Pandangan
terhadap Andi Alfian Mallarangeng
(a
priori dan a posteriori)
Penetapan
tersangka Andi Alfian Mallarangeng (AAM) oleh KPK merupakan anti
klimaks kasus Hambalang. Lebih setahun, disebut-sebutnya nama AAM
dalam kasus Hambalang merupakan “issu panas” selain
menyandera Partai Demokrat juga “sedikit” mengganggu
konsentrasi politik pemerintahan.
Terlepas
dari persoalan “Penarikan” penyidik KPK oleh Kepolisian,
penetapan tersangka AAM “sedikit” berita sejuk ditengah
berbagai persoalan korupsi. Berita ini sedikit “harapan”
agar berbagai pelaku korupsi dapat diproses dimuka persidangan.
Dalam
berbagai diskusi di jejaring sosial, banyak dukungan mengalir
terhadap Andi Mallarangeng yang menyatakan mundur setelah ditetapkan
KPK. Dukungan simpati ini sebagai bentuk dukungan terhadap pernyataan
AAM yang kemudian “mengundurkan” diri baik sebagai Menteri
maupun sebagai petinggi partai. Dukungan ini kemudian ditangkap
sebagai sikap “gentlment” dan sikap “sportif” dari
pejabat ketika ditetapkan tersangka.
Dalam
pernyataan di berbagai media massa, dengan lugas, AAM menegaskan
sikap mundur dan alasan mundurnya. Untuk melihat apakah pernyataan
AAM memang menimbulkan simpati atau tidak maka kita harus melihat
pernyataan yang disampaikan di media massa dan dilihat dari
pernyataan Kenneth
J. Vandevelde sebelum memeriksa faktanya. Gr. Van der Burght dan J.
D. C Winkelman juga mengingatkan hal yang sama.
Maka
Pertanyaan akan muncul. Apakah sebelum melakukan penilaian akan
bersikap independent atau akan dipengaruhi (dependent). Dalam kajian
filsafat hukum, tentu saja kita akan mudah menjawabnya, seorang hakim
harus netral, imparsial dan menggunakan pendekatan ilmu hukum
normatif untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi.
Namun
dalam kajian ilmu politik, pendekatan ini juga dipengaruhi berbagai
faktor. Gempuran media massa secara terus menerus, pandangan publik
yang terbelah, suara kampus maupun berbagai perangkat kebenaran yang
terus menerus disampaikan akan mempengaruhi cara pandang kita melihat
sebuah persoalan. Belum lagi pendidikan, pengalaman,
pekerjaan, lingkungan pergaulan, pandangan politik, jenis kelamin,
emosi dan struktur sosial yang juga mempengaruhi hakim didalam
putusannya.
Menurut
Immanuel Kant, pengetahuan kita merupakan sintesis antara unsur-unsur
a priori (lepas
dari pengalaman)
dan a posteriori (berdasarkan
pengalaman).
Dengan
menggunakan berbagai pendekatan, maka kita lihat pernyataan dari AAM
“Sejak mahasiswa
saya ikut menyuarakan perlunya pemerintahan yang bersih, baik, dan
berwibawa … sampai hari ini, idealisme tersebut masih saya pegang
teguh.
Pernyataan
ini apabila kita menggunakan pendekatan yang telah disampaikan apakah
akan memberikan penilaian yang independent atau justru dipengaruhi
(dependent) ?
Mengapa
pernyataan itu muncul ? Apakah perjalanan hidup AAM tidak dapat
mempengaruhi publik sehingga AAM harus “menegaskan”
kembali agar pernyataannya mempunyai bobot dan meyakini publik.
Apakah pernyataan itu “memperkuat”
sikap politiknya (katakan
anti KKN ataupun menegaskan tidak korupsi)
sehingga pernyataan ditunggu publik. Atau AAM sedang “mendesain”
seakan-akan dia “dikorbankan”
demi elite tertentu ?
Lompat
Pagar
Sebelumnya
Andi dikenal sebagai pakar politik yang pernyataan sering memerahkan
kuping. Menjadi idola ibu-ibu. Baik karena pernyataan yang membuka
mata publik melihat keadaan politik, juga dikenal dengan wajah dan
kumis yang keren.
Setelah
reformasi, AAM kemudian mendirikan Partai
Persatuan Demokrasi Kebangsaan bersama Prof. DR. Ryaas Rasyid pada
tahun 2002 namun keluar tahun 2004 dan masuk menjadi petinggi Partai
Demokrat. Walaupun sejak tahun 2004 sering menjadi juru bicara
Kepresidenan, namun AAM dikenal sebagai “Putra
Mahkota” yang “dipersiapkan”
menjadi orang penting di Partai Demokrat. Dan Partai Demokrat sendiri
juga berharap dapat menggantikan “posisi'
SBY.
Rangkaian
demi rangkaian perjalanan politik AAM setidak-tidaknya akan menjawab
apakah pengetahuan kita tentang AAM akan bersikap a priori (lepas
dari pengalaman)
dan a posteriori (berdasarkan
pengalaman).
Apakah
penilaian itu juga dipengaruhi kepada peristiwa itu ?
Tidak
Mundur
Ketika
ditangkapnya Mindo Rossa Manullang bersama Sesmenpora awal tahun yang
lalu, nama-nama AAM sudah disebut-sebut dan terlibat dalam kasus
Wisma Atlet Sea Games. Namun hingga persidangan, sama sekali dianggap
belum ditemukan bukti yang cukup meyakinkan adanya peran dari AAM.
Namun
“nyanyian” dari M. Nazaruddin tentang kasus Hambalang
“membongkar” rangkaian “skenario” Pembangunan
gedung Atlet. Selama setahun, kemudian issu ini terus menggelinding
memaksa “petinggi” Partai Demokrat “mondar-mandir”
ke Gedung KPK. Terus-menerus memaksa “Partai Demokrat”
tersandera.
Berbagai
peristiwa dalam kasus Hambalang dan “disebut-sebutnya”
nama AAM, namun AAM tidak juga mundur. Dengan alasan “menghormati
proses hukum”, “asas praduga tak bersalah”. AAM
masih “keukeuh” bertahan.
Peristiwa
ini kemudian mengajarkan kepada kita. Apakah sikap “keukeuh”
AAM dapat dikategorikan sebagai sikap “gentlment”, “sikap
sportif” ?
Kembali
ke pembahasan tentang sikap kita kepada AAM. Apakah dukungan publik
terhadap AAM tentang pengunduran diri dari Menteri dan Petinggi
partai merupakan sikap
a priori (lepas
dari pengalaman)
dan a posteriori (berdasarkan
pengalaman).
Dimuat di Posmetro online, 9 Desember 2012.
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/12799-pandangan-terhadap-andi-alfian-mallarangeng.html
Dimuat di Posmetro online, 9 Desember 2012.
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/12799-pandangan-terhadap-andi-alfian-mallarangeng.html