Dalam kolom opini di Jambi
Ekspres tanggal 7 Agustus 2014, Navarin Karim (NK) menuliskan opininya yang
berjudul “Keanehan Hasil Pilpres di Propinsi Jambi dan Harapannya”. Tulisan
ini memantik “keanehan juga bagi penulis” karena NK menyoalkan
kemenangan Prabowo – Hatta di Jambi. Keanehan yang penulis rasakan ketika
keheranan berbagai kalangan terhadap pilihan terbuka penulis kepada Jokowi.
Untuk menghilangkan keheranan
maka penulis mencoba urun rembug menjawab “keheranan” dari NK.
Pertama. Figur Jokowi yang tidak
populer di Jambi. Keheranan ini bisa penulis maklumi. Selain karena hampir
praktis seluruh kekuatan politik didominasi partai pendukung Prabowo-Hatta,
hampir praktis seluruh kekuatan modal, jaringan dikuasai partai pendukung
Prabowo-Hatta.
Namun yang luput dari perhatian
NK, kekuatan partai, modal, jaringan tidak bisa menembus relung suara rakyat
yang menginginkan terpilihnya Jokowi – Hatta.
3 bulan sebelum Pilpres, penulis
sudah mengeliling sekitar 52 Desa di Propinsi Jambi. Angka-angka itu mungkin
kecil dibandingkan dengan jumlah desa di Jambi.
Namun jangan lupa, suara rakyat
yang memilih Jokowi, penulis rasakan ketika perjalanan keliling desa.
Pernyataan “kami pilih
pemimpin sederhana”, kami pilih pemimpin yang dekat dengan kami”, kami
pilih pemimpin dengan bahasa sederhana. Itu adalah ungkapan yang tulus
pembicaraan menjelang tidur malam di desa-desa.
Angka-angka itu sudah membuktikan
ketika dalam persoalan lingkungan, rakya sudah membuktikan komitmennya dengan
tidak memilih caleg yang mempunyai perusahaan tambang di hulu sungai
Batanghari.
Kedua. Apabila kita mau jujur
dengan melihat angka-angka berbagai kemenangan yang diraih Jokowi, hampir
praktis, Prabowo-Hatta hanya menang di Kabupaten Kerinci, Kabupaten Merangin,
Kabupaten Bungo, Kota Jambi dan Kota Sungai Penuh. Kemenangan diraih dengan
suara 871,316 (49,25%).
Namun berbeda dengan kemenangan
Prabowo. Jokowi menang telak di Muara Jambi, Tebo, Tanjabtim. Sehingga meraih
897.787 (50,75%).
Selisih suara sangat tipis 26.471
(1,50%) memang banyak membuat kalangan sedikit kaget.
Dengan angka sangat tipis (1,50%)
setidak-tidaknya membantah klaim berbagai sumber yang menyebutkan kemenangan
Prabowo-Hatta akan diraih 60 % - 40%.
Dalam berbagai forum di nasional,
penulis tetap meyakini kemenangan Jokowi walaupun dengan tipis. Penulis
berargumentasi selain memang penulis sering mengunjungi desa-desa dalam
perjalanan menjelang Pileg dan Pilres, klaim kemenangan Prabowo-Hatta menjadi “momok”
menakutkan menjelang Pilpres.
Ketiga. Di daerah-daerah
kemenangan Jokowi bisa ditandai penduduk yang didominasi mayoritas masyarakat
Jawa.
Di Kota Jambi sendiri kemenangan
Jokowi hanya diraih di Kecamatan Jambi Selatan dan Jambi Timur.
Kunci sukses menggalang dukungan
dari mayoritas masyarakat Jawa telah terbukti dalam beberapa kali pilkada.
Hampir praktis setiap kandidat berkonsentrasi terhadap titik-titik ini.
Kemenangan di Tebo, Sarolangun, Bangko dan Bungo ditandai dengan penguasaan
titik-titik tempat mayoritas masyarakat Jawa. Bahkan kemenangan Walikota Jambi
sekarang dan sebelumnya ditandai dengan angka-angka ini.
Pengamatan ini sedikit luput dari
NK.
Yang unik di Tanjabtim. Basis PAN
secara politik mendukung Prabowo-Hatta, ternyata Prabowo-Hatta kalah telak.
