain ataupun hanya berhenti di Andi Mallarangeng
(AM)?
Membicarakan
kasus Hambalang memang salah satu topik yang hangat sepanjang tahun
2012. Dimulai dari “kesaksian” M. Nazaruddin, “persoalan
BBM” Anggie, hingga disebut-sebutntya nama Anas Urbaningrum dan
AM. Terlepas dari akhir kasus ini yang kemudian memuncak
ditetapkannya AM sebagai tersangka, pemberitaan media massa
memberikan porsi yang cukup besar terhadap hal ikhwal pemberitaan
Kasus Hambalang.
Setelah
ditetapkannya AM sebagai tersangka, pemberitaan bergeser. Penetapan
AM sebagai tersangka yang kemudian diikuti pengunduran diri AM, justu
pemberitaan mengapresiasi terhadap pengunduran diri AM. Pengunduran
diri merupakan langkah maju dan media massa memberitakan cukup besar.
Namun
yang menarik perhatian adalah ketika saudara kandung AM, Andi Rizal
Mallarangeng yang biasa dikenal Rizal Mallarangeng selain
“mempersoalkan” penetapan AM sebagai tersangka juga
mempersoalkan KPK yang tidak menyeret Menkeu dan Dirjen Anggaran
(baik sebagai tersangka maupun sebagai saksi) (Kompas, Jumat,
21 Desember 2012). Alasan yang disampaikan oleh Rizal Mallarangeng
ini cukup serius selain karena disampaikan kepada publik, alasan ini
juga harus diperhatikan secara hati-hati.
Tanpa
memasuki wilayah teknis yang telah disampaikan oleh KPK, alasan yang
disampaikan oleh Rizal Mallarangeng harus diberi porsi yang seimbang
agar alasan Rizal Mallarangeng dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum.
Kewenangan
Alasan
pertama adalah “tidak mungkin bah Hambalang keluar, apabila
tidak ada yang membukanya”. Dengan alasan, tanpa persetujuan
dari Dirjen Anggaran dan Menteri Keuangan yang “mencairkan”
dana Hambalang, maka proyek Hambalang tidak akan terjadi korupsi.
Alasan
ini sebenarnya tidak berdasar. Sebagaimana didalam teori kewenangan,
dalam ilmu hukum dikenal kewenangan yang bersumber dari atribusi,
delegasi dan mandat. Secara sederhana, kewenangan yang bersumber dari
atribusi merupakan kewenangan yang bersumber daripada konsitusi.
Disebutkannya kewenangan oleh konstitusi dapat kita lihat didalam UUD
1945. Misalnya Kewenangan Presiden, kewenangan BPK, kewenangan DPR
maupun kewenangan-kewenangan lainnya yang kemudian diturunkan menjadi
UU. Maka kita kemudian mengetahui kewenangan Presiden seperti
“memegang kekuasaan Pemerintahan” (pasal 4 ayat (1)),
mengajukan RUU (Pasal 5 ayat (1), menetapkan PP (Pasal 5 ayat (2),
memegang kekuasaan terhadap angkatan perang (pasal 10), menyatakan
perang (pasal 11 ayat 1), membuat perjanjian internasional (pasal 11
ayat 2) dan seterusnya.
Artinya,
secara ringkas dikatakan, kewenangan yang ada pada Presiden merupakan
kewenangan yang bersumber daripada atribusi.
Kewenangan
kedua bersumber daripada delegasi. Secara harfiah, kewenangan ini
diberikan oleh pemegang kekuasaan. Menteri merupakan penerima
delegasi dari Presiden untuk menjalankan roda pemerintahan.
Dalam
praktek dapat juga kita lihat didalam UU Pemerintahan Daerah.
Artinya, Kepala Daerah mendapatkan kewenangana setelah adanya
pembagian/penyerahan berbagai urusan dari Pemerintahan Pusat. Publik
kemudian mengenal sebagai Otonomi.
Sedangkan
Kewenangan ketiga bersumber dari mandat. Artinya kewenangan yang
didapatkan dari person yang mempunyai kewenangan delegasi. Dalam
praktek kita biasa mengenal sebuah Kepanitaan sebuah acara. Artinya
terhadap sebuah kegiatan tetap menjadi tanggung jawab dari person
yang mempunyai kewenangan delegasi. Namun untuk mempermudah kegiatan
sebuah acara, kepanitian membantu pelaksanaannya.
Dalam
praktek, pembuktian terhadap kewenangan merupakan salah satu syarat
untuk melihat apakah seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum.
Dengan
mengikuti sedikit penjelasan kewenangan dan sumber kewenangan, maka
kita akan mudah mengidentifikasi terhadap kasus Hambalang dan peran
AM.
Pertanggungjawanan
pidana
Kembali
kepada penjelasan yang telah disampaikan oleh Rizal Mallarangeng.
Apakah tepat kemudian menyeret Menkeu dan Dirjen Anggaran dalam kasus
Hambalang. Mengikuti logika berfikir Rizal Mallarangeng dibandingkan
dengan teori kewenangan dan sumber kewenangan maka tidak tepat.
