12 September 2013

opini musri nauli : Belajar Bahasa Vicky Prasetyo


Kehebohan dunia maya semakin hangat setelah “sang aktor” memperkenalkan kata seperti “kontroversi hati”, “konspirasi kemakmuran”, “harmonisisasi”, “statusisasi kemakmuran”, atau “labil ekonomi”. Entah bermaksud “ingin keren”, “sok intelek”, “sok hebat”, apapun istilah namanya.


Tidak perlu diskusi panjang arti kata “kontroversi hati”, “konspirasi kemakmuran”, “harmonisisasi”, “statusisasi kemakmuran”, atau “labil ekonomi”. Tidak perlu kita berdebat ataupun “teriak” sambil urat leher memberikan tafsir makna.
Tidak perlu kita membuka kamus Bahasa Indonesia untuk memberikan makna. Tidak perlu itu.

Tidak perlu kita bertanya kepada sang ahli Bahasa Indonesia. Tidak perlu ketemu dengan JS. Badudu atau Anton Moeliono. Tidak perlu itu.

Namun yang perlu kita lakukan. Ya. Kita bisa belajar dari Vicky Prasetyo. Belajar apa. Ya. Belajar memahami. Belajar menyusun kalimat. Belajar merangkai kata-kata agar mudah dicerna.

Seharusnya kita malu pada diri kita sendiri. Apakah kita lebih baik dari Vicky Prasetyo ? Lihatlah. Bagaimana Andre Moller yang setiap tahun selalu mengingatkan kita agar jangan menggunakan kata yang sebenarnya “keren” tapi malah menyesatkan. Masih ingat dengan kata-kata seperti “Dirgahayu Republik Indonesia ke 60”. Apabila kita perhatikan sekilas tidak ada yang salah dengan kata itu. Tapi apabila kita perhatikan baik-baik. Apakah Republik Indonesia itu sampai 60 ? Berarti Ada Republik Indonesia 1. Republik Indonesia 2. Dan seterusnya. Padahal kita bermaksud untuk mengatakan Dirgayahu Ke 60 khan ?

Atau setiap bulan Ramadhan selalu ada kata-kata “Selamat Menjalankan Ibadah Puasa”. Emangnya Bulan Ramadhan “cuma” Ibadah Puasa. Khan bulan Ramdhan masih banyak ibadah selain ibadah Puasa. Ada sholat Taraweh, ada sholat Witir, ada tadarrusan. Pokoknya bulan ramadhan “Bulan seribu bulan”. Bulan dimana semua ibadah dilaksanakan.

Mungkin maksudnya kata-kata itu “Selamat Menjalankan Ibadah Ramadhan”. Memang tidak lazim. Tapi itulah yang tepat. Hmm.. Itu Kata Andre Moller

Setiap kita memperingati Hari Kemerdekaan dan setiap Ramadhan, Andre Moller selalu mengingatkan kita di Kompas. Setiap tahun. Seingat penulis sejak penulis kuliah, Andre Moller selalu mengingatkan. Dan setiap tahun pula kita melihat kesalahan yang sama.

Apabila kita sering menonton televisi maka kita sudah “dibiasakan” dengan kata-kata “host” untuk menggantikan kata “pembaca acara. Atau kita malah sudah terbiasa “dipaksakan” menggunakan tivi padahal padanan katanya “teve”.

Mengapa kita kemudian mengernyitkan kening mendengarkan kata-kata dari Vicky Prasetyo padahal kita malah “lupa” kita juga sering salah menggunakan kata-kata yang tepat.

OK. Kita bisa memahami dari kalimat itu. Sedangkan kata-kata Vicky Prasetyo sulit dimengerti.

Tapi apakah kita tidak malu dengna kita sendiri ? Mengapa kita tidak belajar dari kesalahan dan “memperbaiki” diri ?

Sudah saatnya kita belajar dari mengenal kata. Baik kalimat tanpa tedeng aling-aling, seperti “Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi. tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi. Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami. Terbayang kami maju dan mendegap hati ? dalam puisi KRAWANG-BEKASI Chairil Anwar. Atau kata seperti “Hanya satu kata. Lawan” dalam puisi Wiji Thukul.

Ada baiknya kita melihat kata-kata yang dituliskan Gunawan Muhammad, Pramudya Ananta Noer, Taufik Ismail, Gesang. OK. Itu generasi lama. Tapi kita mengenal seperti Ayu Utami atau Dewi Lestari.

Di bidang musik kita mengenal KLA Project, Ebit G Ade, Iwan Fals, Koes Plus. Lihatlah dahsyatnya judul dari KLA Project seperti "Terpuruk Ku Di Sini", "Gerimis", "Menjemput Impian". Atau syair Koes Plus “tongkat dan batu jadi tanaman” menggambarkan “berlimpah ruahnya sumberdaya alam Indonesia. Atau syair “Asin sedikit Tarmijah di caci maki. Masakan lezat tak pernah di puji dalam lagu “Tarmijah dan Problemanya”.

Jelas. Semua pesan sampai. Puisi Chairil Anwar dan Wiji Thukul “menggambarkan amarah dan sikap perlawanan. Syair Kla Project “sangat dalam”. Koes Plus menggambarkan Indonesia “zamrud Khatulistiwa'. Atau pandangan sosial Iwan Fals tentang pembantu rumah tangga.

Semuanya jelas tergambar. Amarah atau sarat makna.

Pelajaran apa yang bisa disampaikan oleh Vicky Prasetyo. Ya. Kita belajar kembali. Mengasah hati nurani dan naluri. Dengan mengasah hati nurani, maka kata-kata bijak akan keluar dari lubuk hati.