01 Februari 2014

opini musri nauli : GITA WIRYAWAN – Etika atau Lari Tanggung Jawab


Belum habis heboh berita tentang “beras impor” yang menyeret Menteri Perdagangan Gita Wiryawan, kita kemudian diperlihatkan mundurnya Gita Wiryawan (GW) sebagai Menteri Perdagangan. Berita ini kemudian “memantik” berbagai tanggapan.


Sebagian kalangan memberikan apresiasi untuk menegakkan sikap etika sebagai kandidate calon Presiden Partai Demokrat. Sebagian menganggap GW meninggalkan masalah persoalan beras import dan “dianggap tidak bertanggungjawab'.
Mari kita bedah ukuran yang digunakan untuk menilai apakah GW memang menegakkan sikap etika sebagai kandidate atau tidak.

Apabila GW mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai peserta konvensi Partai Demokrat, maka publik langsung memberikan apresiasi. Apresiasi ini pernah ditunjukkan kepada Andi Malaranggeng ketika sehari ditetapkan sebagai tersangka. AM kemudian mengundurkan diri dari petinggi Partai Demokrat dan langsung mengajukan pengunduran diri sebagai Menpora.

Begitu juga dengan Anas Urbaningrum. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, AU kemudian mengundurkan diri dari Ketua Umum Partai Demokrat dan kemudian mengajukan diri dari keanggotaan Partai Demokrat.

Keduanya mendapatkan apresiasi dari publik terlepas dari kasus yang kemudian membelitnya.

Dengan melihat bentuk apresiasi dari publik, maka “seharusnya” GW mengundurkan diri dari Mendag setelah ditetapkan sebagai peserta konvensi Partai Demokrat. Dengan melihat jadwal waktu konvensi maka GW “seharusnya” mundur September 2013.

Namun hal itu tidka dilakukan oleh GW. Bahkan GW mempromosikan “barang buatan dalam negeri” dan terpampang di berbagai bus Damri yang terus bergerak di bandara Soekarno Hatta. Belum lagi kampanye di televisi dan berbagai dunia maya.

Walaupun kemudian terbukti, kampanye yang dilakukan oleh GW tidak berindikasikan “kampanye”, namun publik sudah menangkap GW sedang berkampanye dengan menggunakan “fasilitas negara'. Publik sudah apriori.

Sehingga ketika persoalan beras import merebak, kasus yang berkaitan GW sebagai Menteri Perdagangan, sikap mundur GW dari Mendag dan beralasan berkonsentrasi menghadapi konvensi Partai Demokrat menimbulkan persoalan lain.

Seharusnya GW “menunda” untuk mengundurkan diri dari Mendag dan dengan sikap ksatria kemudian menghadapi persoalan beras import.

Sikap ksatria yang bisa diteladani dapat kita contoh dari negeri Jepang. Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai keteladanan, kejujuran dan ksatria, entah berapa kali kita menyaksikan sikap ksatria yang diperlihatkan.

Hanya persoalan kereta api tabrakan, gedung yang hancur, para menteri yang bertanggungjawab kemudian mengundurkan diri. Bahkan banyak kita juga melihat para menteri kemudian melakukan tradisi “harakiri”. Bunuh diri sebagai pertanggungjawaban moral.

Mereka tidak lagi membicarakan siapa yang bersalah. Mereka tidak sibuk beropini untuk melepaskan tanggungjawab. Mereka langsung menunjukkan sikap ksatria.

Berbeda dengan kecelakaan pesawat terbang.

Sebagaimana sering diceritakan Prof. Satjipto Rajardjo dalam bukunya “Biarkan Hukum Mengalir”,
ketika terjadinya kecelakaan pesawat maskapai penerbangan niaga yang menewaskan seluruh penumpang dan awak pesawatnya, yang terjadi kemudian adalah dimana pimpinan maskapai penerbangan tersebut menunduk dan meminta maaf dalam-dalam terhadap keluarga korban, kemudian pihaknya menanggung biaya penguburan dan pendidikan bagi keluarga korban. Setelah proses santunan dan penguburan selesai dilaksanakan, pimpinan maskapai penerbangan tersebut mengundurkan diri.

Sang Menteri kemudian “membentuk tim investigasi”, meminta pertanggungjawaban dari seluruh pejabat teknis, memastikan pelayanan seluruh korban. Bahkan “memastikan” asuransi korban telah diselesaikan.

Setelah semuanya berjalan dengna baik, sang menteri kemudian mengundurkan diri. Bahkan dalam beberapa peristiwa sang Menteri kemudian “harakiri”.

Keteladanan itulah yang sering diceritakan oleh Prof. Tjip.

Sehingga tidak salah sikap ksatria inilah yang selalu menginsiprasi Prof. Tjip didalam berbagai bukunya.

Peristiwa ini seharusnya dapat diteladani oleh GW. Setelah persoalan beras import merebak, GW “Seharusnya” menunda untuk mengundurkan diri, mengambil alih seluruh tanggungjawab persoalan beras import, memastikan sistem yang tidak berjalan. Setelah semuanya selesai, barulah GW dapat mengundurkan diri sebagai Mendag.

Atau kemudian GW mengundurkan diri sebagai peserta konvensi Partai Demokrat dan kemudian “berkonsentrasi” terhadap persoalan beras import.

Apabila sikap ini tidak dilakukan oleh GW, maka dengan sinis publik mempersoalkan “pengunduran diri” GW sebagai Mendag dan dengan alasan berkonsentrasi sebagai peserta konvensi Partai Demokrat. Publik akan mudah menuduh GW “meninggalkan persoalan” dan cenderung memikirkan persoalan pribadi dibandingkan dengan persoalan negara.

Sehingga tidak salah kemudian penulis melihat peristiwa pengunduran diri GW sebagai Mendag lebih bermotivasi “meninggalkan persoalan” daripada sikap etika untuk menghadapi sebagai peserta konvensi Partai Demokrat.