07 Mei 2015

opini musri nauli : NASIB KPK DI ERA JOKOWI



Ketika Jokowi dilantik Presiden usai memenangkan pertarungan pilpres dengan perbedaan suara yang cukup tipis, publik berharap, harapan yang sempat digemakan sejak pilpres mulai didengungkan. Harapan Jokowi yang dianggap bersih dari berbagai masa kelam dan kaitan orde baru akan sinergi di KPK sebagai salah satu lembaga yang kredibel cukup dipercaya.

Dua sentrum harapan ini kemudian menemukan batu ganjalan ketika Jokowi menyodorkan nama Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai calon Kapolri. KPK kemudian menetapkan BG sebagai tersangka dalam dugaan gratifikasi menjelang uji kelayakan. Pertarungan kemudian menjadi terbuka.
Dengungan “kekesalan” bertemu pada satu titik. Koalisi Indonesia Baru (KIB) dan koalisi Merah Putih (KMB) yang sempat berseteru dalam pilihan pimpinan MPR dan DPR kemudian “bersepakat” menerima BG sebagai calon Kapolri.

Perhitunganpun keliru. Semangat pemberantasan korupsi di KPK dan dapat ditularkan kepada Jokowi menemui persoalan politik yang cukup serius.

Jokowi yang tersudut mulai mempertimbangkan analisis politik. Menarik kembali tanpa dukungna publik pencalonan BG sebagai Kapolri akan menimbulkan riak politik yang mudah dipatahkan di tengah jalan. Namun tetap meneruskan pencalonan BG akan berhadapan dengan publik yang kadung sudah memberikan apresiasi kepada KPK.

Perhitungan semakin tersudutkan. Putusan praperadilan yang memenangkan BG semakin “memperkeruh” KPK.

Belum usai KPK 'merecovery” dari putusan praperadilan, penetapan tersangka kepada trio KPK (Abrahaman samad/AS, Bambang Widjojanto/BW dan Novel Baswedan/NB) semakin membuat KPK semakin sulit terkonsolidasi.

Strategi jitu yang kemudian menetapkan Komjen BH sebagai Kapolri tidak meredakan polemik KPK dengan Kepolisian. Bahkan rentetan penetapan trio KPK semakin membuat KPK semakin lunglai. KPK mulai kehilangan asa dan sibuk berkonsentrasi menghadapi bahaya yang semakin memborbardir.

Namun KPK bukanlah “makhluk sakti” yang tidak tahan ujian.

Diibaratkan dalam film animasi avatar, KPK menghadapi gempuran dari berbagai penjuru mata angin. Berhadapan air, tanah, api dan udara.

Dalam serial Avatar, Pengendali air merupakan seni bela diri kemampuan untuk mengontrol air, uap dan es. Jurus ini dapat diibarkan dalam Tai Chi dalam gerakan lambat dan elegan seperti air yang mengalir.

Begitulah “gaya Tai Chi” KPK menghadapi kecaman dari pendukung Anas Urbaningrum, Luthfi Hasan Ishaaq atau Surya Darma Ali. Tuduhan “politisasi” pimpinan partai, adanya agenda tersembunyi pelan-pelan dijawab dengan putusan pengadilan yang kemudian “memenangkan” KPK. Babak ini kemudian dimenangkan KPK.
Sedangkan kekuatan pengendalian tanah adalah sebuah seni bela diri dengan kekuatan mengontrol tanah. Jurus pengendalian tanah diambil dari teknik Hung Gar dalam ilmu Kung Fu, yang menampilkan gerakan menghentak, tendangan dan pukulan kuat.

Gaya ini kemudian sering diperagakan oleh AS atau BW yang tidak berkompromi terhadap korupsi dalam sektor sumber daya alam. Jurus ini cukup ampuh dengan membangun NKB 12 dan Deklarasi Kedaulatan Sumber daya alam.

Gerakan pengendalian api umumnya diambil dari gaya kung fu Shaolin Utara, namun dengan tambahan beberapa teknik. Gerakan seni bela diri ini cepat, berturut-turut, ganas, sehingga pengendalian api menjadi ilmu pengendalian yang paling agresif di antara empat elemen.

