Paska
musibah pesawat Airasia, polemik mulai bermunculan. Dimulai dari
tuduhan cukup serius seperti Airasia yang tidak memiliki izin terbang
pada hari terjadinya musibah, safety penerbangan Airasia yang
tidak layak, perdebatan pembayaran asuransi hingga berbagai
pernik-pernik yang melingkupi peristiwa ini. Tentu saja tidak lupa
dibumbui dengan kehidupan pilot yang berlatar belakang pilot tempur.
Namun
yang menarik perhatian saya ketika Menteri Perhubungan Ignasius Jonan
(Jonan) menyatakan telah menandatangani Peraturan Menteri Perhubungan
(Permenhub) yang mengatur kebijakan tarif batas bawah minimal 40
persen dari tarif batas atas. Dengan demikian, tidak ada lagi
maskapai penerbangan berbiaya rendah (low cost carrier/LCC)
yang bisa menjual tiket murah sebagai bagian dari program
pemasarannya.
Jonan
berpendapat maskapai yang menjual tiket terlalu murah berpotensi
mengabaikan aspek keselamatan penerbangan. Tujuannya adalah
kewajaran harga tiket tersebut bisa mempertahankan unsur keselamatan
dengan baik.
Reaksipun
bermunculan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan tidak
ada korelasi antara rendahnya harga tiket dengan faktor keselamatan
penerbangan yang berpotensi menyebabkan terjadinya kecelakaan
pesawat. Terjadinya kecelakaan pesawat itu tidak ada hubungannya
dengan harga tiket murah.
Dengan
melihat kejadian musibah Airasia dengan Permenhub mengatur kebijakan
tarif batas bawah minimal maka akan menimbulkan persoalan logika. Ada
premis mayor “kecelakaan airasia” dan premis minor
“penerbangan berbiaya rendah (LCC) dan kesimpulan (konklusi)
diatur tarif batas bawah minimal. Kira-kira nyamankah logika
Jonan yang hendak dibangun ?
Jonan
telah menyampaikan argumentasinya “kecelakaan disebabkan karena
penerbangan berbiaya rendah”.
Sekarang
mari kita lihat dan kita susun premis-premis yang ada dengan konklusi
yang disampaikan oleh Jonan.
Maskapai
penerbangan bertarif rendah (juga dikenal sebagai maskapai
penerbangan layanan minimum atau maskapai penerbangan diskon)
adalah maskapai penerbangan yang memberikan tarif rendah dengan
gantinya menghapus beberapa layanan penumpang yang biasa. Konsep ini
diperkenalkan di Amerika Serikat sebelum menyebar ke Eropa pada awal
1990-an dan seluruh dunia.
Indonesia
yang telah mengalami “booming” penumpang menggunakan
pesawat terbang telah menempatkan maskapai LION sebagai LCC (Airasia
milik Malaysia). Dengan memiliki berbagai jenis pesawat dari
pabrikan besar saja (Airbus, ATR, dan Boeing), maka jumlah pesanan
Lion Air mencapai 707 pesawat, terdiri dari 408 Boeing 737 Family,
lima Boeing 787, 60 ATR 72, dan 234 Airbus A320 Family. Jika dihitung
seluruhnya termasuk pesawat Hawker dan Cessna, maka jumlah pesanan
Lion Air hampir mencapai 750 pesawat. Sehingga tidak salah kemudian
Lion air mampu terbang minimal 700 kali sehari.
Dengan
mengusung konsep penerbangan berbiaya murah (LCC), Lion Air dikenal
mengurangi berbagai kenyamanan penumpang dan sering disebut-sebut
sering delay”. Namun konsep LCC, hampir praktis LION air terbukti
handal dan sedikit terlibat insiden kecelakaan.
Di
Eropa sendiri, Banyak sekali pemain lama dan baru sebagai penyedia
tiket penerbangan semurah ongkos taksi. Yang paling terkenal adalah
Ryanair. Disusul EasyJet, Air Berlin, Germanwings, Tuifly.
Bahkan
Lufthansa yang terkenal mahal, menyediakan penerbangan murah untuk
bebarapa rute tertentu.
