Akhir-akhir
ini kita dihebohkan dengna penangkapan seorang Facebook yang memuat
gambar (maaf. Yang tidak pantas) dengan memuat photo Jokowi
dan Mega. Publik kemudian “hendak” digiring penangkapan
fesbuker dengan upaya cara-cara “otoriter”. Menangkap
orang yang dianggap berbeda dengan Jokowi.
Saya
kaget dengan upaya penggiringan. Entah “seakan-akan”
dikomando, suara yang disampaikan berteriak sama. Persis “koor”
dalam dengungan lebah. Berisik dan berguman tidak jelas suara yang
keluar.
Sebelum
memberikan pendapat, sebaiknya kita mulai menggunakan logika dan
etika kepantasan. Setelah itu barulah kita melihat ketentuan norma
yang sudah baku. Barulah kita bisa menentukan apakah kepolisian sudah
melakukan tugasnya atau “berlebihan”.
Untuk
menjawab pertanyaan, sebaiknya para penyeru yang mengomando “jangan
menggunakan” strategi usang. Faktor pendidikan dan “upaya
belas kasihan” untuk membenarkan perbuatan sang fesbuker.
Dengan
memulai menggunakan logika, penangkapan sang fesbuker kemudian
dijawab dengan “cara-cara otoriter” mengingatkan saya
dengan “Argumentum ad hominen”. Argumen ini merupakan
Argumentasi yang disusun ditangkis dengan menyodorkan logika yang
bertentangan.
Ya.
Coba lihat. Ketika logika kita mulai terusik dengan cara-cara sang
fesbuker yang “sungguh-sungguh tidak pantas” dan
“keterlaluan”, eh malah disodori “argumen”
pihak Jokowi menggunakan cara-cara otoriter. Kira-kira nyambung gak
ya ?
Yang
sungguh aneh, tokoh selevel Effendi Gazali dalam sebuah tayangan
televisi nasional “membenarkan” perbuatan sang fesbuker.
Dibumbuhi dengan penjelasan Effendi Gazali “pernah” saksi
ahli dalam kasus Eggy Sujana di sidang MK.
Padahal
apabila Effendi Gazali mau membuka putusan MK, kesaksian Effendi
Gazali terhadap permohonan Eggy Sujana berkaitan dengan pernyataan
Eggy Sujana. Namun proses terhadap Eggy Sujana kemudian dituduh
sebagai “penyebar kebencian (haatzakai artikelen)”. MK
sudah menjawab, terhadap pernyataan Eggy Sujana tidak “tepat”
diterapkan “pasal penyebar kebencian (hatzakai artikelen).
Bahkan MK kemudian mencabut pasal “penyebar kebencian”.
Dengan
“rigid”, MK menguraikan tentang “pernyataan
warganegara” yang kritis “berbeda” dengan
penghinaan. Eggy Sujana tidak tepat “disebut sebagai perbuatan
menghina Presiden'. Bahkan MK sendiri malah menganjurkan apabila
Presiden “merasa keberatan (merasa terhina), diharapkan
dapat mengajukan keberatan langsung (sebagai pelapor. Disamakan
dengan warganegara biasa). Sehingga “penghinaan”
kemudian dikenal sebagai delik aduan (klachdelict).
Namun
dalam konteks yang lain, perbuatan sang fesbuker tidak semata-mata
berkaitan “sikap kritis”. Perbuatan sang fesbuker “tidak
dapat diterima logika siapapun”.
Bayangkan.
Memuat gambar (maaf. Yang tidak pantas) dengan memuat photo
Jokowi dan Mega. Logika manapun “tetap tidak menerimanya'.
Itu tidak termasuk “kritis” terhadap Jokowi. Sama sekali
tidak. Itu mengganggu logika kita. Jangan mencampur-adukkan antara
sikap kritis dengan “menghina”.
Yang
juga dilupakan oleh Effendi Jokowi. Perbuatan sang fesbuker sudah
diatur didalam UU ITE . UU ITE tidak perlu adanya pengaduan dari yang
dirugikan. UU ITE tidak memerlukan keberatan dari Jokowi. UU ITE
tidak termasuk delik aduan (klachdelict). Sehingga Jokowi
melaporkan atau tidak, proses hukum terhadap sang fesbuker tetap
berlanjut.
Apalagi
alasan “pendidikan” dan “belas kasihan” tidak
dapat membenarkan perbuatan sang fesbukers.
Maka,
dengan menggunakan logika, ketentuan yang telah diatur, maka upaya
kepolisian menangkap sang fesbuker tidaklah berlebihan. Apabila baru
sekarang kepolisian baru “memprosesnya” itu semata-mata
teknis penyidikan.
Yang
penting, kepolisian tidak melewati waktu (daluarsa) terjadinya
tindak pidana. Ini dapat dilihat apabila dilihat dari rangkaian
perbuatan sang fesbuker dengan ditangkapnya, tidaklah begitu lama.
Sehingga tidak melewati waktu tindak pidana (daluarsa)
Dengan
memperhatikan peristiwa diatas, sudah jelas pesan yang disampaikan.
Bedakan antara perbuatan “menghina” dengan sikap kritis.