30 Oktober 2014

opini musri nauli : Cerita Susi dan MA



Dalam dua pekan, dunia politik Indonesi “geger” dengan lakon bintang “sang nyentrik” Susi Puji Astuti (Susi) sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan dan MA, fesbuker “bully Jokowi. Keduanya meroket menjadi pembicaraan populer di dunia maya. Kebetulan keduanya “cuma” tamatan SMP.

Namun cerita keduanya “bak” langit dengan bumi. Susi dikenal membangun usaha dari nol. Perusahaan PT ASI Pujiastuti Marine Product yang bergerak di bisnis perikanan dan Susi Air yang merupakan maskapai sewa dengan hampir 50 pesawat propeler jenis Cessna Grand Caravan dan Avanti. Dari dua perusahaan itu, Susi bisa menghidupi ribuan karyawan. Susi juga dikenal sebagai Wanita pertama dengan pesawat Cessna berhasil menembus Meulabouh pasca Tsunami di Aceh.

Entah mengapa kelas menengah di Indonesia lebih menyoroti gaya “nyentrik” dan “cueknya‘. Merokok dan bertato menjadi topik hangat dibandingkan “kegigihan” memimpin perusahaan 1000 orang.

Susi memang memiliki tato. Dua hal itu masih dianggap tak lazim di Indonesia, apalagi bila dilakoni perempuan.

Entah mengapa sorotan itu lebih banyak diperhatikan daripada “melihat” visi dan taktisnya bekerja. Aneh.

Berbanding terbalik dengan Susi, MA menjadi trending topik ketika ditangkap kepolisian ketika membully photo Jokowi dan Megawati. MA tidak menyangka “perbuatannya” yang meresahkan kemudian berbuntut panjang. MA menghadapi proses hukum yang tidak main-main. UU Pornografi, UU ITE, pasal-pasal tentang kesusilaan dan pasal penghinaan telah menunggunya.

Namun berbeda dengan pandangan terhadap Susi, sebuah televisi “memborbardir” berita dengan “menonjokkan” MA yang cuma tamatan SMP. Lengkap dengan melodrama “sesunggukkan”, isak tangis, rasa iba dan berbagai rangkaian cerita yang memberikan kesimpulan. Jokowi akan “bertindak keras” terhadap penentangannya. Termasuk analisis dari Effendi Gazali yang tidak tepat “membandingkan” keterangan sebagai ahli dengan peristiwa menilai MA. Lagi-lagi aneh.

Sekali lagi, mari kita lihat kasus ini lebih obyektif.

Pertama. Pendidikan sama sekali tidak berkaitan dengan “kematangan” jiwa, sikap sopan, bekerja keras dan prestasi sehingga diperhitungkan. Susi telah membuktikannya.

Kedua. Harus diingat kasus menimpa MA telah membangkitkan “rasa marah” yang mendidih. Melihat photoshop yang berseliweran seperti itu, dunia maya “seperti” rimba belantara. Tidak ada aturan yang mengaturnya.

Namun sebagian orang lupa. Sama seperti dunia nyata, di dunia maya juga aturan. Kesopanan, kepantasan, tidak menghina, menyebarkan berita bohong juga tidak diperkenankan di dunia maya. Berbagai perangkat UU sudah mengaturnya.

Ujian terhadap proses hukum terhadap MA akan memberikan pelajaran penting. Sekali lagi bedakan antara sikap kritis dengan menyebarkan pornografi !!!

Begitu gambar, photo, tulisan sudah dipush di dunia maya, maka itu sudah termasuk kedalam ranah frekuensi publik. Publik berhak dilindungi dari berbagai kelakuan yang tidak sesuai dengan kehidupan sehari-hari.

Jangan sekali-lagi kita “membiarkan” hukum rimba berseliweran di dunia maya. Semua tunduk kepada hukum.

Apabila pada masa SBY, berbagai pornografi belum diproses maka tidak dapat dijadikan dasar untuk menghapuskan atau membenarkan perbuatan itu agar dihentikan memproses pada masa sekarang.

Ketiga. Tidak ada alasan hukum menghentikan proses kepada MA. Berbagai undang-undang cuma dapat menghentikan proses hukum apabila tersangka dikategorikan “gila”, anak dibawah umur, dalam keadaan terpaksa ataupun perbuatan yang dilakukan atas perintah yang berwenang. Diluar daripada itu, proses terhadap MA tidak dapat dihentikan. Termasuk “permohonan maaf” sekalipun dari Presiden.

Jangan putar balik logika !!!

Keempat. Harus diingat, perbuatan MA tidak saja dilakukan oleh MA. Masih banyak orang yang melakukan. Namun terhadap yang lain, itu merupakan teknis penyidikan yang tidak dapat “membebaskan” dengan alasan itu, MA kemudian tidak diproses.

Saya percaya, polisi tidak akan berhenti cuma sampai di MA. Dengan teknik investigasi digital dapat diketahui siapa yang pertama yang “mempublish” gambar photoshop.

Kelima. Entah mengapa, suara “koor” mendukung terhadap “perbuatan” MA. Kasus MA berbeda dengan kasus “kritikan” bendera ataupun kasus kritikan Eggy Sujana. Jangan campur adukkan.

Melihat perbuatan MA, maka perbuatan MA lebih tepat dikategorikan sebagai perbuatan yang mengarah “pornografi” dan ITE. Sanksinya cukup berat sehingga perbuatan ini tidak boleh main-main.

Keenam. Jangan menggunakan alasan “pendidikan” MA untuk “menghujat” upaya yang tengah dilakukan kepolisian. Sekali kita “membiarkan” maka menimbulkan pendidikan hukum yang salah di tengah masyarakat.

Proses hukum dapat “menghentikan” rencana orang untuk melakukan perbuatan yang sama. Dari sinilah kemudian hukum berfungi sebagai “pengendali” perbuatan yang meresahkan.

Dengan melihat dua kejadian dalam 2 pekan, ternyata cerita Susi berbanding terbalik yang menimpa terhadap MA. Susi membuktikan “succes story” yang mampu menginspirasi. Sedangkan MA terjebak dalam “pergaulan” yang memaksanya berhadapan dengan proses hukum.

Untuk merawat berfikir rasional, hentikan cara-cara yang bisa dikategorikan “menimbulkan fitnah”, menyebarkan berita bohong, mengirimkan gambar-gambar yang mengarah pornografi, menghasut, bersikap rasional dan membenci golongan lain.

Gunakan media maya untuk “menggali pengetahuan”, menambah jaringan dan informasi. Dan tentu saja menambah persahabatan. Diluar daripada itu, hapus pertemanan yang masih bersikap cara-cara diluar nalar.

Masih banyak orang yang menggunakan internet untuk kebaikan. Dan isi hari-hari dengan perbuatan produktif.