Dalam
dua pekan, dunia politik Indonesi “geger” dengan lakon bintang
“sang nyentrik” Susi Puji Astuti (Susi) sebagai Menteri Kelautan
dan Perikanan dan MA, fesbuker “bully Jokowi. Keduanya meroket
menjadi pembicaraan populer di dunia maya. Kebetulan keduanya “cuma”
tamatan SMP.
Namun
cerita keduanya “bak” langit dengan bumi. Susi dikenal membangun
usaha dari nol. Perusahaan PT ASI Pujiastuti Marine Product yang
bergerak di bisnis perikanan dan Susi Air yang merupakan maskapai
sewa dengan hampir 50 pesawat propeler jenis Cessna Grand Caravan dan
Avanti. Dari dua perusahaan itu, Susi bisa menghidupi ribuan
karyawan. Susi juga dikenal sebagai Wanita pertama dengan pesawat
Cessna berhasil menembus Meulabouh pasca Tsunami di Aceh.
Entah
mengapa kelas menengah di Indonesia lebih menyoroti gaya “nyentrik”
dan “cueknya‘. Merokok dan bertato menjadi topik hangat
dibandingkan “kegigihan” memimpin perusahaan 1000 orang.
Susi
memang memiliki tato. Dua hal itu masih dianggap tak lazim di
Indonesia, apalagi bila dilakoni perempuan.
Entah
mengapa sorotan itu lebih banyak diperhatikan daripada “melihat”
visi dan taktisnya bekerja. Aneh.
Berbanding
terbalik dengan Susi, MA menjadi trending topik ketika ditangkap
kepolisian ketika membully photo Jokowi dan Megawati. MA tidak
menyangka “perbuatannya” yang meresahkan kemudian berbuntut
panjang. MA menghadapi proses hukum yang tidak main-main. UU
Pornografi, UU ITE, pasal-pasal tentang kesusilaan dan pasal
penghinaan telah menunggunya.
Namun
berbeda dengan pandangan terhadap Susi, sebuah televisi
“memborbardir” berita dengan “menonjokkan” MA yang cuma
tamatan SMP. Lengkap dengan melodrama “sesunggukkan”, isak
tangis, rasa iba dan berbagai rangkaian cerita yang memberikan
kesimpulan. Jokowi akan “bertindak keras” terhadap
penentangannya. Termasuk analisis dari Effendi Gazali yang tidak
tepat “membandingkan” keterangan sebagai ahli dengan peristiwa
menilai MA. Lagi-lagi aneh.
Sekali
lagi, mari kita lihat kasus ini lebih obyektif.
Pertama.
Pendidikan sama sekali tidak berkaitan dengan “kematangan” jiwa,
sikap sopan, bekerja keras dan prestasi sehingga diperhitungkan.
Susi telah membuktikannya.
Kedua.
Harus diingat kasus menimpa MA telah membangkitkan “rasa marah”
yang mendidih. Melihat photoshop yang berseliweran seperti itu, dunia
maya “seperti” rimba belantara. Tidak ada aturan yang
mengaturnya.
Namun
sebagian orang lupa. Sama seperti dunia nyata, di dunia maya juga
aturan. Kesopanan, kepantasan, tidak menghina, menyebarkan berita
bohong juga tidak diperkenankan di dunia maya. Berbagai perangkat UU
sudah mengaturnya.
Ujian
terhadap proses hukum terhadap MA akan memberikan pelajaran penting.
Sekali lagi bedakan antara sikap kritis dengan menyebarkan pornografi
!!!
Begitu
gambar, photo, tulisan sudah dipush di dunia maya, maka itu sudah
termasuk kedalam ranah frekuensi publik. Publik berhak dilindungi
dari berbagai kelakuan yang tidak sesuai dengan kehidupan
sehari-hari.
Jangan
sekali-lagi kita “membiarkan” hukum rimba berseliweran di dunia
maya. Semua tunduk kepada hukum.
Apabila
pada masa SBY, berbagai pornografi belum diproses maka tidak dapat
dijadikan dasar untuk menghapuskan atau membenarkan perbuatan itu
agar dihentikan memproses pada masa sekarang.
Ketiga.
Tidak ada alasan hukum menghentikan proses kepada MA. Berbagai
undang-undang cuma dapat menghentikan proses hukum apabila tersangka
dikategorikan “gila”, anak dibawah umur, dalam keadaan terpaksa
ataupun perbuatan yang dilakukan atas perintah yang berwenang. Diluar
daripada itu, proses terhadap MA tidak dapat dihentikan. Termasuk
“permohonan maaf” sekalipun dari Presiden.
Jangan
putar balik logika !!!
Keempat.
Harus diingat, perbuatan MA tidak saja dilakukan oleh MA. Masih
banyak orang yang melakukan. Namun terhadap yang lain, itu merupakan
teknis penyidikan yang tidak dapat “membebaskan” dengan alasan
itu, MA kemudian tidak diproses.
Saya
percaya, polisi tidak akan berhenti cuma sampai di MA. Dengan teknik
investigasi digital dapat diketahui siapa yang pertama yang
“mempublish” gambar photoshop.
Kelima.
Entah mengapa, suara “koor” mendukung terhadap “perbuatan”
MA. Kasus MA berbeda dengan kasus “kritikan” bendera ataupun
kasus kritikan Eggy Sujana. Jangan campur adukkan.
Melihat
perbuatan MA, maka perbuatan MA lebih tepat dikategorikan sebagai
perbuatan yang mengarah “pornografi” dan ITE. Sanksinya cukup
berat sehingga perbuatan ini tidak boleh main-main.
Keenam.
Jangan menggunakan alasan “pendidikan” MA untuk “menghujat”
upaya yang tengah dilakukan kepolisian. Sekali kita “membiarkan”
maka menimbulkan pendidikan hukum yang salah di tengah masyarakat.
Proses
hukum dapat “menghentikan” rencana orang untuk melakukan
perbuatan yang sama. Dari sinilah kemudian hukum berfungi sebagai
“pengendali” perbuatan yang meresahkan.
Dengan
melihat dua kejadian dalam 2 pekan, ternyata cerita Susi berbanding
terbalik yang menimpa terhadap MA. Susi membuktikan “succes story”
yang mampu menginspirasi. Sedangkan MA terjebak dalam “pergaulan”
yang memaksanya berhadapan dengan proses hukum.
Untuk
merawat berfikir rasional, hentikan cara-cara yang bisa dikategorikan
“menimbulkan fitnah”, menyebarkan berita bohong, mengirimkan
gambar-gambar yang mengarah pornografi, menghasut, bersikap rasional
dan membenci golongan lain.
Gunakan
media maya untuk “menggali pengetahuan”, menambah jaringan dan
informasi. Dan tentu saja menambah persahabatan. Diluar daripada itu,
hapus pertemanan yang masih bersikap cara-cara diluar nalar.
Masih
banyak orang yang menggunakan internet untuk kebaikan. Dan isi
hari-hari dengan perbuatan produktif.