Belum habis heboh berita
tentang “beras impor” yang menyeret Menteri Perdagangan
Gita Wiryawan, kita kemudian diperlihatkan mundurnya Gita Wiryawan
(GW) sebagai Menteri Perdagangan. Berita ini kemudian “memantik”
berbagai tanggapan.
Sebagian kalangan
memberikan apresiasi untuk menegakkan sikap etika sebagai kandidate
calon Presiden Partai Demokrat. Sebagian menganggap GW meninggalkan
masalah persoalan beras import dan “dianggap tidak
bertanggungjawab'.
Mari kita bedah ukuran
yang digunakan untuk menilai apakah GW memang menegakkan sikap etika
sebagai kandidate atau tidak.
Apabila GW mengundurkan
diri setelah ditetapkan sebagai peserta konvensi Partai Demokrat,
maka publik langsung memberikan apresiasi. Apresiasi ini pernah
ditunjukkan kepada Andi Malaranggeng ketika sehari ditetapkan sebagai
tersangka. AM kemudian mengundurkan diri dari petinggi Partai
Demokrat dan langsung mengajukan pengunduran diri sebagai Menpora.
Begitu juga dengan Anas
Urbaningrum. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, AU kemudian
mengundurkan diri dari Ketua Umum Partai Demokrat dan kemudian
mengajukan diri dari keanggotaan Partai Demokrat.
Keduanya mendapatkan
apresiasi dari publik terlepas dari kasus yang kemudian membelitnya.
Dengan melihat bentuk
apresiasi dari publik, maka “seharusnya” GW mengundurkan
diri dari Mendag setelah ditetapkan sebagai peserta konvensi Partai
Demokrat. Dengan melihat jadwal waktu konvensi maka GW “seharusnya”
mundur September 2013.
Namun hal itu tidka
dilakukan oleh GW. Bahkan GW mempromosikan “barang buatan dalam
negeri” dan terpampang di berbagai bus Damri yang terus
bergerak di bandara Soekarno Hatta. Belum lagi kampanye di televisi
dan berbagai dunia maya.
Walaupun kemudian
terbukti, kampanye yang dilakukan oleh GW tidak berindikasikan
“kampanye”, namun publik sudah menangkap GW sedang
berkampanye dengan menggunakan “fasilitas negara'. Publik
sudah apriori.
Sehingga ketika persoalan
beras import merebak, kasus yang berkaitan GW sebagai Menteri
Perdagangan, sikap mundur GW dari Mendag dan beralasan berkonsentrasi
menghadapi konvensi Partai Demokrat menimbulkan persoalan lain.
Seharusnya GW “menunda”
untuk mengundurkan diri dari Mendag dan dengan sikap ksatria
kemudian menghadapi persoalan beras import.
Sikap ksatria yang bisa
diteladani dapat kita contoh dari negeri Jepang. Sebagai negara yang
menjunjung tinggi nilai-nilai keteladanan, kejujuran dan ksatria,
entah berapa kali kita menyaksikan sikap ksatria yang diperlihatkan.
Hanya persoalan kereta
api tabrakan, gedung yang hancur, para menteri yang bertanggungjawab
kemudian mengundurkan diri. Bahkan banyak kita juga melihat para
menteri kemudian melakukan tradisi “harakiri”. Bunuh diri
sebagai pertanggungjawaban moral.
Mereka tidak lagi
membicarakan siapa yang bersalah. Mereka tidak sibuk beropini untuk
melepaskan tanggungjawab. Mereka langsung menunjukkan sikap ksatria.
Berbeda dengan kecelakaan
pesawat terbang.
Sebagaimana sering
diceritakan Prof. Satjipto Rajardjo dalam bukunya “Biarkan Hukum
Mengalir”,
ketika terjadinya
kecelakaan pesawat maskapai penerbangan niaga yang menewaskan seluruh
penumpang dan awak pesawatnya, yang terjadi kemudian adalah dimana
pimpinan maskapai penerbangan tersebut menunduk dan meminta maaf
dalam-dalam terhadap keluarga korban, kemudian pihaknya menanggung
biaya penguburan dan pendidikan bagi keluarga korban. Setelah proses
santunan dan penguburan selesai dilaksanakan, pimpinan maskapai
penerbangan tersebut mengundurkan diri.
Sang Menteri kemudian
“membentuk tim investigasi”, meminta pertanggungjawaban
dari seluruh pejabat teknis, memastikan pelayanan seluruh korban.
Bahkan “memastikan” asuransi korban telah diselesaikan.
Setelah semuanya berjalan
dengna baik, sang menteri kemudian mengundurkan diri. Bahkan dalam
beberapa peristiwa sang Menteri kemudian “harakiri”.
Keteladanan itulah yang
sering diceritakan oleh Prof. Tjip.
Sehingga tidak salah
sikap ksatria inilah yang selalu menginsiprasi Prof. Tjip didalam
berbagai bukunya.
Peristiwa ini seharusnya
dapat diteladani oleh GW. Setelah persoalan beras import merebak, GW
“Seharusnya” menunda untuk mengundurkan diri, mengambil
alih seluruh tanggungjawab persoalan beras import, memastikan sistem
yang tidak berjalan. Setelah semuanya selesai, barulah GW dapat
mengundurkan diri sebagai Mendag.
Atau kemudian GW
mengundurkan diri sebagai peserta konvensi Partai Demokrat dan
kemudian “berkonsentrasi” terhadap persoalan beras import.
Apabila sikap ini tidak
dilakukan oleh GW, maka dengan sinis publik mempersoalkan
“pengunduran diri” GW sebagai Mendag dan dengan alasan
berkonsentrasi sebagai peserta konvensi Partai Demokrat. Publik akan
mudah menuduh GW “meninggalkan persoalan” dan cenderung
memikirkan persoalan pribadi dibandingkan dengan persoalan negara.
Sehingga tidak salah
kemudian penulis melihat peristiwa pengunduran diri GW sebagai Mendag
lebih bermotivasi “meninggalkan persoalan” daripada sikap
etika untuk menghadapi sebagai peserta konvensi Partai Demokrat.