Pilpres
2014 mengajarkan kepada kita bagaimana kualitas orang yang mendukung.
Baik yang mendukung Jokowi/JK maupun Prabowo/Hatta.
Pernyataan
Deddy Mizwar (Wakil Gubernur Jawa Barat) yang menganggap apabila
Prabowo menjadi Presiden, maka Jokowi kembali menjadi Gubenur DKI dan
Jusuf Kalla menjadi Kepala Mesjid menyentak nurani saya. Terlepas
apakah pernyataan itu memang benar adanya, namun pernyataan itu
“sungguh-sungguh tidak pantas disampaikan” oleh Deddy Mizwar.
Deddy
Mizwar salah satu orang yang cukup dihormati di kalangan pemirsa
Indonesia. Melalui tayangan televisi dan film layar lebar, Deddy
Mizwar telah membuktikan “aktor” dan sutradara yang berkelas. Dia
dapat disejajarkan dengan Christine Hakim, Alex Komang, Putu Wijaya.
Deddy
Mizwar telah memenangkan Piala Citra baik sebagai aktor terbaik
sekaligus sutradara, pemeran pembantu terbaik. Sebuah pencapaian yang
sulit ditorehkan aktor-aktor lain.
Di
televisi sinetron seperti Hikayat Pengembara, Lorong Waktu, Demi
Masa, Kiamat Sudah Dekat,Para Pencari Tuhan merupakan sinetron yang
bisa disaksikan setiap bulan Ramadhan. Kata-kata teduh, bijak namun
tetap aktual.
Sehingga
tidak salah kemudian Deddy Mizwar dianggap sebagai tokoh yang
dihormati dan menunjukkan kualitas baik sebagai aktor ataupun
sutradara.
Namun
apadaya. Memasuki hiruk pikuk politik, Deddy Mizwar larut dan
terjebak dengan arus pusaran yang tidak bisa dihindari. Deddy Mizwar
kemudian terseret dan sering menimbulkan pernyataan yang menyesatkan.
Kata-kata yang disampaikan membuktikan, Deddy Mizwar tidak mampu
menyaring “informasi yang pantas disampaikan ke publik”. Deddy
Mizwar kemudian tenggelam dengan kata-kata yang sering diumpatkan
oleh media ataupun website online abal-abal. Deddy Mizwar tidak mampu
menempatkan diri dan meniti diri di politik.
Berbeda
dengan Ahok (Wakil Gubernur DKI), sebuah kartu skrup penting baik
bagi Jokowi maupun bagi Prabowo. Ahok jenius “memainkan” peran
dan berhasil melewati titik tarik menarik. Ahok sering membela Jokowi
ketika diserang. Namun disatu sisi Ahok juga melarang para issu
Rasial agama dimainkan terhadap Jokowi ataupun Prabowo.
Ahok
menjadi kartu truf yang tidak terjebak dengan permainan politik
praktis menjelang pilpres.
Bahkan
setelah mandat sebagai pejabat sementara Gubernur DKI, Ahok bergerak
cepat. Dia menutup tempat hiburan stadium yang terkenal angker
(padahal gubernur sebelumnya pensiunan jenderal). Dia kemudian
memanggil tim sukses baik Jokowi maupun Prabowo untuk meminta
pertanggungjawaban kerusakan taman waktu mendaftar di KPU. Ahok malah
meminta satpol PP untuk membersihkan jakarta dari berbagai spanduk.
Prestasi
ini berbanding terbalik dengan Deddy Mizwar. Bukan membantu Gubernur
Jawa Barat namun “sibuk” dengan berbagai sinetron dan masih sibuk
“nampang” di layar televisi sebagai bintang iklan.
Ketika
ditegur oleh KPK, Deddy Mizwar malah menantang KPK untuk menunjukkan
“dimana kesalahannya dan dimana ketidakbecusan dia tidak bekerja”.
Antipati mulai dirasakan oleh Deddy Mizwar.
Dorongan
agar Deddy Mizwar menentukan pilihan apakah masih tetap sebagai
bintang iklan atau Wakil Gubernur semakin menguat. Tuntutan itu
rasional agar publik mudah dan tidak bias melihat posisi Deddy
Mizwar.
Apakah
waktu yang menjadi pembuktian ? Namun yang pasti, sebelum menjadi
Wakil Gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar telah menjadi tokoh nasional
dan berkualitas. Sebuah prestasi yang belum dimiliki Ahok yang cuma
Bupati dari sebuah daerah kecil Propinsi Babel.
Namun
Begitu menjadi Wakil Gubernur, Deddy Mizwar sering keliru dan blunder
melakukan kesalahan. Berbanding terbalik dengan Ahok. Di saat menjadi
Wakil Gubernur, Ahok bak bintang melesat. Dia jenius mengelola
pemerintahan kota besar, banyak menyelesaikan persoalan besar di
Jakarta. Sebuah kabar yang belum banyak didengar dari Deddy Mizwar.
Deddy
Mizwar. Malulah kepada Ahok.