09 Mei 2015

opini musri nauli : Pesan dari alam




Alam tidak pernah berbohong

Hujan yang mengguyur di Jambi membuat Desa-desa menjadi tergenang. Desa-desa seperti Tiga Alur, Dusun Baru, Desa Bukit, Desa Perentak dan Desa Bungo Tanjung yang terletak di Kecamatan Pangkalan Jambi, Merangin, 260 km arah utara Jambi tergenang air hingga 40 cm – hingga100 cm lebih. Diperkirakan setiap desa ada puluhan rumah terendam.

Selain itu juga ratusan hektar sawah tidak bisa dimanfaatkan lagi. Air Sungai sudah tercemar merkuri. Menjadi ladang bisnis industri pertambangan yang merusak lingkungan.

Perkiraan banjir yang melanda 5 desa sudah diperkirakan jauh-jauh hari sebelumnya. Luapan air tidak dapat ditampung oleh Sungai Manau yang telah dangkal dan tertutup dan beralih fungsi aktivitas pertambangan.

Sorotan terhadap aktivitas pertambangan di Kecamatan Pangkalan Jambu dan Kecamatan Sungai Manau menimbulkan keprihatinan dengan melihat terus berjatuhan korban.

Awal bulan Desember, tiga orang tewas setelah masuk ke lubang jarum di Desa parti Tanjung Kecamatan Renah Pembarap, Merangin.

Kejadian ini bukan pertama kali. Dua bulan sebelumnya, dua orang warga Desa Muara Bantan, Kecamatan Renah Pembarap juga mengalami nasib yang sama. Tewas akibat tanah longsor saat bekerja di areal PETI.

Angka-angka korban terus berjatuhan setelah sebelumnya bulan Mei, Empat orang tewas tertimbun longsor lokasi tambang emas di Desa Rantau Padangjering, Kecamatan Batangasai, Kabupaten Sarolangun,

Sedangkan bulan September tahun lalu, Sedikitnya dua buruh penambang emas ilegal tewas, setelah tertimbun hidup-hidup dalam lubang galian mereka di kawasan Dusun Sungai Benteng Desa Mounti, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun.

Angka-angka ini mewakili kesuraman hancurnya kekayaan sumber daya alam yang tidak dikelola dengan baik. Padahal masih lekat dalam ingatan, ketika tahun lalu Razia penambang tanpa izin di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi, berakhir dengan bentrokan antara para penambang dengan polisi. Akibatnya, 2 penambang tewas dan 1 anggota Brimob tewas.

Aktivitas pertambangan menghasilkan zat yang berbahaya. Merkuri. Merkuri alias air raksa (Hydrargyrum, Hg) menginfiltrasi jaringan dalam tubuh. Akibatnya, jaringan dan organ rusak, janin cacat, serta intelektualitas (IQ) jongkok.

Di Jepang tahun 1950, limbah merkuri dari pabrik pupuk pernah mengakibatkan tragedi Minamata. Sekitar 3.000 warga Teluk Minamata menderita penyakit aneh, mutasi genetika, dan tak tersembuhkan.

Kadar merkuri di permukaan Mesumai mencapai 0,0008 mg/l, arsenik 0,002 mg/l, dan besi 2,73 mg/l. Konsentrasi merkuri dan arsenik itu nyaris mendekati batas aman. Kadar besi sudah sembilan kali lipat ambang itu. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 soal bahan baku air minum, batas aman merkuri 0,001 mg/l, arsenik 0,005 mg/l, dan besi 0,3 mg/l.

Kadar merkuri air permukaan Sungai Tembesi yang menjadi kadar logam berat itu mencapai 0,001 mg/l, besi 1,39 mg/l, dan arsenik 0,001 mg/l. Kadar merkuri dalam sampel saluran intake PDAM Merangin, yang airnya bersumber dari Sungai Merangin, sama seperti Sungai Mesumai (0,0008 mg/l), arsenik 0,002 mg/l, tetapi kadar besinya empat kali di atas batas aman (1,31 mg/l).

