20 Mei 2015

opini musri nauli : TEGURAN DARI ALAM




Entah harus mau bilang apa terhadap kejadian yang menimpa Eri Yunanto dari area kawah Gunung Merapi selain mengucapkan duka yang mendalam. Duka mendalam lebih dirasakan melihat pemberitaan yang menyebutkan sebab meninggalnya Eri karena hendak berphoto di puncak Gunung Merapi dan tergelincir masuk kaldera. Di area kawah Merapi yang memiliki kedalaman sekitar 150 meter. Entah apa yang terjadi namun pelajaran pahit sekali lagi diberikan oleh alam.
Alam selalu mengajarkan “kesederhanaan, penghormatan terhadap alam, menghargai alam, menjiwai keagungan alam. Dan tentu saja mendaki gunung adalah menaklukan diri sendiri. Bukanlah mendaki gunung untuk gagah-gagahan. Untuk menaklukan alam. Sama sekali tidak dibenarkan oleh alam.

Memandang Alam adalah pusat dari antroposentrisme dalam kajian Filsafat Lingkungan Hidup merupakan kesalahan cara pandang Barat. Aliran ini dimulai dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern. Dengan pongah mereka menganggap etika hanya berlaku kepada manusia. Sehingga manusialah yang harus dipertimbangkan dan satu-satunya bicara tentang moral.

Cara pandang ini kemudian ditentang dalam aliran biosentrisme dan ekosentrisme. Bagi biosentrisme dan ekosentrisme. Manusia tidak boleh hanya dipandang sebagai makhluk sosial ansich (zoom politicon). Manusia juga harus dipandang sebagai makhluk biologis dan makhluk ekologis. Dengan menempatkan manusia sebagai makhluk biologis dan ekologis, maka aliran ini kemudian menempatkan manusia sebagai nilai universal sebagai jaringan kehidupan. Bagian dari siklus ekosistem.

Manusia adalah “sekrup” kecil dari ekosistem. Manusia “tergantung” kepada alam. Eric Wiener pernah menuliskan “Ketika pohon terakhir ditebang. Ketika sungai terakhir dikosongkan. Ketika ikan terakhir ditangkap. Barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang.

Dalam kosmopolitan masyarakat Melayu di Jambi, penghormatan terhadap alam sering ditempatkan sebagai nilai-nilai agung. Penamaan terhadap Harimau, Buaya atau makhluk ghaib yang sulit diketahui sering disebut dengan “nenek, puyang, datuk” atau penamaan lain sebagai bentuk penghormatan.

Begitu juga tempat-tempat yang dihormati seperti “Rimbo Puyang/Rimbo Keramat, rimbo sunyi, rimbo larangan, rimbo ganuh. Atau tempat-tempat yang diberi nama Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo”, Kepala Sauk, Bukit Seruling, Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan.

Rimbo ganuh atau rimbo sunyi atau hutan keramat merupakan daerah yang tidak boleh dibuka. Ujaran seperti Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo atau “Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis” merupakan makna simbolik masyarakat terhadap daerah-daerah yang harus dilindungi.

Alam tidak pernah tergantung kepada manusia. Alam punya cara untuk mengembalikan fungsi dan keadaan alam seperti yang dikehendaki oleh alam.

Namun manusia bisa berjalan “sombong” dengan alam. Manusia bisa menghancurkan alam. Namun manusia tidak bisa memperbaiki alam. Manusia bisa mengendalikan diri agar tidak merusak alam.


Alam kemudian menegur dengan caranya. Pahit. Tapi itulah yang harus diterima oleh manusia.