08 September 2013

opini musri nauli : Menyeret Ahmad Dhani dalam Kasus Lakalantas si Dul


Menyimak berita terakhir yang “seru” mengabarkan kecelakaan yang “dilakukan” oleh Abdul Qodir Jaelani (13 Thn) anak dari Ahmad Dhani memancing “kemarahan” publik. Terlepas dari kejadian sebenarnya, masih banyak misteri yang perlu diungkapkan.

Selain kegeraman publik terhadap pelaku yang masih “belum dewasa” (masih berumur dibawah 18 tahun), korbannya cukup banyak. 6 orang tewas dan 11 orang luka parah.

Pertanyaan publik mengeruyak.

Pertama. Bagaimana “seorang” anak berusia 13 Tahun bisa mengendarai mobil di jalan umum. Walaupun fakta telah terungkap, si Dul mengendarai di jalan umum dan menewaskan beberapa orang, pertanyaan lanjutan juga harus disampaikan, mengapa Si Dul bisa mengendarai mobil di malam hari, tanpa sepengetahuan orang tua ?

Kedua. Bagaimana “kejadian” sebenarrnya ? Mengapa Si Dul mengendarai malam hari ? Apa urusannya sehingga si Dul harus keluar malam hari ?

Ketiga. Bagaimana pertanggungjawaban si Dul terhadap peristiwa itu ?

Keempat. Siapa yang harus bertanggungjawab terhadap peristiwa itu.

Dari beberapa misteri yang bisa dilihat sekilas, maka kecelakaan antara Si Dul berbeda dengan kecelakaan yang dilakukan dengan Aryani (Tragedi Tugu Tani), kecelakaan Rasyid Amrullah, (“putra penguasa negeri), awal tahun dan kecelakaan Saiful Jamil

Lihat



Apabila ketiga kecelakaan lainnya dilakukan “pengemudi” yang telah berusia “pantas”, kecelakaan dilakukan si Dul harus mendapatkan porsi yang “seimbang” dari pengamatan kita.

Pertama. Si Dul “masih berusia” 13 tahun. Didalam UU telah ditegaskan, terhadap pelaku yang berusia dibawah 18 tahun “harus” dipandang sebagai pelaku anak. Maka terhadap baik hukum acara, ancaman pidana, pertanggungjawaban pidana harus tunduk kepada Pengadilan Anak.

Kedua. Dalam proses hukum acara pidana, selain “harus” diperlakukan tidak sama dengan tindak pidana biasa (misalnya pemeriksaan harus didampingi oleh orang tua, BAPAS, psikologis), pemeriksaan juga dibangun “suasana” pertanyaan yang “bermaksud” menggali. Tidak berkesan seperti “interogasi” dalam pemeriksaan BAP seperti biasa.

Ketiga. Setiap pemeriksaan, harus dipastikan tidak ada suasana “tertekan” sehingga suasana psikologis tidak terganggu.

Keempat. Setiap pemberitaan tidak boleh mencantumkan nama lengkap. Cukup inisial dan tidak boleh ditempeli photo.

Kelima. Mengenai penahanan. Sedapat mungkin “menghindarkan” penahanan terhadap pelaku anak.

Keenam. Waktu Pemeriksaan. Proses pemeriksaan yang harus “Cepat'. Baik berkas dari kepolisian ke JPU maupun waktu dilimpahkan pengadilan.

Ketujuh. Putusan. Putusan hanya sepertiga dari ancaman pidana biasa.

Kedelapan. Harus mengutamakan “Keadilan Restoratif dimana penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait

Kesembilan. Harus diusahakan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.


Kesepuluh. Adanya upaya Diversi dimana adanya pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Ketentuan diatas sudah diatur didalam UU No. 3 Tahun 1997, UU No. 11 Tahun 2012 dan kemudian telah direvisi oleh MK mengenai batas usia tindak pidana oleh pelaku anak. Apabila sebelumnya diatur usia antara 8 – 18 tahun, maka direvisi menjadi 12- 18 tahun.

Pertanggungjawaban Ahmad Dhani

Namun yang menjadi sorotan bukan mengenai proses hukum yang akan dilakukan terhadap si Dul. Tapi bagaimana pertanggungjawaban dari Ahmad Dhani (AD) dari peristiwa itu.

AD tidak dapat “melepaskan” peristiwa itu. AD harus bertanggungjawab terhadap Si Dul. Mengapa si Dul “bisamengendarai” kendaraan di jalan umum, padahal AD harus “mengawasi” dan bertanggungjawab terhadap si Dul.

Apabila didalam pemeriksaan dapat ditemukan, AD sudah sering “membiarkan” dan memberikan kebebasan kepada Si Dul “mengendarai”, maka AD harus dapat diminta pertanggungjawaban secara hukum.

Dalam proses hukum pidana, AD harus bertanggungjawab terjadinya peristiwa itu. Dalam bahasa lain biasa dikenal “pembiaran”. Sedangkan dalam hukum perdata, “hak mengasuh (pengampu)” dapat dicabut oleh hukum. Ibu si Dul dapat menggugat ke Pengadilan untuk mencabut hak asuh kepada AD.

Sehingga kejadian ini harus kita lihat secara komprehensif dan akan menjadi pelajaran ke depan. Apabila cuma “si dul” yang kemudian diproses secara hukum sesuai dengan Pengadilan Anak, maka kejadian ini hanyalah peristiwa biasa. Namun apabila pihak kepolisian ataupun penegak hukum kemudian dapat meminta “pertanggungjawaban” AD, maka akan menarik dan dapat menjadi yurisprudensi yang dapat ditarik menjadi sebuah pelajaran hukum.

Apalagi kemudian disusul bu Si Dul mengajukan “gugatan” pencabutan hak asuh (pengampu) terhadap AD. Maka ke depan, orang tua harus hati-hati memberikan kendaraan kepada anaknya yang belum dewasa. Selain akan menimbulkan masalah lalu lintas, secara hukum dapat “bertanggungjawab”.

Kita tidak ingin terjadi “pembunuhan lalu lintas” karena disebabkan “para pelaku” memang belum pantas mengendarai dan “orang tua” tidak bertanggungjawab.

Sudah semestinya, hukum dapat menjawab persoalan ini agar peristiwa tidak terulang kembali.