04 Juni 2014

opini musri nauli : Mencari “Pemimpin



Usai sudah penetapan Capres/cawapres 2014. Usai sudah penetapan nomor urut Capres/Cawapres 2014. Tinggal kita “mempersiapkan” diri melihat kampanye yang dilakukan oleh para tim sukses.


Tentu saja banyak analisa tentang kemenangan Pilpres. Banyak prediksi, perkiraan siapa yang menjadi pemenang Pilpres. Banyak yang memberikan pendapat “siapa yang pantas” menjadi pemimpin di Republik Indonesia.
Namun untuk sementara lupakan. Kembali kita merenung diri. Kembali belajar arti seorang pemimpin.

Di daerah-daerah hulu Sungai Batanghari, pemimpin sering diibaratkan sebagai “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek.

Kata-kata “ Yang memakan habis, memancung putus” dimaknai sebagai “kata-kata pemimpin didalam mengambil keputusan dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya. Kata-katanya didengar dan merupakan solusi yang disampaikannya.

Kata-kata “dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek. Dimaknai sebagai “ketika setelah mengambil keputusan, maka keputusan yang telah dihasilkan tidak boleh disesali. Keputusan yang dilakukan harus dengna keyakinan yang terbaik untuk masyarakat.

Kata-kata “Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah.

Seorang pemimpin dapat menjadi “muara” dari semua persoalan. Muara dari jawaban dari pertanyaan rakyat yang dipimpinnya. Tempat orang bertanya terhadap berbagai sengketa dan perselisihan yang terjadi di tengah masyarakat. Tempat mengadu berbagai persoalan dan muara dari jawaban persoalan itu sendiri.

Seorang pemimpin “didahulukan selangkah”. Dilebihkan sekata'

Seorang pemimpin harus diutamakan. Seorang pemimpin didepan menghadapi persoalan. Seorang pemimpin bersedia mengambil alih tanggung jawab dari berbagai persoalan.

Seorang pemimpin “dilebihkan sekata” melambangkan seorang pemimpin yang mempunyai wawasan yang luas. Bisa menjawab semua persoalan. Bisa menjelaskan “apa yang belum terpikirkan” masyarakat. Tempat orang “yang bisa menjelaskan dengan bijaksana.

Begitu juga pemimpin sering diibaratkan seperti pohon Beringin. “Pohonnya rindang tempat berteduh. Akarnya besar tempat Bersilo.

Pemimpin dihormati masyarakat dapat menjadi pengayom. Tempat berlindung masyarakat dari berbagai persoalan. Tempat “bercerita” bertukar pikiran terhadap persoalan sehari-hari. Tempat “bercengkrama” dan bersenda gurau. Tempat “bersuka ria” melewati persoalan.

Pemimpin yang baik “Tempat orang bertanyo. Tempat orang bercerito”. Ketika masyarakat hendak menyelesaikan berbagai persoalan, pemimpin merupakan orang pertama yang diminta pendapat. Pemimpin tempat “mengadukan” dan menemukan jawaban dari persoalan.

Masyarakat menemui pemimpin ketika “hendak pergi”. Tempat bertanya berbagai tempat yang hendak dituju. Tempat orang bertanya berbagai hal tentang tempat yang dituju.

Pemimpin yang baik “tempat” orang bercerita setelah datang dari tempat yang jauh. “tempat” bercerita tempat yang telah didatangi. Tempat orang menyampaikan berbagai peristiwa setelah kedatangan tempat yang telah dituju.



Begitu tinggi penghormatan kepada pemimpin sering diujarkan “Alam sekato Rajo. Negeri sekato batin”.
Begitu agung dan dihormati pemimpin, masyarakat akan mengikuti setiap perintah, setiap perkataan dari pemimpin. Setiap perkataan dan perintah dari pemimpin sebagai bentuk pemimpin yang dihormati.
Mereka “menyerahkan” hidupnya. Menyerahkan masa depannya kepada pemimpin.

Pemimpin yang baik tidak akan mencoba “menyakiti” rakyatnya. Tidak boleh mengkhianati rakyat. Tidak boleh “berbohong”. Tidak boleh bertindak tidak adil. “Belah bambunya”. Satu diangkat. Satu diinjek (dipijak). Satu di untungkan namun yang lain dikorbankan.

Satu di bedakan. Satu diistimewakan. Satu diperlakukan tidak adil. Satu diperlakukan begitu kejam. Satu diperlakukan tidak pantas. Tidak boleh itu.

Kita sering mengenal ujaran “Rajo alim kami sembah, rajo zolim kami sanggah”. Jatuh dipemanjat. Jatuh di perenang

Rakyat mempunyai cara untuk melawannya. Rakyat mempunyai sikap untuk menentangnya.

Rakyat tahu “pemimpin yang baik”. Rakyat tahu pemimpin yang zolim”.

Mereka menangkapnya dengan rasa. Mereka menangkapnya dengan hati.

Hati dan rasa merupakan cermin yang tidak bisa dibohongi. Hati dan rasa tidak bisa khianati.

Sebuah asa yang tidak bisa temukan dari perjalanan sehari atau dua hari kita ke desa itu.

Tentu saja masih banyak “Seloko” atau kata-kata bijaksana. Masih banyak yang mesti dituliskan. Tinggal kita mau mendengarkan dengan tulus dan memandang masyarakat yang mengagungkan seorang pemimpin.