04 Juni 2014

opini musri nauli : Jokowi, Adian Napitupulu dan Ahok





Banyak yang pesimis terhadap perkembangan politik kontemporer Indonesia. Banyak yang tidak percaya “Partai” merupakan instrumen demokrasi di negara modern. Agama, warna kulit, suku tidaklah menjadi “ukuran” demokrasi. Kekuatan oligarkhi politik, politik dinasti, modal yang besar “memasuki” dunia politik.
Pelan tapi pasti, bandul terus bergerak. Mengikuti dinamika masyarakat. Mengikuti putaran zaman yang terus menggelinding. Tidak bisa dibendung apalagi dihentikan.

15 tahun reformasi berlalu. Setiap akrobat yang silih berganti, suara yang menggelegar terkatup, terkunci mulut berhadapan dengan kenyataan.

Silih berganti “para aktor politik berjumplitan. “teriak reformasi”, teriak anti korupsi namun kita kemudian menyaksikan “kepalsuan” yang satu persatu mulai terbuka. Menyaksikan “topeng” palsu pelan-pelan terbuka

Pelan tapi pasti, bandul itu terus bergerak.

Tahun 2014 memberikan “pesan”. Tahun 2014 memberikan kabar. Ada cahaya “harapan”. Ada “cahaya” perubahan. Cahaya yang semula “redup” namun terus menampakkan sinarnya.

Cahaya itu ditandai dengan “majunya” Jokowi sebagai Presiden 2014. Mengalahkan “dominasi” dinasti Soekarno di PDIP. Menyibak “kekakuan” suara ningrat kekuasaan politik yang dikuasai dinasti.

Pelan tapi pasti. Kemunculan Jokowi “melawan dominasi” kekuasaan politik yang dikuasai “segelintir” elite politik.

Jokowi “lahir” dari rahim rakyat. Jokowi terus berproses bersama dengan keyakinan rakyat. Jokowi hadir terhadap jenuhnya pemilih terhadap pilihan politik. Ketua Partai yang “itu-itu saja”. Jokowi “membawa” harapan pemilihnya. Jokowi membawa pemilu menjadi “bermakna”. Jokowi meyakinkan pemilih proses demokrasi yang dilalui melalui pemilu.

Jokowi “membawa' perubahan. Jokowi membawa “harapan” dari rakyat.

Jokowi membawa dan “mewakili” generasi sekarang. Generasi yang “muak” dengan pidato “berapi-api”. Muak dengan “kepura-puraan”. Generasi yang “tulus”. Generasi yang “sudah” bosan mendengarkan pidato yang “membosankan”. Persis acara tujuhbelasan agustus.

Jokowi menawarkan gagasan dari generasinya. Jokowi melawan kemapanan.

Belum reda membicarakan Jokowi, publik kemudian “dikagetkan” dengan tampil “nyelehnya” Adian Napitupulu. Berpakaian “ala” anak muda, memberikan jawaban yang “diluar perkiraan”. Memberikan jawaban yang “mewakili” anak muda. Bicara “diluar pakem”. Suka “skak” jawaban dari lawan diskusi. Santai meladeni “serangan”. Mengatur arah diskusi. Persis gaya “Wiro Sableng”. Kadang mengeluarkan jurus yang serius, namun sering menggunakan jurus mabuk yang membikin lawan bingung ke arah mana kuda-kuda dan serangan yang dilemparkan.

Adian “mewakili” anak muda yang “bosan” dengan gaya formal. Gaya birokrat. Bertutur persis orang “kantoran”.

Di lain kisah, gaya tedeng aling-aling Ahok membuat “masyarakat” suka. Menertibkan Jakarta yang banyak “pemain” ditundukkan dengan Ahok. Melawan kelompok radikal diladeni 'sambil” berkacak pinggang. Bertemu dengan kelompok buruh yang “meminta” aneh-aneh diladeni Ahok sambil “menantang” transparansi keuangan organisasi buruh.

Semua rapat kemudian dimasukkan di media maya – youtube.

Ahok berhasil “menguasai” panggung Jakarta. Ahok menjadi trendsetter yang dilihat sepak terjangnya.

Jokowi, Adian dan Ahok mewakili masyarakat terpinggirkan. Tidak mempunyai partai, sering diisukan SARA (baik agama maupun suku) berhasil “mewarnai” jagat politik kontemporer. Menjadi “harapan” akan perubahan.

Jokowi, Adian dan Ahok mewakili harapan kita. Jokowi, Adian dan Ahok “melawan dominasi” kekuasaan yang dikuasai segelintir orang. Jokowi, Adian dan Ahok adalah generasi sekarang. Generasi yang akan “menentukan” sejarah bangsa ke depan.

Jokowi, Adian dan Ahok adalah wajah Bhinneka Tunggal Ika. Jokowi, Adian dan Ahok adalah wajah pluralisme dan keberagaman wajah Indonesia.

Selamat datang Indonesia.