Usai
sudah penetapan Capres/cawapres 2014. Usai sudah penetapan nomor urut
Capres/Cawapres 2014. Tinggal kita “mempersiapkan” diri
melihat kampanye yang dilakukan oleh para tim sukses.
Tentu
saja banyak analisa tentang kemenangan Pilpres. Banyak prediksi,
perkiraan siapa yang menjadi pemenang Pilpres. Banyak yang memberikan
pendapat “siapa yang pantas” menjadi pemimpin di Republik
Indonesia.
Namun
untuk sementara lupakan. Kembali kita merenung diri. Kembali belajar
arti seorang pemimpin.
Di
daerah-daerah hulu Sungai Batanghari, pemimpin sering diibaratkan
sebagai “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan
habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan
menginjek.
Kata-kata
“ Yang memakan habis, memancung putus” dimaknai
sebagai “kata-kata pemimpin didalam mengambil keputusan
dapat menyelesaikan berbagai
persoalan yang dihadapinya. Kata-katanya didengar dan merupakan
solusi yang disampaikannya.
Kata-kata
“dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek.
Dimaknai sebagai “ketika setelah mengambil keputusan, maka
keputusan yang telah dihasilkan tidak boleh disesali. Keputusan yang
dilakukan harus dengna keyakinan yang terbaik untuk masyarakat.
Kata-kata
“Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu
kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah.
Seorang
pemimpin dapat menjadi “muara” dari semua persoalan. Muara
dari jawaban dari pertanyaan rakyat yang dipimpinnya. Tempat orang
bertanya terhadap berbagai sengketa dan perselisihan yang terjadi di
tengah masyarakat. Tempat mengadu berbagai persoalan dan muara dari
jawaban persoalan itu sendiri.
Seorang
pemimpin “didahulukan selangkah”. Dilebihkan sekata'
Seorang
pemimpin harus diutamakan. Seorang pemimpin didepan menghadapi
persoalan. Seorang pemimpin bersedia mengambil alih tanggung jawab
dari berbagai persoalan.
Seorang
pemimpin “dilebihkan sekata” melambangkan seorang pemimpin yang
mempunyai wawasan yang luas. Bisa menjawab semua persoalan. Bisa
menjelaskan “apa yang belum terpikirkan” masyarakat. Tempat orang
“yang bisa menjelaskan dengan bijaksana.
Begitu
juga pemimpin sering diibaratkan seperti pohon Beringin. “Pohonnya
rindang tempat berteduh. Akarnya besar tempat Bersilo.
Pemimpin
dihormati masyarakat dapat menjadi pengayom. Tempat berlindung
masyarakat dari berbagai persoalan. Tempat “bercerita”
bertukar pikiran terhadap persoalan sehari-hari. Tempat
“bercengkrama” dan bersenda gurau. Tempat “bersuka
ria” melewati persoalan.
Pemimpin
yang baik “Tempat orang bertanyo. Tempat orang bercerito”.
Ketika masyarakat hendak menyelesaikan berbagai persoalan, pemimpin
merupakan orang pertama yang diminta pendapat. Pemimpin tempat
“mengadukan” dan menemukan jawaban dari persoalan.
Masyarakat
menemui pemimpin ketika “hendak pergi”. Tempat bertanya
berbagai tempat yang hendak dituju. Tempat orang bertanya berbagai
hal tentang tempat yang dituju.
Pemimpin
yang baik “tempat” orang bercerita setelah datang dari
tempat yang jauh. “tempat” bercerita tempat yang telah
didatangi. Tempat orang menyampaikan berbagai peristiwa setelah
kedatangan tempat yang telah dituju.
Begitu tinggi
penghormatan kepada pemimpin sering diujarkan “Alam sekato Rajo.
Negeri sekato batin”.
Begitu agung dan
dihormati pemimpin, masyarakat akan mengikuti setiap perintah, setiap
perkataan dari pemimpin. Setiap perkataan dan perintah dari pemimpin
sebagai bentuk pemimpin yang dihormati.
Mereka
“menyerahkan”
hidupnya. Menyerahkan masa depannya kepada pemimpin.
Pemimpin
yang baik tidak akan mencoba “menyakiti”
rakyatnya. Tidak boleh mengkhianati rakyat. Tidak boleh “berbohong”.
Tidak boleh bertindak tidak adil. “Belah bambunya”.
Satu diangkat. Satu diinjek (dipijak).
Satu di untungkan namun yang lain dikorbankan.
Satu di bedakan. Satu diistimewakan. Satu diperlakukan tidak adil. Satu diperlakukan begitu kejam. Satu diperlakukan tidak pantas. Tidak boleh itu.
Kita
sering mengenal ujaran “Rajo alim kami sembah, rajo zolim
kami sanggah”. Jatuh dipemanjat. Jatuh di perenang”
Rakyat
mempunyai cara untuk melawannya. Rakyat mempunyai sikap untuk
menentangnya.
Rakyat
tahu “pemimpin yang baik”. Rakyat tahu pemimpin yang
zolim”.
Mereka
menangkapnya dengan rasa. Mereka menangkapnya dengan hati.
Hati
dan rasa merupakan cermin yang tidak bisa dibohongi. Hati dan rasa
tidak bisa khianati.
Sebuah
asa yang tidak bisa temukan dari perjalanan sehari atau dua hari kita
ke desa itu.
Tentu
saja masih banyak “Seloko” atau kata-kata bijaksana. Masih banyak
yang mesti dituliskan. Tinggal kita mau mendengarkan dengan tulus dan
memandang masyarakat yang mengagungkan seorang pemimpin.