Ketika
melihat tulisan “Suvarnabhumi” di bandara Bangkok, Thailand, pikiran saya
kemudian menerawang melihat Pulau Sumatera. Kata “Suvarnabhumi” sering
disebutkan didalam dokumen-dokumen perjalanan petualang dunia yang pernah
menjelajah atau ke Sumatera.
Dalam berbagai prasasti, pulau Sumatera disebut dengan nama
Sansekerta: Swarnadwipa (“pulau emas”) atau Swarnabhumi (“tanah
emas”). Nama-nama ini sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi[1].
Ambil contoh
prasasti Nalanda di India. Prasasti yang menyebutkan bahwa Balaputradewa adalah
maharaja penguasa Swarnadwipa nama lain Sumatera ketika itu.
Pulau ini dikenal pula dengan nama lain yaitu Pulau Percha,
Andalas, atau Suwarnadwipa (bahasa Sanskerta, berarti "pulau emas").
Kemudian pada Prasasti Padang Roco tahun 1286 dipahatkan swarnnabhūmi dan bhūmi
mālayu untuk menyebut pulau ini. Selanjutnya dalam naskah Negarakertagama dari
abad ke-14 juga kembali menyebut "Bumi Malayu" (Melayu) untuk pulau
ini.
Sumatera tidak sekedar
cerita tentang Pulau Emas. Tapi juga dibicarakan eksotisme alam liar nan indah
atau kemasyuran Sriwijaya.[2]
Namun juga harus dibicarakan sebagai Pulau yang pernah menguasai jalur
perdagangan selat Malaka, pemberontakan maupun perampasan sumber daya
alam.
Sumatera adalah tempat
pertama sekaligus terakhir di Asia Tenggara yang ditemukan dunia perjalanan
internasional. Sumatera adalah tempat pendaratan pertama di bidang pelayaran.
Emas dari rangkaian pegunungannya, lalu kapur barus dari hutan-hutannya, menarik
para pedagang dari seluruh dunia menuju magnet Suvarna-Dvipa – Tanah Emas.
Karena itu, beberapa jejak seperti India, persia, Arab, China dapat ditemukan
di Sumatera.
Sumatera telah ditulis
oleh para penjelajah dalam berbagai bahasa seperti Arab, Persia, Italia,
Perancis, Portugis, Belanda, Jerman, Indonesia dan Inggeris. Pandangan mereka
beragam. Kadang mereka tidak mengerti[3]
dan terkesan tidak simpatik terhadap masyarakat di Pulau Sumatera[4].
Mereka penuh syakwasangka tentang penduduk Sumatera.
Padahal kekayaan sumber
daya alamnya melimpah ruah. Tan Malaka menuliskan kekayaan sumatera dengan
jernih “Di perbatasan Deli dengan Aceh terdapat minyak yang berpusat di
Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu dan Perlak. Di perbatasan Deli dengan Jambi
terdapat besi. Seperti di Singkep, Bangka dan Belitung. Di Jambi sendiri
terdapat timah. Bauksit di Riau dan alumunium di di Asahan, Deli. Belum lagi
logam besi, timah”[5]
Belanda berhasil menguasai
daerah-daerah paling produktif di Sumatera dalam dua agresi militer pada
1947 dan 1948 – 1949. Walaupun Belanda membentuk Pemerintahan
Hindia Belanda tanggal 1 Januari 1800, namun perlu diingat bahwa antara
1811-1816, Pemerintah Hindia Belanda sempat diselingi oleh pemerintahan
interregnum (pengantara) Inggris di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford
Raffles[6]. Belum lagi berbagai
perang melawan kolonialisme muncul seperti Perang Padri (1821-1837), Perang
Aceh (1873-1907), Perang di Jambi (1833-1907), Perang di Lampung (1834-1856).
Sebagai
karya monumental, William Marsden menyebutkan Sumatera sebagai “pulau yang
misteri dengan pesona keindahan”. Dengan pendekatan historiografi, Karya
Marsden merupakan prestasi didalam memotret Sumatera.
