Belum
selesai pembahasan tentang Quick Count yang “memaksa”
terbelah antara pendukung Prabowo dan pendukung Jokowi, kemarin
kemudian kita menyaksikan “deklarasi” Partai-partai
pengusung Prabowo. Partai Gerindra, Partai Golkar, PPP, PKS, PBB, PAN
dan Partai Demokrat (Partai Demokrat tidak mendukung Prabowo.
Partai Demokrat menyatakan netral namun terakhir memberikan dukungan.
Deklarasi
dikemas dengan “koalisi permanen” menimbulkan pertanyaan
yang menarik untuk melihat dinamika politik kontemporer. Pertanyaan
untuk mengukur “keseriusan” dari partai-partai membangun
komitmen.
Belum
kering tinta penandatangani “koalisi permanen”, Yusril
Ihza Mahendra telah menyampaikan “Sulit percaya saya
terbentuknya koalisi merah putih parpol-parpol pengusung Prabowo
Hatta di DPR akan jadi koalisi permanen,
Begitu
juga para petinggi Partai Golkar yang “menuduh” Aburizal
Bakrie belum mendapatkan mandat untuk menentukan arah suara Golkar.
Partai Demokrat juga keberatan terhadap keikutsertaan dalam agenda
itu.
Pertanyaan
selanjutnya bagaimana membangun “koalisi” permanen dalam
sistem Pemerintahan Presidentiil. Pernyataan “koalisi permanen”
dalam rangka memperkuat di parlemen justru kontraproduktif dalam
sistem demokrasi di Indonesia.
Pengalaman
juga mengajarkan, Presiden SBY sebagai pemimpin koalisi yang
menguasai partai-partai di parlemen dengan hanya meninggalkan PDIP,
Partai Hanura dan Partai Gerindra.
Ditambah
Partai Demokrat kemudian menjadi pemenang pemilu 2009 dan berhasil
mengantarkan SBY menjadi Presiden kedua kalinya.
Praktis
dalam hitungan politik, SBY begitu digdaya memperebutkan suara
Pilpres dan menguasai senayan.
Namun
koalisi yang disusun (lengkap dengan code of conduct) sering
berseberangan. Issu BBM, Pansus Century, Pansus Pajak mengajarkan
kepada SBY bagaimana susahnya “mengendalikan” koalisi
gemuk. SBY praktis menjadi bulan-bulanan sehingga SBY harus
berhadapan dengan senayan
Didalam
Pansus Century, Partai Demokrat hanya berkoalisi dengan PKB, PAN dan
PPP. Berhadapan dengan partai oposisi seperti PDIP, Partai Hanura dan
Partai Gerindra. Partai Golkar dan PKS sendiri berhadapan dengan
partai pemerintah. Sehingga praktis SBY gagal mengendalikan senayan.
Begitu
juga dalam issu BBM. Partai Demokrat kalah berhadapan dengan Partai
Golkar, Partai PKS bersama-sama dengan PDIP, Partai Gerindra dan
Partai Hanura. Sehingga usulan kenaikan BBM berhasil ditolak.
Berbeda
dengan pansus Pajak, Partai pemerintah justru mendapatkan dukungan
dari Partai Gerindra. Sehingga pansus Pajak berhasil ditolak.
Melihat
dinamika yang telah terjadi, maka praktis Partai Demokrat hanya
mendapatkan dukungan dari PKB, PAN dan PPP. Partai Demokrat tidak
berhasil mengendalikan Partai Golkar dan PKS.
Begitu
juga didalam partai oposisi, PDIP dan Partai Hanura pernah
berseberangan dengan Partai Hanura dalam kasus Pajak.
Dengan
demikian, maka “koalisi permanen” yang digagas beberapa
waktu yang lalu, Partai Pemerintah hanya solid dengan PPP, PAN dan
PKB. Sehingga tidak salah kemudian pernyataan Yusril Ihza Mahendra
“kesolidan” koalisi permanen hanya berumur jagung.
Namun
dalam “koalisi permanen” yang hendak diusung, catatan
selanjutnya menarik untuk diikuti.Apakah koalisi permanen yang
ditanda tangani dihadapan publik akan bertahan dengan melihat
peristiwa yang telah terjadi ?
Apakah
penandatangani komitmen akan berdampak secara politik. Apakah memang
ada literatur politik yang menempatkan komitmen politik akan dipatuhi
oleh anggota partai ?
Kepentingan
partai yang bergabung didalam koalisi memang terlalu rentan untuk
bertahan.
Tipologi
sebagaimana sering disampaikan oleh berbagai kalangan, kepentingan
politik disesuaikan dalam konteks kontemporer. Para pemimpin partai
selain berkepentingan terhadap aspirasi politik juga akan berhitung
dengan cermat.
Bergabungnya
partai yang beraliran nasionalis seperti Partai Golkar dan Partai
Gerindra bergabung dengan partai identitas islam (PPP, PKS. PAN
sendiri dapat dikualifikasikan sebagai identitas islam walaupun bisa
juga ditempatkan dalam partai nasionalis) menarik untuk menjadi
bacaan politik kontemporer. Terlepas dari peristiwa yang telah
terjadi, catatan ini terlalu sayang untuk kita lewati.