09 Agustus 2014

Kesalahan penghitungan Prabowo – Hatta

Kesalahan penghitungan Prabowo – Hatta

Ketika RRI mencatatkan kemenangan pasangan Jokowi-JK dengan persentase suara 52.51% dibandingkan Prabowo-Hatta yang hanya mendapatkan 47.49%, kubu Prabowo-Hatta tidak menerima hasil quick count. Padahal Hasil quick count dari RRI ini tidak jauh berbeda dengan lembaga survey terpercaya lainnya seperti SMRC, LSI, Indikator Politik Indonesia, CSIS, Cyrus Network, Litbang Kompas, Populi Center dan Poltracking Institute yang semuanya juga memenangkan pasangan Jokowi-JK.


Tidak mau kalah, Prabowo-Hatta mengeluarkan hasil quick count berdasarkan lembaga quick count (yang kemudian ternyata bodong). Hasilnya Jaringan Suara Indonesia, Prabowo-Hatta dengan 50,16% sementara Jokowi – JK memperoleh 49,84% Puskaptis, Prabowo – Hatta dengan 52,05% sementara Jokowi – JK memperoleh 47,95%, LSN Prabowo-Hatta 50,60% dan Jokowi-JK 49,75%.
Jangan dilupakan hasil LSN yang mencatatkan kemenangan Prabowo-Hatta 50,56% - Jokowi -JK 49,75%. Bila dijumlahkan, total suara 2 pasangan itu mencapai 100,35%.

Itu Kesalahan penghitungan dari lembaga quick count Prabowo-Hatta.

Ketika semua menyalahkan kesalahan penghitungan dan adanya perbedaan hasil lembaga quick count Jokowi – Kalla dan lembaga quick count Prabowo - Hatta, tiba-tiba adanya “desakan” untuk menunggu keputusan resmi dari KPU. Real count merupakan “counter” untuk “menutupi kesalahan penghitungan.

Pelan tapi pasti, setiap jenjang tahap-tahap penghitungan semakin “menegaskan” kemenangan Jokowi. Laman KPU dan website “kawal.org” yang dapat diakses secara transparan semakin menetapkan angka-angka quick count resmi memenangkan Jokowi – Kalla.

Ketika KPU menetapkan kemenangan Jokowi – JK dengan perolehan suara 70.997.833 suara (53,15 persen) dari rivalnya Prabowo-Hatta 62.576.444 suara (46,85 persen) dengan Total suara sah 133.574.277, lembaga RRI, SMRC, LSI, Indikator Politik Indonesia, CSIS, Cyrus Network, Litbang Kompas, Populi Center dan Poltracking Institute terbukti tepat.

Sedangkan Jaringan Suara Indonesia, Puskaptis, LSN yang “keukeuh” yang memenangkan Prabowo-Hatta 50,16% – 49,84%, Puskaptis, 52,05% 47,95%, LSN Prabowo-Hatta 50,60% - 49,75% terbukti abal-abal.

Itu kesalahan kedua.

Belum puas, kemudian Prabowo-Hatta mengajukan keberatan ke MK.

Didalam permohonannya, Prabowo-Hatta mengklaim kemenangan dalam Pemilu Presiden 2014 dengan perolehan suara 67.139.153 atau 50,25 persen, sedangkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla mendapatkan 66.435.124 suara atau 49,74 persen. Total persentase suara yang sudah dibulatkan itu tidak mencapai 100 persen, tetapi 99,99 persen.

Angka persentase ini ditulis sama di didalam permohonan. Pembulatan angka pada persentase suara milik Prabowo-Hatta seharusnya 50,26 persen. Bahkan didalam perbaikan juga masih mencantumkan angka yang sama.

Itu Kesalahan ketiga.

Begitu juga ketika mengklaim kemenangan Prabowo-Hatta 67.139.153 dan Jokowi – Kalla 66.435.124
dengan selisih 704.028 maka akan berhadapan dengan angka yang telah diputuskan KPU. Jokowi – Kalla 70.997.833 dan Prabowo-Hatta 62.576.444 suara 8.421.389.

