Didalam
berbagai pranata adat, masih dikenal perkawinan yang dilarang. Di adat Batak
selain tidak diperkenankan perkawinan sesama Marga (Mariboto), maka dikenal
juga perkawinan yang dilarang dalam ikrar tertentu (Marpadan). Misalnya
Hutabarat dan Silaban, Manullang dan Panjaitan dan seterusnya. Atau tidak boleh
menikah anak perempuan dari Saudara perempuan dari Ayah (Berpariban).
Di
Minangkabau juga dikenal perkawinan dilarang. Terutama perkawinan sesuku. Begitu
juga dengan perkawinan yang dilarang “sasuku-saparuik”. Begitu juga perkawinan
yang dilarang “sapasuan”.
Di
Jambi, terutama di Marga Pelawan juga dikenal perkawinan yang dilarang[1].
Seperti perkawinan yang dilarang yang dikenal “Memutuskan (Mewali). Perkawinan
ini adalah kedua sepasang pengantin berasal dari besan sama-sama laki-laki yang
bersaudara.
Perkawinan
dilarang disebabkan, para besan merupakan “memutuskan” dan bertindak sebagai
wali.
Dengan
demikian, maka “Adik perempuan kau”, atau “Anak sanak betino” dilarang menjadi
penghalang perkawinan. Peraturan ini sangat ketat dan sangat dilarang. Marga
Pangkalan Jambu juga mengenal perkawinan yang dilarang[2].
Fungsi
Kepala Dusun yang kemudian memutuskan sehingga tidak bisa dilaksanakan
perkawinan. Begitu pentingnya Kepala Dusun untuk “memastikan” proses
perkawinan, maka Kepala Dusun dapat mengukur dan menilai dari derajat keluarga
dari dusunnya. Sehingga tidak salah kemudian Kepala Dusun dikenal “Anak Jantan.
Anak Betino”. Artinya, Kepala Dusun dapat bertindak sebagai “mengetahui” anak
Jantan dan anak Betino” dari derajat keluarga dari masing-masing calon
pengantin. Sehingga Kepala Dusun bertindak sebagai “filter” untuk menghindarkan
terjadinya perkawinan yang dilarang.
Begitu
juga perkawinan yang dilarang dimana hubungan antara kedua besan merupakan
saudara sama-sama perempuan. Biasa dikenal dengan istilah “Purbo sikso”.
Walaupun kemudian dilaksanakan perkawinan, maka dapat dijatuhi sanksi adat
berupa “kambing sekok. Beras 20, selemak
semanis”.
Sanksi
begitu tegas. Sehingga terhadap sanksi yang dijatuhkan ternyata tidak dibayar
oleh keluarga besar (kalbu/guguk/kaum), maka terhadap seluruh prosesi
perkawinan tidak dapat dilaksanakan. Kepala Dusun begitu berfungsi sehingga prosesi
perkawinan yang tidak dapat dilaksanakan dengan istilah “tidak diulur antar’.
Terhadap proses perkawinan yang kemudian tidak dilaksanakan, maka prosesi
perkawinan tidak dapat dilaksanakan di dusun.
Sedangkan
di Marga Pangkalan Jambu juga mengenal dengan istilah “Purbo Pusako”. Dengan
pengertian, kedua mempelai merupakan pembawa pusako dari kalbu.
Kalbu adalah Satu keturunan
besar. Istilah Kalbu terdapat di berbagai Marga atau Batin di berbagai tempat
di Jambi.
Di daerah Kotamadya Jambi
selain kalbu juga mengenal “guguk’. Kalbu atau “Guguk”
mengingatkan sistem
kekerabatan di Sumatera Barat. Sering disebut Kaum. Kaum dikenal di Muko-muko
(Bengkulu), Kerinci dan dataran tinggi di Merangin.
Sedangkan terhadap perkawinan
yang dibenarkan biasa dikenal “Anak Bako”. Anak bako adalah tali kerabat induk
bako anak pisang adalah hubungan antara seorang perempuan dengan anak-anak
saudara laki-laki ibunya atau sebaliknya[3].
Menurut
Zulyani Hidayah[4],
Pihak pemberi lelaki (Sumando) bagi seorang anak disebut bako. Sedangkan pihak
penerima lelaki disebut anak pisang. Ikatan kekerabatan secara adat antara
pihak bako disebut pasumandan. Chairul
Anwar didalam bukunya “Menindjau Hukum Adat Minangkabau”, juga menyebutkannya“[5].
Begitu juga didalam buku “Hukum Kekerabatan Adat, Hilman Hadikusuma
menyebutkannya[6].
Perkawinan
demikian lazim disebut sebagai pulang ke mamak atau pulang ke bako. Pulang ke
mamak berarti mengawini anak mamak, sedangkan pulang ke bako ialah
mengawini kemenakan ayah. A.A Navis menyebutkannya “Perkawinan Ideal”. [7].
Dimuat di Jambi Pos Online, 11 Agustus 2016
http://www.jambipos-online.com/2016/08/perkawinan-yang-dilarang.html
[1] Zaini, Tokoh Adat Kecamatan Pelawan, Sarolangun, 5
Agustus 2016
[2] Zulkifli bergelar Datuk Rajo Nan Putih, Birun,
Kecamatan Pangkalan Jambu, 7 Agustus 2016
[3] Sistem Kekerabatan dalam Masyarakat Pedesaan daerah
Sumatera Barat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983, Hal. 88.
[4] Zulyani HIdaya, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia,
Pustaka Obor, Jakarta, 2015, Hal. 260
[5] Chairul Anwar didalam bukunya “Menindjau Hukum Adat
Minangkabau”, Penerbit Segara, Hal. 62-63 “
[6] Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar
Agung, 1987, Hal. 77
[7] A. A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru : Adat Dan
Kebudayaan Minangkabau, Grafiti Pers, Jakarta, 1984, Hal. 194