10 Agustus 2014

opini musri nauli : PELAKU DAN KORBAN



PELAKU DAN KORBAN
Musri Nauli *

Dalam sebuah pemberitaan di media online, dikabarkan Mahkamah Agung (MA) membebaskan Ivan Kurniawan (25) dalam kasus narkoba. Sebab jaksa hanya mendakwa Ivan dengan dakwaan tunggal tentang mengedarkan narkoba. Padahal, Ivan hanyalah pemakai narkoba, bukan pengedar narkoba.

Jaksa hanya menjerat Ivan dengan dakwaan tunggal yaitu Pasal 112 ayat 1 UU Narkotika. Pasal tersebut berbunyi: Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800 dan paling banyak Rp 8 miliar.

Jaksa tidak memberikan alternatif dakwaan lain kepada majelis hakim dan memaksakan Ivan dikenakan pasal 112 dan menuntut Ivan dijatuhi hukuman 5 tahun penjara.(Padahal Jaksa bisa mendakwakan pasal 127 ayat 1 UU Narkotika)

Terdakwa kemudian dijatuhkan putusan selama 4 di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dan dikuatkan Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur.

Namun di tingkat kasasi, Mahkamah Agung kemudian membebaskannya. "Menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan. Membebaskan terdakwa dari dakwaan tersebut.

Namun hakim agung Salman Luthan sedikit berbeda pendapat. Menurutnya, meski pasal 127 ayat 1 tidak didakwakan, jalan keluarnya yaitu memberikan hukuman di bawah hukuman minimal 4 tahun penjara, bukan dibebaskan.

Lalu bagaimana kita memandang putusan MA maupun pandangan berbeda dari Hakim Agung Salman Luthan (dissenting opinion)

Keadilan Prosedural

Menurut Hobbes, keadilan sama dengan hukum positif, maka hukum positif menjadi satu-satunya norma untuk menilai apa yang benar dan salah, atau adil dan tidak adil. Pemikiran ini kemudian tampak dalam Immanual Kant. Menurutnya, hak atas kebebasan individu pada titik sentral konsepnya tentang keadilan. Keadilan akan terjamin apabila warga mengatur perilaku dengan berpedoman pada nilai-nilai universal.

Hukum harus bebas dari nilai-nilai diluar Hukum (The Teory of Law – Hans Kelsen). Hukum harus bebas dari anasir-anasir diluar hukum.

Dalam aliran ini maka yang menjadi tujuan adalah ”Kepastian hukum (Rechtssicherheit)”. MK menyebutkan ”keadilan prosedural”. Aliran ini lebih mengedepankan ”Kepastian hukum (Rechtssicherheit). ”Kepastian hukum (Rechtssicherheit) adalah keadilan. Selain karena dilihat ketentuan yang berkaitan terhadap perkara yang bersangkutan, kepastian hukum lebih menjamin.

Kepastian hukum (Rechtssicherheit)/keadilan prosedural memang menyisakan persoalan ”nurani”. Dalam konteks ini, maka hakim tidak dibenarkan ”menafsirkan keadilan” dalam sebuah rumusan UU.
Keadilan dalam UU merupakan kewenangan para pembentuk UU. Bagir Manan menyatakan “Hakim adalah mulut atau corong undang-undang (spreekbuis van de wet, bouche de la hoi). Ajaran ini menggarisbawahi, bahwa hakim bukan saja dilarang menerapkan hukum diluar undang-undang, melainkan dilarang juga menafsirkan undang-undang. Wewenang menafsirkan undang-undang adalah pembentuk UU Bukan wewenang hakim”.

Pandangan ini tidak sekedar teori, melainkan pemah masuk dalam sistem hukum positif seperti didalam pasal 15 AB yang berbunyi “geeft gewoonte geen recht, dan alien wanneer der wet daarops verwijst (ketentuan kebiasaan tidak merupakan hukum, kecuali ditunjuk oleh UU (Bagir Manan, Mengadili Menurut Hukum, Majalah Hukum Varia Peradilan, No. 238, Juli, 2005, Jakarta, Hal 3)

Apabila kita perhatikan Putusan Mahkamah Agung No. 178 K/Kr/1959 tanggal 8 Desember 1959 yang menyatakan “hakim bertugas semata-mata untuk melakukan undang-undang yang berlaku dan tidak dapat menguji nilai atau keadilan suatu peraturan perundang-undangan atau pernyataan bahwa karena unsur-unsur tindak pidana yang dinyatakan dalam surat dakwaan tidak terbukti, terdakwa harus dibebaskan dan segala tuduhan”, menurut penulis melambangkan asas kepastian hukum (rechtmatigheid) didalam memutuskan perkara. Selain itu juga konsepsi ini juga mengandung asas positivisme.

Pernyataan ini mendukung pendapat yang telah disampaikan oleh Logemann menyatakan “men mag de norm waaraan men gebonden is niet willekeurig uitleggen, doch alleen de juiste uitleg mag gelden” orang tidak boleh menafsirkan secara sewenang-wenang kaidah yang mengikat, hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat undang-undang menjadi tafsiran yang tepat .

Maka dalam memeriksa dan mengadili dan memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepada hakim, maka seorang hakim terikat kepada ketentuan yang tertuang dalam hukum acara (formele recht) dari pengadilan. Hakim dibatasi menafsirkan atau melakukan konstruksi terhadap hukum acara. Hal demikian dikarenakan fungsi dari hukum acara (formele recht, adjective law) adalah untuk mempertahankan hukum materiil (materiele recht, substantive law). Pemikiran ini dikatakan sebagai Kepastian Hukum (Rechtssicherheit). MK mendefinisikan sebagai “keadilan prosedural (procedural justice). Sebagian kalangan mendefenisikan sebagai kepastian peraturan.