Penulis sempat mengkonfirmasikan
ke desa-desa di dalam Tanjabtim. Ternyata mayoritas masyarakat Tanjabtim
didominasi masyarakat Jawa dan masyarakat Bugis. Sebuah fenomena unik yang
sempat luput dari pengamatan penulis sendiri.
Keempat. Penguasaan dari media
massa seperti televisi tidak mampu mengalahkan Jokowi. Dengan penguasaan media
massa di televisi hampir praktis, Jokowi hanya didukung oleh Metro TV.
Namun yang luput dari pengamatan
kita semua, tema dialog, debat menjelang pilpres “kurang gemerlap”
dibandingkan dengan Pemilihan Dangdut Academy Indosiar 2014. Dalam perjalanan
ke berbagai tempat (Tebo, Sarolangun, Bangko, Tanjabtim), acara yang
distel cuma Indosiar. Baik di warung-warung dalam perjalanan, di rumah penduduk
maupun tempat yang menyiarkan televisi. Hampir praktis.
Acara ini cukup panjang. Dalam
prime time (19.00 – 22.00 wib).
Sehingga praktis acara-acara
debat di televisi praktis kurang mendapatkan perhatian.
Kelima. Dalam tulisannya, NK menyoalkan
PDIP bukan pilihan utama masyarakat Jambi. Penulis harus memastikan apakah
memang faktual yang terjadi ataupun berangkat dari asumi dari NK.
Untuk memastikan, maka penulis
mencoba melihat daerah-daerah mayoritas masyarakat Jawa. Hampir praktis, mereka
mempunyai sejarah panjang dengan partai nasionalis (Soekarno dan PDI-P).
Menurut hitungan penulis, keterikatan masyarakat Jawa cukup kuat dengan
Soekarno. Hampir praktis lumbung-lumbung suara PDI-P di daerah Jawa.
Keterikatan ini kemudian ditularkan ketika berimigrasi kemanapun.
Kekuatan Soekarno, nahdiyin dan
Sultan Hamengkubowo merupakan relung hati yang sulit ditembus.
Lihatlah rumah-rumah masyarakat
Jawa, berbagai photo Soekarno, tulisan arab dari Aswaja kerap menghiasi
dinding-dinding rumah dan di ruang tamu. Suasana ini harus dipotret, mengapa
PDI selalu mendapatkan suara di basis-basis masyarakat Jawa. Baik di Jawa
maupun di daerah transmigrasi ataupun kantong-kantong masyarakat Jawa.
Bergabungnya Jokowi (PDI-P), PKB
dan Jusuf Kalla (Bugis) memperkuat analisis kemenangan Jokowi – Kalla di
tempat-tempat yang penulis telah sebutkan sebelumnya.
Keenam. Berbeda dengan pendapat
NK, penulis kurang sepakat “mesin partai tidak jalan”. Justru mesin
partai pendukung Prabowo-Hatta berhasil menguasai suara hingga 49,25%.
Kemenangan Jokowi diraih di kantong-kantong masyarakat Jawa. Kemenangan Jokowi
tidak perlu menggunakan mesin partai. Karena suara di raih merupakan suara
relung hati rakyat yang tidak bisa ditembus.
Dengan berbagai alasan yang telah
penulis sampaikan, maka bacaan kontemporer politik Indonesia selalu menarik
untuk dijadikan bahan diskusi.
Berbagai perangkat politik
seperti jaringan, mesin partai, modal belum mampu mengalahkan Jokowi. Jokowi
telah menjaga suara relung hati rakyat. Jokowi telah memenangkan suara rakyat.
Suara relung hati rakyat yang
bisa kita baca apabila interaksi dengan rakyat terus menerus kita temukan.
Tidak mudah memang. Tapi itulah
faktor-faktor yang luput dari pengamatan. Faktor-faktor yang abai untuk melihat
politik Indonesia.
Semoga tulisan ini dapat menjawab
keheranan dari NK.
Menutup tulisan, penulis sepakat
dengan NK. Masyarakat mengingingkan figur baru. Figur yang bisa mewakili suara
relung hati rakyat. Figur yang menawarkan model politik. Figur yang berangkat
dari kita.
* Advokat, Tinggal
di Jambi
Dimuat di harian Jambi Ekspress, 8 Agustus 2014