Kesalahan
penghitungan Prabowo – Hatta
Ketika
RRI mencatatkan kemenangan pasangan Jokowi-JK dengan persentase suara
52.51% dibandingkan Prabowo-Hatta yang hanya mendapatkan 47.49%, kubu
Prabowo-Hatta tidak menerima hasil quick count. Padahal Hasil quick
count dari RRI ini tidak jauh berbeda dengan lembaga survey
terpercaya lainnya seperti SMRC, LSI, Indikator Politik Indonesia,
CSIS, Cyrus Network, Litbang Kompas, Populi Center dan Poltracking
Institute yang semuanya juga memenangkan pasangan Jokowi-JK.
Tidak
mau kalah, Prabowo-Hatta mengeluarkan hasil quick count berdasarkan
lembaga quick count (yang kemudian ternyata bodong). Hasilnya
Jaringan Suara Indonesia, Prabowo-Hatta dengan 50,16% sementara
Jokowi – JK memperoleh 49,84% Puskaptis, Prabowo – Hatta dengan
52,05% sementara Jokowi – JK memperoleh 47,95%, LSN Prabowo-Hatta
50,60% dan Jokowi-JK 49,75%.
Jangan
dilupakan hasil LSN yang mencatatkan kemenangan Prabowo-Hatta 50,56%
- Jokowi -JK 49,75%. Bila dijumlahkan, total suara 2 pasangan itu
mencapai 100,35%.
Itu
Kesalahan penghitungan dari lembaga quick count Prabowo-Hatta.
Ketika
semua menyalahkan kesalahan penghitungan dan adanya perbedaan hasil
lembaga quick count Jokowi – Kalla dan lembaga quick count Prabowo
- Hatta, tiba-tiba adanya “desakan” untuk menunggu
keputusan resmi dari KPU. Real count merupakan “counter”
untuk “menutupi kesalahan penghitungan.
Pelan
tapi pasti, setiap jenjang tahap-tahap penghitungan semakin
“menegaskan” kemenangan Jokowi. Laman KPU dan website
“kawal.org” yang dapat diakses secara transparan semakin
menetapkan angka-angka quick count resmi memenangkan Jokowi –
Kalla.
Ketika
KPU menetapkan kemenangan Jokowi – JK dengan perolehan suara
70.997.833 suara (53,15 persen) dari rivalnya Prabowo-Hatta
62.576.444 suara (46,85 persen) dengan Total suara sah 133.574.277,
lembaga RRI, SMRC, LSI, Indikator Politik Indonesia, CSIS, Cyrus
Network, Litbang Kompas, Populi Center dan Poltracking Institute
terbukti tepat.
Sedangkan
Jaringan Suara Indonesia, Puskaptis, LSN yang “keukeuh” yang
memenangkan Prabowo-Hatta 50,16% – 49,84%, Puskaptis, 52,05%
47,95%, LSN Prabowo-Hatta 50,60% - 49,75% terbukti abal-abal.
Itu
kesalahan kedua.
Belum
puas, kemudian Prabowo-Hatta mengajukan keberatan ke MK.
Didalam
permohonannya, Prabowo-Hatta mengklaim kemenangan dalam Pemilu
Presiden 2014 dengan perolehan suara 67.139.153 atau 50,25 persen,
sedangkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla mendapatkan 66.435.124
suara atau 49,74 persen. Total persentase suara yang sudah
dibulatkan itu tidak mencapai 100 persen, tetapi 99,99 persen.
Angka
persentase ini ditulis sama di didalam permohonan. Pembulatan angka
pada persentase suara milik Prabowo-Hatta seharusnya 50,26 persen.
Bahkan didalam perbaikan juga masih mencantumkan angka yang sama.
Itu
Kesalahan ketiga.
Begitu
juga ketika mengklaim kemenangan Prabowo-Hatta 67.139.153 dan Jokowi
– Kalla 66.435.124
dengan
selisih 704.028 maka akan berhadapan dengan angka yang telah
diputuskan KPU. Jokowi – Kalla 70.997.833 dan Prabowo-Hatta
62.576.444 suara 8.421.389.