Tuifly,
Germanwings dan Lufthansa. Ketiganya memberikan pelayanan memuaskan
Sedangkan
AirTran Airways dan Spirit Airlines telah menuai sukses di Amerika
dan dikenal sebagai penerbangan berbiaya murah (LCC)
Sebagai
teknologi dengan resiko tinggi, menggunakan pesawat merupakan standar
perlindungan tinggi (highsafety). Tidak boleh mengurangi
standar yang ditentukan. Selain akan berdampak terhadap nyawa
penumpang, pabrikan pesawat juga berdampak kepada maskapai itu
sendiri.
Kejadian
ini kemudian mematahkan premis “penerbangan berbiaya murah”
menyebabkan kecelakaan.
Untuk
memudahkan pemahaman logika yang dibangun Jonan, Jonan sedang
menyusun logika sehingga
cenderung
menggunakan berbagai alasan untuk “mengacaukan” logika
sehat yang sudah tersusun (mistake). Dalam berbagai literatur logika
yang kemudian dibantah tanpa argumentasi yang bisa
dipertanggungjawabkan merupakan kesesatan.
Sekedar
untuk mencatat, penulis berhasil memetakan berbagai “Kesesatan”
hendak disusun untuk mematahkan logika yang telah disampaikan.
Argumentum
ad hominen
Argumentasi
yang disusun ditangkis dengan menyodorkan logika yang bertentangan.
Ketika
musibah Airasia mulai “menyerempet” bagaimana mekanisme
izin layak terbang dan mulai tuduhan serius dugaan
“keterlibatan” petinggi Kementerian Perhubungan, maka
Jonan tidak mau kalah.
Jonan
mulai menggertak dan “mempersoalkan LCC” yang dianggap
sebagai biang utama tidak maksimalnya safety penumpang.
Cara
Jonan mendatangi maskapai dan “mempersoalkan” tidak
dilakukan briefing kepada Pilot mengenai cuaca, merupakan cara-cara
Jonan “memproteksi” Kementerian Perhubungan dari serangan
terhadap petinggi Kementerian Perhubungan.
Cara
ini kemudian sempat berhasil sehingga serangan kepada “mekanisme
izin laik terbang” sempat redup.
Ibarat
permaian catur, ketika lawan mulai bertahan (defensif), Jonan
mulai mengeluarkan serangan baru. Mempersoalkan LCC. Dan strategi ini
mulai memakan umpan.
Jonan
keliru mengambil kesimpulan dari premis-premis yang ada.
Sehingga
tidak salah kemudian cara yang digunakan Jonan biasa dikenal dalam
Argumentum ad hominen.
Atau
Logika Jonan kita balikkkan. Premis “LCC” menyebabkan kecelakaan,
maka Jonan harus mempunya angka pasti apakah LION air, Airasia, di
Asia, Ryanair, EasyJet, Air Berlin, Germanwings, Tuifly di
Eropa dan AirTran Airways dan Spirit Airlines di Amerika dan dikenal
sebagai penerbangan berbiaya murah (LCC) telah terjadinya kecelakaan
?
Argumentum
ad ignorantica.
Argumentasi
ini dibangun karena “ketidaktahuan” dari lawan
argumentasi. Selain itu juga bertujuan untuk melindungi argumentasi
yang telah disampaikan.
Cara
jitu Jonan dengan melemparkan issu LCC dilakukan bertujuan agar pihak
lawan malah terlibat polemik LCC daripada mengikuti “salah urus
izin laik terbang”.
Tujuan
menggunakan berbagai “kesesatan” selain menguji logika
yang telah disusun, sekaligus juga strategi untuk mematahkan logika
yang tidak bisa dibantah. Dengan kesesatan ini, maka pihak lawan
kemudian berhasil menggiring dan tidak menerima logika yang telah
disampaikan.
Menangkis
logika yang telah menjadi pengetahuan orang banyak justru akan
berdampak. Informasi yang sudah pasti dan kebenaran yang telah
diketahui tidak perlu diperdebatkan.
Kesesatan
ini akan mudah ditandai dari kepentingan jangka pendek (vested
interested).
Tinggal
kita dengan jernih melihat bagaimana “logika” yang telah
disusun kemudian ditangkis dengan “kesesatan”. Cara ini justru
menjadi kita bisa mengukur argumentasi dari Jonan.