Dalam
dunia yang begitu cepat, informasi begitu penting, maka trend dunia
sudah berubah.
Dulu
orang hanya mengenal produk. Kemudian bergeser mengenal mutu. Namun
itupun tidak cukup. Kemudian beralih kemasan. Dan sekarang menjadi
branding.
Begitulah
dunia yang terus berubah.
Dengan
mudah kita mengingat branding “apapun makanannya, minumnya tetap
sosro”.
Atau
mengingat pesan “sebelum makan harus cuci tangan”. Padahal
branding yang dibangun adalah produk sabun.
Hiruk
pikuk dunia politikpun tidak mau ketinggalan. Kemenangan Barrack
Obama tahun 2008 berhasil sebagai “tokoh muda” dengan
branding “Yes, we change”.
Dukungan
mengalir. Obama kemudian berhasil memasuki branding “Yes. We
Change”. Sebuah branding lintas partai, agama yang “memaksa”
rakyat Amerika mengalihkan pandangan kepada senator muda bagian
negara Illinois.
Padahal
“serangan” kepada Obama “dibongkar habis.
Ditelisik agama dan berbagai “issu tidak sedap”. Dianggap
melawan “dominasi kulit putih”.
Namun
branding “Yes, we change” terus mendapatkan dukungan.
Bahkan dalam suasana Pilpres AS tahun 2008, berbagai teman saya di AS
mengabarkan “bagaimana dukungan dari rakyat AS”
menyisihkan 1 US$/bulan/orang. Obama kemudian berhasil menghimpun
dukungan hingga 20 juta US$/perbulan.
Dengan
dana sebesar itu, maka Obama salah satu Presiden yang keliling
Amerika dengna menggunakan pesawat “carteran”. Sebuah
upaya yang tidak bisa ditandingi oleh John Mc Cain.
Dengan
branding “Golkar Baru”, Partai Golkar berhasil melewati
masa krisis 1998, bertahan di pemilu 1999 dan berhasil menjadi
pemenang pertama tahun 2004.
Dengan
branding “terpercaya”, KPK terus mengasak koruptor yang
membuat degup jantung penduduk Indonesia “berhenti sejenak untuk
bernafas”. Satu persatu “diluar perkiraan” mulai
dipreteli KPK. Djoko Susilo (Kakorlantas), Luthi Hasan Ishaq
(Presiden PKS), Rudi Rudiandini (SKK Migas) dan Akil Mukhtar (Ketua
MK).
Dengan
branding “terpercaya”, KPK mendapatkan dukungan publik
ketika “serangan ke KPK”. Kasus kriminalisasi Bibit –
Chandra “mendapatkan dukungan sejuta facebokers” sehingga
Presiden mengeluarkan “perintah” untuk menghentikan kasus
ini ke pengadilan.
Begitu
juga terhadap “penyerbuan” kepolisian untuk menangkap
Novel Baswedan. Dukungan dari publik terus mengalir dan membangun
“pagar betis” untuk memagari KPK.
Kontras
melahirkan branding “melawan lupa” sebagai pengingat
terhadap kejahatan HAM.
Partai
Nasdem menggunakan istilah “restorasi Indonesia” sebagai
branding partai baru dan berhasil meraih suara yang cukup signifikan.
Memasuki
pilpres 2014, branding Prabowo dibangun. “Tegas”.
Sedangkan Jokowi “Pemimpin rakyat'.
Keduanya
kemudian memasuki pilpres 2014.
Dengan
dua branding itulah, kemudian publik disodorkan apakah “tegas”
dan “pemimpin rakyat”.
Lalu
dengan branding yang sudah dibangun, apakah publik tidak
diperkenankan untuk menilai ?
Ya.
Silahkan menilai sendiri terhadap branding yang sudah dibangun.
Silahkan dilihat apakah brandingnya sudah cocok dengan produknya.
Sudah cocok dengan mutunya. Sudah cocok dengan kemasan itu.
Kalo
tidak berkenan. Silahkan dilihat branding yang lain.
Begitu
juga kita. Branding “apapun makanannya, minumnya tetap sosro”
tidak mesti kita ikuti. Kita bisa saja pesan minuman kopi (terhadap
penggila kopi) atau cukup air putih saja.