Sebagaimana
asas “Siapa yang mendalilkan maka dia harus membuktikan”
atau dalam bahasa latin “Affirmandi Incumbit Probatio”,
maka Prabowo-Hatta harus meraih dari 62.576.444 suara ke 67.139.153
atau 4.562.709. Atau Prabowo-Hatta harus bisa mengambil suara Jokowi
– Kalla 70.997.833 - 66.435.124 atau 4.562.709.
Padahal
Prabowo-Hatta cukup memenangkan pilpres sebagai single mayoritas 50 +
1 sehingga bisa meraih suara sah dibagi 2 ditambah 1. Dengan demikian
maka 133.574.277 : 2 = 66.787.138 + 1 = 66.787.139 suara.
Atau
Prabowo-Hatta cukup meraih suara dari 62.576.444 ke 66.787.139 suara
= 4.210.695.
Dengan
demikian maka Prabowo-Hatta bisa membuktikan akan bisa meraih suara
apakah cukup sebagai single Mayoritas (50 + 1) yaitu 4.210.695 atau
tetap didalam permohonannya untuk mendapatkan suara 4.562.709.
Padahal
didalam permohonannya, Prabowo-Hatta mengakui kehilangan suara
sebesar sebanyak 1,2 juta suara di 155 ribu TPS (tempat pemungutan
suara), dan adanya “penggelembungan” suara nomor dua
sebanyak 1,5 juta suara.
Dengan
demikian, maka didalam permohonannya, Prabowo-Hatta hanya
menceritakan tentang kehilangan suara sebesar 1,2 juta dan
“penggelembungan suara 1,5 juta suara. Dengan demikian, maka
angka yang bisa diceritakan Prabowo-Hatta 1,2 juta + 1,5 juta suara =
2,7 juta Suara.
Sebuah
angka yang tidak menyambung dari permohonannya 4.562.709 suara. Atau
dengan selisih 4.562.709 – 2.700.000 suara = 1.862.709.
Atau
dengan kata lain, Prabowo-Hatta meminta suara sebesar 4.562.709
(petitum) namun didalam uraiannya, Prabowo-Hatta “hanya”
mampu menjelaskan “2.700.000 suara” (posita).
Dengan demikian, maka selisih angka sebesar 1.862.709 suara tidak
jelas ceritanya.
Padahal
“sekedar” membuktikan 1,2 juta suara harus dilihat 155
ribu TPS. Sebuah keniscayaan yang membuat angka-angka yang disebutkan
Prabowo-Hatta.
Itu
Kesalahan keempat.
Pembulatan
angka 100 % merupakan pengetahuan umum yang tidak perlu dibuktikan
lagi. Sudah menjadi pengetahuan umum. Didalam hukum biasa dikenal
asas “Fakta Notoir”. Pengetahuan harus diketahui oleh orang yang
berpendidikan. Pengetahuan yang dianggap tanpa melakuan penelitian
atau pemeriksaan yang saksama dan mendalam. Atau Dan hal itu
diketahui secara pasti berdasarkan pengalaman umum dalam kehidupan
masyarakat
Sementara
didalam permohonan, membuktikan angka 1,2 juta harus “rigid”,
pasti, tidak menerka-nerka apalagi dibangun dari angka yang ilusi.
Harap diingat. Mendapatkan angka 1,2 juta dari 155 ribu TPS (155
ribu TPS merupakan jumlah angka serius. Serempat jumlah TPS di
Indonesia)
Belum
lagi untuk mendapatkan angka 1,5 juta yang tidak semudah “sekedar”
menulis angka-angka.
Dengan
melihat kesalahan penghitungan yang telah dilakukan didalam
permohonan Prabowo-Hatta, kita tinggal menunggu. Apakah bukti yang
dihadirkan cuma bisa menjelaskan “indikasi” kecurangan
semata atau bisa menerangkan dengan baik cara mendapatkan 2,7 juta.
Angka yang tidak bisa mempengaruhi hasil pilpres 2014.