Tiba-tiba
wajah Saenih menyeruak ke wilayah public. Dengan muka melongo dan tidak percaya
ketika dagangannya diambil paksa dan kemudian “disorongkan” ke wadah plastic
dan mencampurkan sehingga tidak bisa dimakan memantik dukungan public. Dan Sang
Perampas kemudian “cerita” di depan blitz lampu kamera sembari bertutur tentang
“urusan moral”. Ingat. Urusan Moral.
Ya.
Berita tentang Saenih seorang pedagang makanan yang terkena razia satpol PP
Serang kemudian menimbulkan wacana cukup serius. Wajah melongo Saenih tidak
bisa ditafsirkan sebagai wajah “kepolosan” dan ataupun wajah tidak berdosa.
Tidak seperti itu lagi.
Ya.
Wajah Saenih kemudian memantik dukungan public. Wajah Saenih kemudian
menggambarkan “beragama” yang kemudian ditafsirkan berbeda dari sudut pandang
yang berbeda-beda pula.
Hampir
sepekan, media kemudian menyoroti wajah Saenih. Tidak terbayang sebelumnya di
pagi hari oleh Saenih, kemudian wajah Saenih kemudian menghiasi berbagai media
massa dan membuat pembicaraan public terhenti setelah melihat twitter “meloy”
mantan petinggi negeri tentang puasa. Wajah Saenih mampu “menarik perhatian
public” di tengah arus deras peristiwa Ahok dan Reklamasi, menenggelamkan
berita tentang Sepakbola Eropa bahkan menenggelamkan berita komunisme sekalipun.
Wajah
Saenih kemudian berhasil menarik rating tertinggi mengalahkan berita artis yang
terlibat entah urusan “entertainment” ataupun urusan “ranjang” di berbagai
media social. Wajahnya kemudian menampakkan wajah “agama” sebenarnya.
Wajah
Saenih adalah wajah kaum “terpinggirkan”, tidak berdaya menghadapi “kekuasaan
yang angkuh” dan menerapkan “himbauan” tanpa memberikan kesempatan kepada
Saenih untuk bertanya. Wajah Saenih adalah kaum terpinggirkan yang tidak
berdaya “diangkut makanannya” yang sejak semalaman disiapkan. Wajah Saenih
adalah potret di tengah “restoran mahal” tetap beroperasi tanpa “merasa
dikhawatirkan” didatangi, dirazia apalagi diangkut makanannya.
Wajah
Saenih adalah potret beragama yang mengaku “toleransi” namun tetap menggunakan kekuasaan
untuk memaksa arti “toleransi”.
Wajah
Saenih adalah potret portrait yang “memaksa” agama menjadi urusan Negara.
Negara kemudian menjadi “urusan moral” yang menutupi kewajibannya “memastikan
hak untuk mendapatkan penghasilan” secara halal.
Wajah
Saenih adalah wajah Negara “gagal” menciptakan pekerjaan, namun dengan wajah
yang sama kemudian Negara “angkuh” menggunakan baju seragam “merampas”
pekerjaan yang kau ciptakan sendiri.
Wajah
Saenih adalah potret kegagalan Negara yang angkuh menjalankan fungsinya
“memberikan perlindungan” termasuk tumpah darah kepada rakyatnya.
Selamat
kepada Saenih. Di Wajahmu, kami kemudian mengenal wajah Negara dari sudut yang
sederhana. Wajah yang kemudian menjadikan urusan dosa, urusan moral, urusan
agama menjadi urusan Negara. Selamat datang Negara “urusan moral”.