Kesemua sungai itu bermuara di Batanghari. Akibatnya, kualitas air Sungai Batanghari terus memburuk. Penelitian kualitas air oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah Jambi, April lalu, di 16 titik menemukan, kategori Batanghari kini tercemar berat Bahkan Jusuf Kalla sudah menyindir tentang “keruhnya” sungai Batanghari ketika meresmikan Jembatan peledistrian beberapa waktu yang lalu.

Kemiskinan di sekitar pertambangan

Banyaknya aktivitas pertambangan tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Selain hasil tambang digunakan untuk konsumsi (seperti membeli televisi, rumah, kendaraan dan barang-barang konsumsif lainnya), tingkat kekerasan mulai terjadi di sekitar tambang. Beredarnya minuman keras, kejahatan kesusilaan, meningginya tingkat pencurian.

Selain itu, tambang sama sekali tidak mampu meningkatkan tingkat pendidikan. Hampir praktis, tambang di sekitar kawasan masyarakat, justru rata-rata tingkat pendidikan jauh dibawah daerah-daerah yang tidak mempunyai izin pertambangan.

Persoalan hukum

Saya tidak pernah menggunakan istilah “legal atau tidak”. Sebuah substansi yang keliru menempatkan persoalan lingkungan dalam legalitas formal yang terjebak dengan proses perizinan.

Yang harus kita perhatikan adalah kegiatan “industri keruk bumi” yang berdampak kepada lingkungan. Dalam UU Lingkungan, muatan yang harus diperhatikan adalah apakah aktivitas manusia harus dilihat daripada daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk memformulasikannya.

Persoalan daya dukung dan daya tampung inilah yang gagal di lingkungan hidup di sekitar aktivitas pertambangan. Alam kemudian memberikan “sign” dengan air yang melimpah yang tidak mampu dikelola oleh Sungai-sungai.

Dengan daya dukung dan daya tampung lingkungna hidup yang tidak memaksimal yang kemudian “meluberkan” air sehingga menggenangi rumah-rumah penduduk di 5 desa.

Selain itu sorotan yang utama, kegagalan negara didalam melakukan penegakkan hukum. Aktivitas yang terus menerus, terbuka “seakan-akan” kurang dipedulikan pemangku kepentingan (stakeholders). Aktivitas yang nyata-nyata mengangkangi berbagai instrumen hukum “kelihatan” tidak berdaya. Aparat hukum kemudian melakukan “toleransi” atau setidaknya melakukan pembiaran.

Banjir yang kemudian menggenangi rumah-rumah adalah contoh nyata bagaimana aparata hukum kemudian tidak berdaya.

Kehancuran ekosistem di pertambangan tidak semata-mata rusaknya lingkungan. Tapi hancurnya ekosistem yang berdampak langsung kepada masyarakat. Komoditi khas (biodiversity) yang menjadi ikon suatu daerah kemudian hilang.

Ikan semah, biodiversity akan menjadi cerita indah menjelang tidur kepada anak cucu. Tidak tergantikan oleh pundi-pundi emas yang dihasilkan.

Sudah saatnya eksploitasi tambang dihentikan. Pencabutan izin tidak hanya melihat aspek administrasi perizinan dan penerimaan negara, tetapi juga melihat aspek kerusakan lingkungan, pencemaran, kawasan penting terhadap lingkungan hidup, konflik perusahaan tambang dengan masyarakat lokal dan bencana ekologi.

Alam tidak pernah berbohong. Hujan yang mengguyur di Jambi membuat Desa-desa menjadi tergenang. Desa-desa seperti Tiga Alur, Dusun Baru, Desa Bukit, Desa Perentak dan Desa Bungo Tanjung adalah potretnya dari “alarm” dari alam.

http://www.jambi-independent.co.id/index.php/headline/opini-publik/item/1874-pesan-dari-alam