PERJALANAN
KE BATANG ASAI
25
– 30 April 2014
Pada
tanggal 25 – 30 April 2014, saya kembali ke daerah yang biasa
dikenal Margo Batin Pengambang. Margo Batin Pengambang merupakan
salah satu Margo yang masih diakui masyarakat di daerah hulu batang
asai. Desa-desa yang termasuk ke dalam margo batin Pengambang yaitu
Desa Tambak Ratu, Desa Batin Pengambang, Desa Batu Empang, Desa
Simpang narso, Simpang Muara Air Duo, Desa Sungai Keradak dan Desa
Bukit Berantai. Desa terakhir merupakan desa pemekaran dari Desa
Simpang Narso. Margo Batin Pengambang kemudian termasuk kecamatan
Batang Asai.
Perjalanan
ke Batang asai dimulai dari Sarolangun (salah satu kabupaten di
Jambi. Berjarak sekitar 180 km arah selatan dari Jambi). Dari
Sarolangun ke Ibukota Kecamatan Batang asai di Pasar Gerabak bisa
ditempuh rata-rata 3 – 4 jam. Namun jalan yang buruk dan berbagai
hambatan di jalan (sering longsor) menyebabkan perjalanan ke Batang
Asai sering terhambat.
Setelah
dari Batang Asai ke Batin pengambang berjarak 24 km.
Batang
Asai sudah menghasilkan putra-putra terbaik di Propinsi Jambi.
Sebagai contoh H. Abdul Manap sebagai pejabat Gubernur Jambi tahun
1967 – 1968.
Keluarga
besar Abdul Manap kemudian diteruskan oleh Zoerman Manap yang menjadi
Ketua DPRD Propinsi Jambi dan sekarang menjadi Wakil Ketua DPRD
Propinsi Jambi.
Selain
Zoerman Manap juga Tommy Effendi Manap dan H. Arifin Manap (terakhir
sebagai Walikota Jambi).
Generasi
ini kemudian diteruskan oleh Arief Munandar (Sekda Kabupaten
Tanjabbar) dan Nuzul Prakarsa (Ketua KNPI Propinsi Jambi dan anggota
DPRD Kota Jambi).
Selain
itu juga, Jambi mengenal Batang Asai dengna melihat kiprah Abunjani,
seorang pejuang nasional yang namanya dipampang di salah satu jalan
utama di Kota Jambi. Abunjani merupakan anak seorang demang yang
berkedudukan di Rantau Panjang, Batang Asai yang bernama Demang
Makalam (PERAN ABUNJANI DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN DI JAMBI,
Oleh: Drs. Junaidi T. Noor, M.M)
Gubernur
Hasan Basri Agus (HBA) sendiripun mengakui hancurnya infrastruktur ke
Batang Asai. Dalam lawatannya ke Margo Batin Pengambang, HBA telah
menganggarkan 60 milyar untuk Batang Asai.
Bahkan
pada Gubernur sebelumnya (Zulkifli Nurdin), sudah mengingatkan dan
jalan Sarolangun – Batang asai termasuk kedalam daerah jalan
propinsi yang termasuk kategori rusak.
Namun
perhatian dari Gubernur Jambi dan banyaknya “putra-putra” Batang
Asai di Jambi tidak menyebabkan jalan menuju ke Batang Asai mengalami
kemajuan atau menjadi baik. Batang Asai masih dikenal dengan
kecamatan yang sangat terisolir di Sarolangun.
Dalam
perjalanan saya menuju ke Batang Asai (perjalanan yang kelima), saya
merasakan langsung bagaimana jalur “urat nadi” rakyat praktis
“tidak mendapatkan perhatian.
Perjalanan
panjang dimulai dengan menempuh rute seperti ini.
Mobil
yang bisa melewati harus menggunakan double gardan. Seluruh peralatan
mesin harus dipastikan “all ready”, super yang handal membaca
medan dan tentu saja harus berkejaran dengan waktu dan musim hujan
yang mengancam semakin rusaknya jalan.
Saya
kemudian harus menggunakan jenis Daihatsu Hiline yang sering
digunakan untuk daerah-daerah jalan sejenis seperti ke Jangkat
(Bangko).
Entah
beberapa kali, mobil yang terperosok di jalan. Mobil-mobil yang
mengangkut penumpang seperti Suzuki Avivi, Toyota Innova dan harus
juga menarik mobil L 300 yang mengangkut barang dagangan.
Dan
entah berapa lam waktu yang dihabiskan untuk menarik mobil satu
persatu.
Bahkan
mobil L 2 Super jenis mitsubishi double cabinpun tidak berdaya
melewati “ganasnya jalur”.
Mengingat
perjalanan yang ditempuh, maka harga-harga melambung tinggi.
Untuk
ongkos ke Batang Asai dengan menggunakan angkutan umum bisa mencapai
Rp 150.000,-.Harga solar bisa mencapai Rp 12.000/liter. Bensin bisa
mencapai 9 – 10 ribu. Itupun kalau ada. Lebih sering kekurangan
stok untuk mendapatkannya.
Pada
perjalanan saya ke Batang Asai, justru tidak berpapasan dengan
kendaraan yang mengangkut kebutuhan-kebutuhan masyarakat di Batang
Asai ataupun kendaraan yang membawa hasil-hasil pertanian.
Perjalananpun sepi.
Namun
mobil daihatsu hiline hanya mampir di Tambak Ratu. Salah satu desa
yang hanya bisa dilalui mobil. Jalan selanjutnya harus menggunakan
sepeda motor.
Pertimbangan
menggunakan sepeda motor selain jalan yang ditempuh hanya menggunakan
sepeda motor, berbukit dengan jalur curam selebar jalan setapak,
desa-desa yang dilalui memang masih banyak yang mudah menggunakan
sepeda motor. Bahkan untuk memotong jalur, saya juga harus mengitari
tepian sungai Batang Asai.
Setelah
5 hari berada di Margo Batin Pengambang, tanggal 30 April kemudian
pulang.
Ketika
perjalanan pulang, jalan yang semula “sedikit baik” untuk ukuran
mobil daihatsu hiline justru dibasahi hujan sebelumnya.
Dengan
rute yang sama, kami harus menunggu 30 menit untuk melihat keadaan
dan menghitung kemungkinan terburuk menempuh perjalanan itu.
Perhitungan
ini dilakukan setelah sebelumnya, mobil dengan jenis yang sama
terperosok di tengah jalur dan harus menunggu mobil lain untuk
menariknya.
Maka
setelah menghitung berbagai kemungkinan, double persneling digunakan.
Takut menempuh resiko, maka double “berat” langsung digunakan.
Setelah
menunggu mobil yang terperosok, mesinpun dipacu, suara mesin meraung.
Untuk menghindarkan di tengah jalan yang berlobang, maka dari jauh,
mesin dipacu lebih kencang. Sehingga mobil terjungkang masuk kedalam
lobang. Bahkan melompat tinggi sehingga melewati lobang yang cukup
dalam agar tidak terperosok, mesin dipacu lebih kencang.
Untunglah
dengan perawatan mesin yang rutin, kehandalan “driver” yang
tangguh, rintangan bisa dilewati.
Melewati
rintangan di jalan Batang Asai selain menimbulkan sensasi, adrenalin
yang tinggi, juga menjadi pengalaman yang tidak terlupakan.
Namun
pengalaman itu tidak serta merta melupakan kepada saya. Bagaimana
mungkin, Batang Asai telah melahirkan putra-putra terbaiknya, namun
jalan menuju ke Batang Asai tidak pernah membaik.