Keadilan substantif

Didalam filsafat hukum, ditegaskan, Menegakkan keadilan harus menjadi tujuan negara (Plato). Keadilan sebagai nilai yang paling sempurna/lengkap. Hukum harus membela kepentingan atau kebaikan bersama/Common good) (Aristoteles). Hukum sebagai sistem harus adil (H. L. A. Hart).

Agustinus dan Thomas Aquinas telah menjelaskan hukum yang tidak adil sama sekali bukan hukum.  Pemikiran Aquinas diteruskan pengikutnya seperti ahli hukum Belanda seperti Hugo Grotius

Pada akhir abad ke-19, perkembangan filsafat hukum ditandai dengan aliran baru yang dikenal dengna nama mazhab Historis. Menurut Hegel, hukum merupakan realitas politik harus dilihat sebagai tatanan etis yang secara normatif mengarahkan perilaku manusia. Sedangkan Savigny, hukum sebagai refleksi etika sosial masyarakat. Hukum yang baik, harus merupakan refleksi dari nilai etika masyarakat.

Mazhab ini kemudian menjadi inspirasi bagi aliran hukum mazhab sosiologis. Hukum tidak dapat dipahami secara tepat tanpa pemahaman sistematis mengenai tujuan yang melahirkan hukum, yang dapat ditemukan dalam kehidupan sosial.

Selanjutnya lahir pemikiran hukum mazhab realisme hukum. Menurut Roscoe Pound yang dikenal sebagai social engineering, hukum tidak dapat diterapkan sesuai dengan kitab hukum. Hukum harus memuat ajaran dan sekaligus ideal yang mendorong masyarakat ke masa depan yang lebih baik. Hukum harus menjadi alat sosial (social engineering).

Ini diperkuat oleh Ronald Dworkin yang menegaskan, jika memahami hukum, maka kita harus memperhatikan bagaimana hukum itu diterapkan oleh hakim. Hukum baru menjadi hukum yang sebenarnya ketika digunakan hakim untuk menyelesaikan kasus hukum.

Keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran".

Sedangkan Rouscoe Pound, mendefinisikan keadilan terdiri 2 bagian : keadilan bersifat yudicial dan keadilan administratif.

Maka pendapat yang disampaikan oleh Hakim Agung Salman Luthan mendorong keadilan hukum. Yang dihubungkan dengan teori Gustav Radbruh dikatakan sebagai Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). MK selalu menyebutkan “keadilan substansi (substantive justice) adalah Asas keadilan hukum (gerectigheit).

Saat terjadi pertentangan antara keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, yang harus diprioritaskan secara berurutan adalah keadilan, kemudian kemanfaatan, dan terakhir kepastian. Mahfud, MD juga menyatakan bahwa walaupun secara prinsip harus diutamakan adalah kepastian hukum namun juga harus dititikberatkan kepada keadilan dan kemanfaatan. Nilai keadilan lebih tinggi dari kepastian Hukum, terlebih dalam mewujudkan keadilan universal, karenanya apabila terjadi pertentangan antara dua asas tersebut maka yang didahulukan adalah prinsip yang dapat mewujudkan keadilan secara nyata.

Maka didalam memaknai keadilan substantif (substansif justice) atau keadilan hukum (gerectigheit) dapat mengabaikan “keadilan prosedural (procedural justice) Asas kepastian hukum (rechtmatigheid)”.

Hakim Salman Luthan menegaskan “tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice)”

Dalil yang digunakan untuk memperkuat argumentasi “Pengadilan tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice)”. Prinsip hukum dan keadilan menyatakan bahwa “tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain” (nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua propria).

Diskursus mengenai tentang keadilan substansi (substantive justice), dengan keadilan prosedural (procedural justice ) juga disampaikan Gustav Radbruh. Menurut Gustav Radbruh, Hukum harus mengandung tiga nilai identitas.(1). Asas kepastian hukum atau rechtmatigheid. Asas ini meninjau dan sudut yuridis. (2). Asas keadilan hukum (gerectigheit), asas ini meninjau dan sudut filosofis.(3). Asas Kemanfaatan hukum (zwechmatigheid) atau doelmatigheid atau utility . Asas ini meninjau dari sosiologis .

Pelaku dan Korban

Dalam kejahatan konvensional, kita mengenal adanya tindak pidana dimana salah satu menjadi pelaku (dader) dan korban (victim). “NO VICTIM, NO CRIME (TIADA KORBAN, TIADA KEJAHATAN) adalah prinsip yang penting dalam hukum pidana.

Didalam tindak pidana narkotika. Di satu sisi, pelaku (dader) narkotika namun disisi lain merupakan korban (victim) dari tindak pidana narkotika. Sehingga UU narkotika selain memberikan penghukuman kepada para pelaku (dader) juga memberikan pengobatan dari negara kepada korban (victim) narkotika itu sendiri.

Dengan demikian baik didalam putusan Mahkamah Agung terhadap  Ivan Kurniawan maupun dissenting opinion dari Hakim Agung Salman Luthan menempatkan pondasi penting. Ivan hanyalah pemakai narkoba, bukan pengedar narkoba. Dan MA menegaskan “tidak boleh menjalani pidana penjara apabila tidak diatur didalam surat dakwaan.

Sebuah tonggak penting melihat tindak pidana narkotika ke depan.

* Advokat, Tinggal di Jambi