02 Mei 2014

opini musri nauli : PERJALANAN KE BATANG ASAI 25 – 30 April 2014

PERJALANAN KE BATANG ASAI
25 – 30 April 2014


Pada tanggal 25 – 30 April 2014, saya kembali ke daerah yang biasa dikenal Margo Batin Pengambang. Margo Batin Pengambang merupakan salah satu Margo yang masih diakui masyarakat di daerah hulu batang asai. Desa-desa yang termasuk ke dalam margo batin Pengambang yaitu Desa Tambak Ratu, Desa Batin Pengambang, Desa Batu Empang, Desa Simpang narso, Simpang Muara Air Duo, Desa Sungai Keradak dan Desa Bukit Berantai. Desa terakhir merupakan desa pemekaran dari Desa Simpang Narso. Margo Batin Pengambang kemudian termasuk kecamatan Batang Asai.
Perjalanan ke Batang asai dimulai dari Sarolangun (salah satu kabupaten di Jambi. Berjarak sekitar 180 km arah selatan dari Jambi). Dari Sarolangun ke Ibukota Kecamatan Batang asai di Pasar Gerabak bisa ditempuh rata-rata 3 – 4 jam. Namun jalan yang buruk dan berbagai hambatan di jalan (sering longsor) menyebabkan perjalanan ke Batang Asai sering terhambat.

Setelah dari Batang Asai ke Batin pengambang berjarak 24 km.

Batang Asai sudah menghasilkan putra-putra terbaik di Propinsi Jambi. Sebagai contoh H. Abdul Manap sebagai pejabat Gubernur Jambi tahun 1967 – 1968.

Keluarga besar Abdul Manap kemudian diteruskan oleh Zoerman Manap yang menjadi Ketua DPRD Propinsi Jambi dan sekarang menjadi Wakil Ketua DPRD Propinsi Jambi.

Selain Zoerman Manap juga Tommy Effendi Manap dan H. Arifin Manap (terakhir sebagai Walikota Jambi).

Generasi ini kemudian diteruskan oleh Arief Munandar (Sekda Kabupaten Tanjabbar) dan Nuzul Prakarsa (Ketua KNPI Propinsi Jambi dan anggota DPRD Kota Jambi).

Selain itu juga, Jambi mengenal Batang Asai dengna melihat kiprah Abunjani, seorang pejuang nasional yang namanya dipampang di salah satu jalan utama di Kota Jambi. Abunjani merupakan anak seorang demang yang berkedudukan di Rantau Panjang, Batang Asai yang bernama Demang Makalam (PERAN ABUNJANI DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN DI JAMBI, Oleh: Drs. Junaidi T. Noor, M.M)

Gubernur Hasan Basri Agus (HBA) sendiripun mengakui hancurnya infrastruktur ke Batang Asai. Dalam lawatannya ke Margo Batin Pengambang, HBA telah menganggarkan 60 milyar untuk Batang Asai.

Bahkan pada Gubernur sebelumnya (Zulkifli Nurdin), sudah mengingatkan dan jalan Sarolangun – Batang asai termasuk kedalam daerah jalan propinsi yang termasuk kategori rusak.

Namun perhatian dari Gubernur Jambi dan banyaknya “putra-putra” Batang Asai di Jambi tidak menyebabkan jalan menuju ke Batang Asai mengalami kemajuan atau menjadi baik. Batang Asai masih dikenal dengan kecamatan yang sangat terisolir di Sarolangun.

Dalam perjalanan saya menuju ke Batang Asai (perjalanan yang kelima), saya merasakan langsung bagaimana jalur “urat nadi” rakyat praktis “tidak mendapatkan perhatian.

Perjalanan panjang dimulai dengan menempuh rute seperti ini.



Mobil yang bisa melewati harus menggunakan double gardan. Seluruh peralatan mesin harus dipastikan “all ready”, super yang handal membaca medan dan tentu saja harus berkejaran dengan waktu dan musim hujan yang mengancam semakin rusaknya jalan.


Saya kemudian harus menggunakan jenis Daihatsu Hiline yang sering digunakan untuk daerah-daerah jalan sejenis seperti ke Jangkat (Bangko).

Entah beberapa kali, mobil yang terperosok di jalan. Mobil-mobil yang mengangkut penumpang seperti Suzuki Avivi, Toyota Innova dan harus juga menarik mobil L 300 yang mengangkut barang dagangan.

Dan entah berapa lam waktu yang dihabiskan untuk menarik mobil satu persatu.

Bahkan mobil L 2 Super jenis mitsubishi double cabinpun tidak berdaya melewati “ganasnya jalur”.

Mengingat perjalanan yang ditempuh, maka harga-harga melambung tinggi.

Untuk ongkos ke Batang Asai dengan menggunakan angkutan umum bisa mencapai Rp 150.000,-.Harga solar bisa mencapai Rp 12.000/liter. Bensin bisa mencapai 9 – 10 ribu. Itupun kalau ada. Lebih sering kekurangan stok untuk mendapatkannya.

Pada perjalanan saya ke Batang Asai, justru tidak berpapasan dengan kendaraan yang mengangkut kebutuhan-kebutuhan masyarakat di Batang Asai ataupun kendaraan yang membawa hasil-hasil pertanian. Perjalananpun sepi.

Namun mobil daihatsu hiline hanya mampir di Tambak Ratu. Salah satu desa yang hanya bisa dilalui mobil. Jalan selanjutnya harus menggunakan sepeda motor.



Pertimbangan menggunakan sepeda motor selain jalan yang ditempuh hanya menggunakan sepeda motor, berbukit dengan jalur curam selebar jalan setapak, desa-desa yang dilalui memang masih banyak yang mudah menggunakan sepeda motor. Bahkan untuk memotong jalur, saya juga harus mengitari tepian sungai Batang Asai.

Setelah 5 hari berada di Margo Batin Pengambang, tanggal 30 April kemudian pulang.

Ketika perjalanan pulang, jalan yang semula “sedikit baik” untuk ukuran mobil daihatsu hiline justru dibasahi hujan sebelumnya.

Dengan rute yang sama, kami harus menunggu 30 menit untuk melihat keadaan dan menghitung kemungkinan terburuk menempuh perjalanan itu.

Perhitungan ini dilakukan setelah sebelumnya, mobil dengan jenis yang sama terperosok di tengah jalur dan harus menunggu mobil lain untuk menariknya.

Maka setelah menghitung berbagai kemungkinan, double persneling digunakan. Takut menempuh resiko, maka double “berat” langsung digunakan.

Setelah menunggu mobil yang terperosok, mesinpun dipacu, suara mesin meraung. Untuk menghindarkan di tengah jalan yang berlobang, maka dari jauh, mesin dipacu lebih kencang. Sehingga mobil terjungkang masuk kedalam lobang. Bahkan melompat tinggi sehingga melewati lobang yang cukup dalam agar tidak terperosok, mesin dipacu lebih kencang.



Untunglah dengan perawatan mesin yang rutin, kehandalan “driver” yang tangguh, rintangan bisa dilewati.

Melewati rintangan di jalan Batang Asai selain menimbulkan sensasi, adrenalin yang tinggi, juga menjadi pengalaman yang tidak terlupakan.

Namun pengalaman itu tidak serta merta melupakan kepada saya. Bagaimana mungkin, Batang Asai telah melahirkan putra-putra terbaiknya, namun jalan menuju ke Batang Asai tidak pernah membaik.