17 Juli 2014

opini musri nauli : CATATAN KECIL "KOALISI PERMANEN




Belum selesai pembahasan tentang Quick Count yang “memaksa” terbelah antara pendukung Prabowo dan pendukung Jokowi, kemarin kemudian kita menyaksikan “deklarasi” Partai-partai pengusung Prabowo. Partai Gerindra, Partai Golkar, PPP, PKS, PBB, PAN dan Partai Demokrat (Partai Demokrat tidak mendukung Prabowo. Partai Demokrat menyatakan netral namun terakhir memberikan dukungan.

Deklarasi dikemas dengan “koalisi permanen” menimbulkan pertanyaan yang menarik untuk melihat dinamika politik kontemporer. Pertanyaan untuk mengukur “keseriusan” dari partai-partai membangun komitmen.

Belum kering tinta penandatangani “koalisi permanen”, Yusril Ihza Mahendra telah menyampaikan “Sulit percaya saya terbentuknya koalisi merah putih parpol-parpol pengusung Prabowo Hatta di DPR akan jadi koalisi permanen,

Begitu juga para petinggi Partai Golkar yang “menuduh” Aburizal Bakrie belum mendapatkan mandat untuk menentukan arah suara Golkar. Partai Demokrat juga keberatan terhadap keikutsertaan dalam agenda itu.

Pertanyaan selanjutnya bagaimana membangun “koalisi” permanen dalam sistem Pemerintahan Presidentiil. Pernyataan “koalisi permanen” dalam rangka memperkuat di parlemen justru kontraproduktif dalam sistem demokrasi di Indonesia.

Pengalaman juga mengajarkan, Presiden SBY sebagai pemimpin koalisi yang menguasai partai-partai di parlemen dengan hanya meninggalkan PDIP, Partai Hanura dan Partai Gerindra.

Ditambah Partai Demokrat kemudian menjadi pemenang pemilu 2009 dan berhasil mengantarkan SBY menjadi Presiden kedua kalinya.

Praktis dalam hitungan politik, SBY begitu digdaya memperebutkan suara Pilpres dan menguasai senayan.

Namun koalisi yang disusun (lengkap dengan code of conduct) sering berseberangan. Issu BBM, Pansus Century, Pansus Pajak mengajarkan kepada SBY bagaimana susahnya “mengendalikan” koalisi gemuk. SBY praktis menjadi bulan-bulanan sehingga SBY harus berhadapan dengan senayan

Didalam Pansus Century, Partai Demokrat hanya berkoalisi dengan PKB, PAN dan PPP. Berhadapan dengan partai oposisi seperti PDIP, Partai Hanura dan Partai Gerindra. Partai Golkar dan PKS sendiri berhadapan dengan partai pemerintah. Sehingga praktis SBY gagal mengendalikan senayan.

Begitu juga dalam issu BBM. Partai Demokrat kalah berhadapan dengan Partai Golkar, Partai PKS bersama-sama dengan PDIP, Partai Gerindra dan Partai Hanura. Sehingga usulan kenaikan BBM berhasil ditolak.

Berbeda dengan pansus Pajak, Partai pemerintah justru mendapatkan dukungan dari Partai Gerindra. Sehingga pansus Pajak berhasil ditolak.

Melihat dinamika yang telah terjadi, maka praktis Partai Demokrat hanya mendapatkan dukungan dari PKB, PAN dan PPP. Partai Demokrat tidak berhasil mengendalikan Partai Golkar dan PKS.
Begitu juga didalam partai oposisi, PDIP dan Partai Hanura pernah berseberangan dengan Partai Hanura dalam kasus Pajak.

Dengan demikian, maka “koalisi permanen” yang digagas beberapa waktu yang lalu, Partai Pemerintah hanya solid dengan PPP, PAN dan PKB. Sehingga tidak salah kemudian pernyataan Yusril Ihza Mahendra “kesolidan” koalisi permanen hanya berumur jagung.

Namun dalam “koalisi permanen” yang hendak diusung, catatan selanjutnya menarik untuk diikuti.Apakah koalisi permanen yang ditanda tangani dihadapan publik akan bertahan dengan melihat peristiwa yang telah terjadi ?

Apakah penandatangani komitmen akan berdampak secara politik. Apakah memang ada literatur politik yang menempatkan komitmen politik akan dipatuhi oleh anggota partai ?

Kepentingan partai yang bergabung didalam koalisi memang terlalu rentan untuk bertahan.

Tipologi sebagaimana sering disampaikan oleh berbagai kalangan, kepentingan politik disesuaikan dalam konteks kontemporer. Para pemimpin partai selain berkepentingan terhadap aspirasi politik juga akan berhitung dengan cermat.

Bergabungnya partai yang beraliran nasionalis seperti Partai Golkar dan Partai Gerindra bergabung dengan partai identitas islam (PPP, PKS. PAN sendiri dapat dikualifikasikan sebagai identitas islam walaupun bisa juga ditempatkan dalam partai nasionalis) menarik untuk menjadi bacaan politik kontemporer. Terlepas dari peristiwa yang telah terjadi, catatan ini terlalu sayang untuk kita lewati.