Banyak
yang pesimis terhadap perkembangan politik kontemporer Indonesia.
Banyak yang tidak percaya “Partai” merupakan instrumen
demokrasi di negara modern. Agama, warna kulit, suku tidaklah menjadi
“ukuran” demokrasi. Kekuatan oligarkhi politik, politik
dinasti, modal yang besar “memasuki” dunia politik.
Pelan
tapi pasti, bandul terus bergerak. Mengikuti dinamika masyarakat.
Mengikuti putaran zaman yang terus menggelinding. Tidak bisa
dibendung apalagi dihentikan.
15
tahun reformasi berlalu. Setiap akrobat yang silih berganti, suara
yang menggelegar terkatup, terkunci mulut berhadapan dengan
kenyataan.
Silih
berganti “para aktor politik berjumplitan. “teriak
reformasi”, teriak anti korupsi namun kita kemudian
menyaksikan “kepalsuan” yang satu persatu mulai terbuka.
Menyaksikan “topeng” palsu pelan-pelan terbuka
Pelan
tapi pasti, bandul itu terus bergerak.
Tahun
2014 memberikan “pesan”. Tahun 2014 memberikan kabar. Ada
cahaya “harapan”. Ada “cahaya” perubahan.
Cahaya yang semula “redup” namun terus menampakkan
sinarnya.
Cahaya
itu ditandai dengan “majunya” Jokowi sebagai Presiden
2014. Mengalahkan “dominasi” dinasti Soekarno di PDIP.
Menyibak “kekakuan” suara ningrat kekuasaan politik yang
dikuasai dinasti.
Pelan
tapi pasti. Kemunculan Jokowi “melawan dominasi” kekuasaan
politik yang dikuasai “segelintir” elite politik.
Jokowi
“lahir” dari rahim rakyat. Jokowi terus berproses bersama
dengan keyakinan rakyat. Jokowi hadir terhadap jenuhnya pemilih
terhadap pilihan politik. Ketua Partai yang “itu-itu saja”.
Jokowi “membawa” harapan pemilihnya. Jokowi membawa pemilu
menjadi “bermakna”. Jokowi meyakinkan pemilih proses
demokrasi yang dilalui melalui pemilu.
Jokowi
“membawa' perubahan. Jokowi membawa “harapan”
dari rakyat.
Jokowi
membawa dan “mewakili” generasi sekarang. Generasi yang
“muak” dengan pidato “berapi-api”. Muak dengan
“kepura-puraan”. Generasi yang “tulus”.
Generasi yang “sudah” bosan mendengarkan pidato yang
“membosankan”. Persis acara tujuhbelasan agustus.
Jokowi
menawarkan gagasan dari generasinya. Jokowi melawan kemapanan.
Belum
reda membicarakan Jokowi, publik kemudian “dikagetkan”
dengan tampil “nyelehnya” Adian Napitupulu. Berpakaian
“ala” anak muda, memberikan jawaban yang “diluar
perkiraan”. Memberikan jawaban yang “mewakili” anak
muda. Bicara “diluar pakem”. Suka “skak”
jawaban dari lawan diskusi. Santai meladeni “serangan”.
Mengatur arah diskusi. Persis gaya “Wiro Sableng”. Kadang
mengeluarkan jurus yang serius, namun sering menggunakan jurus mabuk
yang membikin lawan bingung ke arah mana kuda-kuda dan serangan yang
dilemparkan.
Adian
“mewakili” anak muda yang “bosan” dengan gaya formal.
Gaya birokrat. Bertutur persis orang “kantoran”.
Di
lain kisah, gaya tedeng aling-aling Ahok membuat “masyarakat”
suka. Menertibkan Jakarta yang banyak “pemain” ditundukkan
dengan Ahok. Melawan kelompok radikal diladeni 'sambil”
berkacak pinggang. Bertemu dengan kelompok buruh yang “meminta”
aneh-aneh diladeni Ahok sambil “menantang” transparansi
keuangan organisasi buruh.
Semua
rapat kemudian dimasukkan di media maya – youtube.
Ahok
berhasil “menguasai” panggung Jakarta. Ahok menjadi
trendsetter yang dilihat sepak terjangnya.
Jokowi,
Adian dan Ahok mewakili masyarakat terpinggirkan. Tidak mempunyai
partai, sering diisukan SARA (baik agama maupun suku) berhasil
“mewarnai” jagat politik kontemporer. Menjadi “harapan”
akan perubahan.
Jokowi,
Adian dan Ahok mewakili harapan kita. Jokowi, Adian dan Ahok “melawan
dominasi” kekuasaan yang dikuasai segelintir orang. Jokowi,
Adian dan Ahok adalah generasi sekarang. Generasi yang akan
“menentukan” sejarah bangsa ke depan.
Jokowi,
Adian dan Ahok adalah wajah Bhinneka Tunggal Ika. Jokowi, Adian dan
Ahok adalah wajah pluralisme dan keberagaman wajah Indonesia.
Selamat
datang Indonesia.
Baca : Adian Napitupulu