Ada pula seorang portugis, Tome Pires yang pada 1512 menyebut bahwa komoditas ekspor Jambi kala itu adalah kayu gaharu dan emas.
DR Lindayanty dalam bukunya Jambi dalam Sejarah 1500- 1942 juga mencatat literatur lawas perihal keberadaan emas tersebut. Ia bahkan menyebut angka fantastis mengenai ekspor Jambi yang semula didominasi komoditas lada lantas beralih ke emas.
Kembali ke Thailand. Dengan didominasi penduduk beragama Budha
(95%), Thailand mengesankan sebagai Negara menganut Budha dengan biksu-biksu
yang berjejeran jalan ketika penolakan issu politik. Berbagai kampus-kampus
bertebaran di Bangkok sebagai pusat studi dunia agama Budha.
Jejeran biksu-biksu yang
berbaris kembali “menerawang” pikiran saya ketika membayangkan biksu-biksu yang
belajar agama Budha di Candi Muara Jambi[7].
Di komplek percandian yang terdiri dari 82 candi, para biksu menuntut ilmu
dasar Budha sebelum ke pusat agama Budha di India.
Dari berbagai sumber
disebutkan, kebesaran Candi Muara Jambi meninggalkan peradaban adiluhung yang
jejaknya masih diikuti. Catatan I’tsing menegaskan bagaimana ramainya biksu
yang mengambil ilmu agama Budha. Catatan I’tsing menyebutkan ada sekitar 6
ribuan biksu yang belajar pada periode waktu tertentu. Hingga kini tradisi
masih dilanjutkan berdasarkan kalender-kalender resmi agama Budha dengan
festival Budaya dengan kedatangan agama Budha di Candi Muara Jambi.
Sebagai salah satu agama
tertua di dunia, agama Budha meninggalkan peradaban yang adiluhung. Ornamen
yang didominasi warna kuning keemasan, aksara yang masih ditemukan di Bangkok
hingga berbagai dialek percakapan yang melambangkan kemajuan peradaban di
Bangko yang masih dijaga dengan baik.
Ingatan saya kemudian
“membangkitkan” bagaimana kemajuan di Candi Muara Jambi dengan melihat
kehidupan di Bangkok. Dan saya kemudian bersyukur melihat kehidupan di Bangkok
dan “bisa” merasakan kemajuan di Candi Muara Jambi.
[1] Catatan-catatan masa lampau menyebut
pulau Sumatera sebagai Swarnadwipa. Daratan yang memiliki banyak emas. Ambil
contoh prasasti Nalanda di India. Prasasti yang menyebutkan bahwa Balaputradewa
adalah maharaja penguasa Swarnadwipa nama lain Sumatera ketika itu.
[2] Anthony Reid, Sumatera Tempo Doeloe – Dari
Marco Polo Sampai Tan Malaka
[3] Dalam
catatan Marco Polo tentang unicorn, hewan negeri dongeng berwujud kuda bersayap
dan bertanduk yang digambarkan sebagai hewan berbulu seperti kerbau, berkaki
seperti gajah, bertanduk hitam besar, memiliki lidah berduri tajam dan senang
berkubang.
[4] John
Davis menggambarkan Sultan Alau'ddin Ri'ayat Syah Al-Mukammil yang mengunjungi
Aceh dengan kalimat “Tidak melakukan apapun sepanjang hari selain makan dan
minum.
[5] Tan
Malaka, “Di Deli” dalam “Dari Penjara ke Penjara, Teplok Press, hal. 69 - 100
[6] Anthony
Reid, Sumatera Tempo Doeloe – Dari Marco Polo Sampai Tan Malaka
[7] Candi Muara Jambi merupakan kawasan percandian dengan luas 260 hektar
memanjang 12 km2 dan panjang 7 km2. Dikategorikan sebagai Candi terluas di Asia
Tenggara. 12 kali lebih besar dari Komplek Borobudur dan 2 kali lebih besar
dari Candi Angkor Wat.