14 Juni 2016

opini musri nauli : WAJAH SAENIH



Tiba-tiba wajah Saenih menyeruak ke wilayah public. Dengan muka melongo dan tidak percaya ketika dagangannya diambil paksa dan kemudian “disorongkan” ke wadah plastic dan mencampurkan sehingga tidak bisa dimakan memantik dukungan public. Dan Sang Perampas kemudian “cerita” di depan blitz lampu kamera sembari bertutur tentang “urusan moral”. Ingat. Urusan Moral.

Ya. Berita tentang Saenih seorang pedagang makanan yang terkena razia satpol PP Serang kemudian menimbulkan wacana cukup serius. Wajah melongo Saenih tidak bisa ditafsirkan sebagai wajah “kepolosan” dan ataupun wajah tidak berdosa. Tidak seperti itu lagi.

Ya. Wajah Saenih kemudian memantik dukungan public. Wajah Saenih kemudian menggambarkan “beragama” yang kemudian ditafsirkan berbeda dari sudut pandang yang berbeda-beda pula.

Hampir sepekan, media kemudian menyoroti wajah Saenih. Tidak terbayang sebelumnya di pagi hari oleh Saenih, kemudian wajah Saenih kemudian menghiasi berbagai media massa dan membuat pembicaraan public terhenti setelah melihat twitter “meloy” mantan petinggi negeri tentang puasa. Wajah Saenih mampu “menarik perhatian public” di tengah arus deras peristiwa Ahok dan Reklamasi, menenggelamkan berita tentang Sepakbola Eropa bahkan menenggelamkan berita komunisme sekalipun.

Wajah Saenih kemudian berhasil menarik rating tertinggi mengalahkan berita artis yang terlibat entah urusan “entertainment” ataupun urusan “ranjang” di berbagai media social. Wajahnya kemudian menampakkan wajah “agama” sebenarnya.

Wajah Saenih adalah wajah kaum “terpinggirkan”, tidak berdaya menghadapi “kekuasaan yang angkuh” dan menerapkan “himbauan” tanpa memberikan kesempatan kepada Saenih untuk bertanya. Wajah Saenih adalah kaum terpinggirkan yang tidak berdaya “diangkut makanannya” yang sejak semalaman disiapkan. Wajah Saenih adalah potret di tengah “restoran mahal” tetap beroperasi tanpa “merasa dikhawatirkan” didatangi, dirazia apalagi diangkut makanannya.

Wajah Saenih adalah potret beragama yang mengaku “toleransi” namun tetap menggunakan kekuasaan untuk memaksa arti “toleransi”.

Wajah Saenih adalah potret portrait yang “memaksa” agama menjadi urusan Negara. Negara kemudian menjadi “urusan moral” yang menutupi kewajibannya “memastikan hak untuk mendapatkan penghasilan” secara halal.

Wajah Saenih adalah wajah Negara “gagal” menciptakan pekerjaan, namun dengan wajah yang sama kemudian Negara “angkuh” menggunakan baju seragam “merampas” pekerjaan yang kau ciptakan sendiri.

Wajah Saenih adalah potret kegagalan Negara yang angkuh menjalankan fungsinya “memberikan perlindungan” termasuk tumpah darah kepada rakyatnya.

Selamat kepada Saenih. Di Wajahmu, kami kemudian mengenal wajah Negara dari sudut yang sederhana. Wajah yang kemudian menjadikan urusan dosa, urusan moral, urusan agama menjadi urusan Negara. Selamat datang Negara “urusan moral”.