Menteri Pemuda dan Olahraga merupakan jabatan (ex officio)
jabatan Eksekutif dalam sistem Pemerintahan. Presiden telah
memberikan kewenangan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pemuda dan
Olahraga. Artinya Presiden sudah memberikan kewenangan kepada AM
untuk mengurusi hal ikhwal Pemuda Olahraga. Kewenangan itu kemudian
ditandai Kementerian Pemuda Dan Olahraga mengelola kegiatan, program
dan anggaran. Sehingga AM harus bertanggungjawab dimuka hukum untuk
menjalankan kegiatan, program dan anggarannya. Dengan demikian, maka
alasan yang disampaikan Rizal Mallarangeng tidak berdasar.
Lantas
mengapa menyeret Menkeu dan Dirjen Anggaran ? Apakah dengan tidak
“dicairkannya” anggaran, maka tidak terjadi korupsi ?
Logika ini tidak tepat.
Memang
betul, Menkeu dan Dirjen Anggaran yang mencairkan anggaran. Namun
Menkeu dan Dirjen Anggaran “mencairkan” anggaran
berdasarkan usulan dari program yang disahkan. Artinya Menkeu dan
Dirjen tidak “mencairkan” anggaran apabila tidak adanya
usulan dari program yang telah disahkan.
Logika
ini dapat dilihat dari sistem keuangan negara. Sebagai “kasir
negara”, Menteri Keuangan dan Dirjen Anggaran “mengeluarkan”
uang yang dimohon dengan melihat pagu anggaran, mata anggaran,
persyaratan pencairan keuangan dan berbagai persyaratan keuangan
sehingga uang dapat “dicairkan”. Logika ini bukan dibalik.
Apabila Menteri keuangan dan Dirjen Anggaran tidak “mencairkan
anggaran” maka tidak terjadinya korupsi. Bukan itu.
Sebagai
pejabat yang “bertanggungjawab” menjalankan pemerintahan
di bidang Pemuda dan olahraga, AM mempunyai kewenangan untuk
menjalankan program, kegiatan dan anggaran. Kewenangan itu selain
dilihat daripada UU Pemuda dan UU Olahraga, AM juga diangkat Presiden
untuk menjalankan fungsi negara dalam bidang Pemuda dan Olahraga.
Fungsi inilah yang kemudian dalam hukum dikenal sebagai kewenangan
yang bersumber dari delegasi. Artinya jabatan ini telah didelegasikan
dari Presiden kepada AM sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga. Dengan
telah didelegasikan urusan pemerintahan pemuda dan Olahraga, maka AM
harus bertanggung jawab dimuka hukum. Urusan delegasi tidak dapat
lagi ditumpukan kepada si pemberi delegasi (baca Presiden). AM
tidak dapat mengelak dengan alasan, karena sebagai bawahan Presiden,
tidak tahu mengetahui rambu-rambu dan peraturan yang berkaitan
dengan Pemerintahan apalagi dengan alasan tidak mengetahui proyek
Hambalang.
Terlepas daripada semuanya itu, Proyek Hambalang merupakan tanggung jawab AM sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga. AM harus bertanggung jawab dimuka hukum. Dalam ilmu hukum, dikenal dengan istilah, pertanggungjawaban pidana. Sebuah pembuktian hukum acara pidana, dimana seseorang selain telah melakukan kesalahan, maka seseorang harus bertanggungjawab. Dalam melihat kesalahan, tidak mesti karena adanya perbuatan dari pelaku itu sendiri, namun karena jabatan (karena itu kemudian sebagian para ahli juga menyebutkan kejahatan jabatan), maka seseorang juga harus bertanggungjawab dimuka hukum.
Dari pendekatan inilah, maka alasan yang disampaikan oleh Rizal Mallarangeng tidak dapat dibenarkan oleh hukum
Selain
itu juga yang menjadi titik perhatian KPK, bukan diperencanaan
pembangunan Hambalang. Tapi adalah pelaksanaan anggaran yang dituduh
“tidak sesuai dengan prosedur” dan berbagai ketentuan
mekanisme proyek pembangunan. Dalam persoalan ini, sudah sering
disampaikan oleh KPK dan tinggal kita menunggu perkembangan dari
persidangan terhadap AM.
Alasan
yang disampaikan oleh Rizal Mallarangeng walaupun tidak tepat dan
tidak berdasarkan oleh hukum namun dapat dimengerti selain karena
Rizal Mallarangeng merupakan ahli ilmu politik juga sangat emosional
sehingga melihat persoalan ini tidak dengan jernih, emosional dan
cenderung menggunakan pendekatan yang keliru.
Namun
apabila alasan yang disampaikannya ternyata sudah “sepengetahuan”
dan seizin dari Tim Penasehat hukum, sungguh sangat disayangkan,
Dengan
mudah penulis mengatakan, sedang dibangun skenario yang sistematis
untuk “mengalihkan issu”. Mengalihkan tanggungjawab, membangun
citra “bersih”, tokoh muda yang reformasi, “korban politik”.
Cara-cara ini biasa kita lihat dalam kasus-kasus korupsi. Dan kita
berharap agar tidak terjebak dengan irama permainan.