01 Mei 2014

opini musri nauli : MENGHITUNG KALKULASI CAPRES 2014





Belum selesai penetapan KPU terhadap suara yang diraih oleh partai dan anggota DPR-DPRD, partai politik sudah mempersiapkan diri untuk memasuki Pilpres 2014. Dengan memperlihatkan berbagai lembaga penghitung cepat (quick count), maka PDIP sudah dinyatakan sebagai pemenang 18,90 %. Disusul oleh Partai Golkar 14,30 %. Dan Gerindra 11,80 %. 
Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu 2009 hanya meraih 9,70 %. Sedangkan Partai Islam, PKB berhasil meraih 9,20 %. disusul PAN meraih 7,50 %, PKS 6,90 % dan PPP 6,70%. Bahkan Partai Nasdem sendiri mampu “menyodok” dengan meraih 6.90%. Dengan demikian, hanya PKS dan Partai Demokrat yang turun meraih suara dari pemilu sebelumnya.

Dengan melihat komposisi suara yang telah diraih, maka sudah dipastikan, di parlemen tidak ada suara yang mayoritas. Bandingkan pada pemilu sebelum-sebelumnya. Dimana suara partai di parlemen bisa mempengaruhi kekuatan politik mencalonkan presiden.

Dengan demikian, maka seluruh partai yang hendak mengusung calon Presiden harus membangun kekuatan koalisi untuk mencukupi suara untuk diusung calon Presiden.

PDIP sudah mencalonkan Joko Widodo, Partai Golkar Aburizal Bakrie dan Partai Gerindra sudah mantap mencalonkan Prabowo sebagai Presiden. Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu 2009 belum memberikan hasil yang memuaskan walaupun telah melewati mekanisme Konvensi Partai Demokrat.

Apabila kita mau melihat komposisi yang terjadi, maka diharapkan adanya 4 calon Presiden yang bisa diusung. PDI mengusung Jokowi, Partai Golkar mendorong Abu Rizal Bakrie, Partai Gerindra mencalonkan Prabowo. Sedangkan partai menengah dengan satu calon. Atau partai Islam berkoalisi untuk mencalonkan dari partai kalangan Islam.

Dengan demikian, maka PDIP, Partai Golkar dan Partai Gerindra diharapkan menjadi “leading” untuk memimpin koalisi mengusung capres 2014. Partai Islam dan partai menengah lainnya belum mampu mendorong untuk mengimbangi Jokowi, ARB dan Prabowo.

Namun skenario nampaknya sulit tercapai. Jokowi relatif “melenggang” aman setelah PDI-P dengan Partai Nasdem. Dengan hitung-hitungan, maka Jokowi “lolos” pada babak kualifikasi.

ARB sendiri belum “berhasil” menarik kalangan nasionalis (Partai Demokrat, Partai Hanura). Sementara dukungan dari partai islam tidak berhasil menjadikan prioritas Abu Rizal Bakrie sebagai kandidate Presiden. Pertemuan dengan Mahfud untuk menarik suara PKB “mentah di tengah jalan.

Yang seru terhadap Prabowo. Semula “mendapatkan” dukungan penuh dari Ketua Umum PPP. Namun “perselisihan” internal partai, PPP kemudian tidak memberikan arah yang jelas kepada Prabowo. Selain karena PPP harus tunduk dengan keputusan organisasi dengna mengusung 6 nama calon Presiden (Prabowo tidak termasuk), sikap dari Surya Darma Ali terburu-buru justru menimbulkan persoalan. Cerita ini kemudian hilang.

Prabowo kemudian mengirimkan surat kepada PKS. Namun sambutan ini belum mendapatkan jawaban yang “meyakinkan”. Walaupun PKS memberikan dukungan kepada Prabowo, namun suara ini belum cukup juga untuk mendorong Prabowo ke pilpres 2014. Masih membutuhkan dukungan dari partai lain.

Sementara partai-partai menengah lainnya masih berhitung memberikan dukungan kepada Prabowo.

Partai-partai Islam (PKB, PAN, PPP, PKS) berkeinginan mengusung calon sendiri. Nama-nama seperti Mahfud, MD, Hidayat Nur wahid, Anis Baswedan, Hatta Rajasa, Anis Matta sempat beredar. Namun nama-nama yang telah beredar, belum mendapatkan respon untuk didorong.

Namun koalisi ini bubar sebelum matang. PKB sendiri jauh-jauh hari sudah kapok berkoalisi dengan partai Islam. Muhaimin Iskandar mengingatkan bagaimana “pelengseran” Gusdur dalam Sidang Istimewa tahun 2001. Koalisi partai islam kemudian bubar. Bahkan PKB sendiri akhirnya “berlabuh” ke Jokowi.

Dengan melihat perkembangan terkini, maka Partai Islam dan Partai menengah “sedang berhitung”. Mendorong calon sendiri dengan kalkulasi politik akan kalah. Sedangkan memberikan dukungan kepada Prabowo “sulit” menemukan “chemistry” sebagai kekuatan politik.

Lalu bagaimana kita melihat perkembangan yang terjadi ?

Yang pasti, cuma PDIP dan Jokowi yang relatif aman “menatap” Pilpres. Prabowo mulai “terancam” tidak bisa “lulus” verifikasi.

Begitu juga dengan ARB. Relatif belum aman.

Sedangkan Partai menengah atau partai Islam belum juga bergerak menetapkan sikapnya. Mendukung Jokowi, Prabowo, ARB atau mendorong satu nama.

Atau mencoba format “koalisi Partai Golkar dan Partai Gerindra dengan konsekwensi salah satu harus “bersedia” menjadi cawapres. Sebuah pertaruhan yang cukup sulit mengingat Partai Golkar sebagai “pemain kawakan” tidak mau dijadikan cawapres.

Apakah Prabowo “rela” kembali menjadi cawapres setelah gagal tahun 2009 ?

Wah. Wah. Salah-salah Jokowi “melawan kotak kosong”.

Atau kita menunggu langkah cerdas dari petinggi partai untuk menghadapi pilpres ?