Dengan menggunakan teknik ini, KPK sering menggunakan cara OTT (operasi tangkap tangan) dengan membongkar kejahatan lain. Teknik ini mengingatkan kepada pembongkaran kasus Gubernur Banten, Gubernur Riau.

Jurus pengendalian udara berdasarkan pada seni bela diri Ba Gua. Gerakan ini dilakukan dengan cepat, manuver menghindar, menarik energi dari tengah perut bagian bawah. Ba Gua terkenal dengan gerakan berputarnya yang konstan, yang membuat musuh sulit menyerang secara langsung.

Gaya inilah yang kemudian membongkar korupsi SKK Migas dan Kakorlantas.

Namun mengapa gerakan Tai Chi, gerakan menghentak, tendangan dan pukulan kuat, Gerakan seni bela diri ini cepat, manuver menghindar, menarik energi dari tengah perut bagian bawah namun “keok” berhadapan dengan “serangan balik” dari berbagai penjuru.

Tentu saja, KPK harus sadar. Musuh yang dihadapi yang pernah keok tentu saja menggunakan strategi baru atau jurus baru menghadapi KPK.

KPK harus belajar dari AHOK atau Jokowi yang “piawai” memenangkan pertarungan.

Ahok menguasai teknik pertarungan terbuka. Dia akan meladeni pertarungan terbuka. Namun kekuatan Ahok justru di “hock’. Serangan Ahok di “hock” perut lawan, membuat lawan tidak sempat bernapas. Kekuatan stamina dari petarung ini, selain memang mengeluarkan serangan langsung menuju ulu hati dengan teknik hock sering membuat lawan terbengong.

Menguasai teknik hock” memang diperlukan Insting yang luar biasa, stamina yang kuat dan tentu saja detail kekuatan lawan. Kekuatan Ahok menghitung lawan cukup cermat diperhatikan oleh AHok. Seperti “menghock” penguasa Tanah Abang, berhadapan dengan mahasiswa, meladeni supir metromini membuat lawan-lawannya harus “berhitung’ ulang berhadapan dengan Ahok.

Teknik ini memang “dikuasai” Ahok. Hampir setiap detail kekuatan dan kelemahan lawan dipelajarinya. Sehingga argumentasi Ahok sering ‘hock” dan langsung ke ulu hati lawan. Lawan tidak berkutik ketika berargumentasi berhadapan dengan Ahok yang menguasai data-data.

Berbeda dengan Ahok. Jokowi menggunakan nilai “kerukunan”, “sopan santun”, “tepa salira”, “tidak grusa grusu” maka gaya dan cara Jokowi berpolitik sering disampaikan dalam dunia pewayangan. “negara ingkang panjang punjung pasir wukir gemah ripah loh jinawi tata tenteram tur rajaharja”. Negara yang terkenal, banyak dibicarakan orang, tinggi marbabatnya, luhur budinya dan amat berwibawa. Jokowi menyelesaikan masalah tanpa “mempermalukan” .

Teknik ini lebih juga sering diperagakan jujitsu lebih “mementingkan insting, kelenturan badan, membaca serangan lawan dan tentu saja “mengggunakan kekuatan lawan” justru melumpuhkan lawan. Teknik ini memerlukan waktu yang cukup lama menguasainya. Sehingga hampir praktis, di kalangan para pendekar persilatan, teknik ini berhasil dikuasai justru ketika usia sudah matang, tenang, stabil emosi dan mempunyai bathin yang suci.

Dengan demikian, apabila jurus dan teknik dipergunakan tidak tepat untuk lawan, teknik itu menjadi tidak berguna. Ya. menggunakan pukulan hock, namun lawan mempunyai stamina yang kuat. Kemudian menggunakan teknik jujitsu. Tapi serangan lawan tidak bisa dibaca. Kelenturan badan lawan mudah ditangkis.


Mari kita tunggu adegan dan jurus-jurus yang akan diperagakan oleh KPK.