Sebagaimana asas “Siapa yang mendalilkan maka dia harus membuktikan” atau dalam bahasa latin “Affirmandi Incumbit Probatio”, maka Prabowo-Hatta harus meraih dari 62.576.444 suara ke 67.139.153 atau 4.562.709. Atau Prabowo-Hatta harus bisa mengambil suara Jokowi – Kalla 70.997.833 - 66.435.124 atau 4.562.709.

Padahal Prabowo-Hatta cukup memenangkan pilpres sebagai single mayoritas 50 + 1 sehingga bisa meraih suara sah dibagi 2 ditambah 1. Dengan demikian maka 133.574.277 : 2 = 66.787.138 + 1 = 66.787.139 suara.

Atau Prabowo-Hatta cukup meraih suara dari 62.576.444 ke 66.787.139 suara = 4.210.695.

Dengan demikian maka Prabowo-Hatta bisa membuktikan akan bisa meraih suara apakah cukup sebagai single Mayoritas (50 + 1) yaitu 4.210.695 atau tetap didalam permohonannya untuk mendapatkan suara 4.562.709.

Padahal didalam permohonannya, Prabowo-Hatta mengakui kehilangan suara sebesar sebanyak 1,2 juta suara di 155 ribu TPS (tempat pemungutan suara), dan adanya “penggelembungan” suara nomor dua sebanyak 1,5 juta suara.

Dengan demikian, maka didalam permohonannya, Prabowo-Hatta hanya menceritakan tentang kehilangan suara sebesar 1,2 juta dan “penggelembungan suara 1,5 juta suara. Dengan demikian, maka angka yang bisa diceritakan Prabowo-Hatta 1,2 juta + 1,5 juta suara = 2,7 juta Suara.

Sebuah angka yang tidak menyambung dari permohonannya 4.562.709 suara. Atau dengan selisih 4.562.709 – 2.700.000 suara = 1.862.709.

Atau dengan kata lain, Prabowo-Hatta meminta suara sebesar 4.562.709 (petitum) namun didalam uraiannya, Prabowo-Hatta “hanya” mampu menjelaskan “2.700.000 suara” (posita). Dengan demikian, maka selisih angka sebesar 1.862.709 suara tidak jelas ceritanya.

Padahal “sekedar” membuktikan 1,2 juta suara harus dilihat 155 ribu TPS. Sebuah keniscayaan yang membuat angka-angka yang disebutkan Prabowo-Hatta.

Itu Kesalahan keempat.

Pembulatan angka 100 % merupakan pengetahuan umum yang tidak perlu dibuktikan lagi. Sudah menjadi pengetahuan umum. Didalam hukum biasa dikenal asas “Fakta Notoir”. Pengetahuan harus diketahui oleh orang yang berpendidikan. Pengetahuan yang dianggap tanpa melakuan penelitian atau pemeriksaan yang saksama dan mendalam. Atau Dan hal itu diketahui secara pasti berdasarkan pengalaman umum dalam kehidupan masyarakat

Sementara didalam permohonan, membuktikan angka 1,2 juta harus “rigid”, pasti, tidak menerka-nerka apalagi dibangun dari angka yang ilusi. Harap diingat. Mendapatkan angka 1,2 juta dari 155 ribu TPS (155 ribu TPS merupakan jumlah angka serius. Serempat jumlah TPS di Indonesia)
Belum lagi untuk mendapatkan angka 1,5 juta yang tidak semudah “sekedar” menulis angka-angka.

Dengan melihat kesalahan penghitungan yang telah dilakukan didalam permohonan Prabowo-Hatta, kita tinggal menunggu. Apakah bukti yang dihadirkan cuma bisa menjelaskan “indikasi” kecurangan semata atau bisa menerangkan dengan baik cara mendapatkan 2,7 juta. Angka yang tidak bisa mempengaruhi hasil pilpres 2014.