Pangkalan
Jambu merupakan salah satu Marga di Kabupaten Merangin. Didalam Peta Belanda
kemudian menyebutkan Pusat Marga terletak di Kampung Tengah. Selain Kampung
Tengah juga disebutkan Dusun Lereng. Namun menurut Datuk Rajo Nan Putih[1],
pusat Marga terletak di Perentak.
Perentak
dikenal sebagai “Tiga Alur” yang terdiri dari Bukit Perentak, Tanjung Alur dan
Bunga Tanjung.
Kata
Pangkalan Jambu adalah cerita dari “Belalang Padang. Padang dari Jambi. Puyang
Pangkalan Jambu kemudian “berakit dari Indrapura kemudian di pemberhentian
terdapat Pohon Jambu. Pemberhentian inilah yang kemudian disebut Pangkalan
Jambu. Tempat ini masih bisa ditemukan didalam Hutan adat Pangkalan Jambu.
Marga
Pangkalan Jambu terdiri dari Dusun Nangko, Dusun Dalam dan Dusun Birun.
Sebagai
pemegang mandate dan kemudian bergelar “Datuk Raja Nan Putih. maka menurut
Ranji Kerajaan Indrapura (silsilah keluarga Kerajaan Indrapura), maka Sultan
Gadamsyah kemudian menjadi Raja di Pangkalan Jambu-Birun.
“Puyang”
mereka berasal dari Minangkabau Kerajaan Pagaruyung. Namun melihat kedekatan
wilayah Marga Pangkalan Jambu, maka yang dimaksudkan adalah Kerajaan Indrapura
sebagai “Vassal” dari Kerajaan Pagaruyung. “Vassal” kemudian sebagai “ujung“
Kerajaan Pagaruyung. Secara resmi Indrapura “pernah menjadi vassal” dari
Kerajaan Pagaruyung. Kesultanan Indrapura, adalah Kerajaan Islam Malayu yang
diperkirakan berdiri 1100 m– 1911 m[2].
Di
Sungai Ipuh (Kabupaten Muko-muko, Bengkulu) masih dilacak sebagai bagian dari
“vassal” Pagaruyung, Indrapura. Istilah “Orang
Sungai Ipuh menghadap Tuanku Rajo di Muko-muko atau “Tuanku Regen dari
Indrapura” membuktikan tentang keberadaan Kerajaan Indrapura.
MenghadapTuanku Rajo” adalah perumpamaan
penghormatan terhadap Raja di Muko-muko.
Sedangkan
istilah “tuanku Regen Indrapura” terdapat di Dusun Pulau Tengah Marga Sungai
Tenang[3].
Dua
tahun yang lalu, Zulkifli bergelar “Datuk Raja Nan Putih” pernah diundang
didalam pertemuan Adat di Tapan. Tapan merupakan daerah tempat berdirinya
Kerajaan Indrapura. Tapan kemudian dikenal sebagai “perlintasan” Painan
(Sumbar), Kerinci dan Muko-muko (Bengkulu).
Sebagai
bagian dari Kerajaan Indrapura, maka “undangan” dari Tapan kepada Datuk Raja
Nan Putih sebagai bentuk “penyusuran” ranji Kerajaan Indrapura.
Sebagai
keturunan dari Indrapura yang merupakan “vassal” dari Kerajaan Pagaruyung,
cerita tentang “Datuk Perpatih nan sebatang[4]”
masih hidup. Dari kemenakan Datuk Perpatih Nan Sebatang yang kemudian dikenal
bergelar Raja Nan Putih kemudian menyeberang dan tinggal di Pangkalan
Jambu-Birun.
Istilah
“tuanku Regen di Indrapura” dan Ranji Indrapura di Marga Pangkalan Jambu-Birun
merupakan “penyebaran” “puyang” dari masyarakat Dusun Pulau Tengah didalam
Marga Sungai Tenang maupun masyarakat di Marga Pangkalan Jambu-Birun.
Sedangkan
istilah “MenghadapTuanku Rajo” merupakan
ikrar dari masyarakat Marga Serampas yang kemudian “penyebaran” ke Sungai Ipuh,
Bengkulu.
Didalam
struktur adat, maka Datuk Raja Nan Putih
dibantu oleh Datuk Monti Raja dan Datuk Pado Garang.
Selain
Datuk Raja Nan Putih yang dibantu oleh Datuk Monti Raja dan Datuk Pado Garang,
mereka juga mengenal “Datuk berempat dan Menti nan Tigo”.
Datuk
Berempat yaitu Datuk Penghulu Mudo, Datuk Penghulu Kayo, Datuk Bendaro Kayo dan
Datuk Raja Tantan. Sedangkan “Menti nan Tigo yaitu Rio Niti di Dusun Baru, Rio
Gemalo di Dusun Nangko dan Rio Sari di Dusun Sungai Jering.
Menurut
Ranji Kerajan Indrapura, Sultan Gadamsyah mempunyai putra dua orang. Yang
pertama adalah Tuanku Muda bergelar Sultan Karijok. Sedangkan Kedua Sultan
Ibrahim.
Tuanku
Muda Bergelar Sultan Karijok menjadi Raja di Pangkalan Jambu, Birun. Tuanku
Muda bergelar Sultan mempunyai istri yang bernama Putri Mayang Terurai.
Mereka
mempunyai anak yang bernama Putri Bengan, Sultan Saibun dan Putri Rahmah.
Cerita
tentang “Nenek Putri Rabiah” namun menurut Ranji adalah “Rahmah” diwujudkan
dengan penyebutan “Nenek Rabiah” sebagai pengasuh dan penyayang dan induk dari
Pemangku adat di dalam Marga Pangkalan Jambu.
Sedangkan
cerita Putri Mayang Terurai - versi yang lain menyebutkan “Putri Mayang
Mengurai” - juga dikenal sebagai istri Orang Kayu Hitam. Cerita ini begitu
hidup di daerah hilir terutama di Marga Berbak di Kabupaten Tanjabtim dan Marga
Jebus di Kecamatan Kumpeh Ilir Kabupaten Muara Jambi. Sedangkan J. Tideman didalam
bukunya “Djambi” tahun 1938 menyebutkan istri Orang Kayo Hitam adalah Putri
Panjang Rambut[5].
Walaupun
merupakan keturunan dari Pagaruyung (baca dari Kerajaan Indrapura) namun hukum
adat yang dibawa dari Pagaruyung kemudian mengalami proses yang kemudian
diteliti mudik dari Jambi. Cara ini biasa dikenal “tali undang, tambang teliti[6].
Seloko kemudian dapat ditemukan di Lambang Kabupaten Merangin.
Begitu
juga identitas masyakarat yang mengakui keturunan Pagaruyung namun tetap
mengakui tanah Jambi yang dilihat dari Seloko “Belalang Padang. Padang dari Jambi”.
Marga
Pangkalan Jambu terdiri dari Dusun Nangko, Dusun Dalam dan Dusun Birun.
Dusun
Nangko terdiri dari Kampung Pasar Perentak, Dusun Nangko. Dusun Dalam terletak
di Pangkalan Jambu. Dusun ini kemudian menjadi dusun tinggal. Dusun yang
ditinggalkan dan tidak dihuni lagi. Sedangkan Dusun Birun terdiri Dusun Tinggi,
Dusun Gembala dan Dusun Solok.
Pangkalan
Jambu kemudian menjadi Marga yang dikenal sebagai Marga Pangkalan Jambu dan
berkedudukan di Perentak.
Marga
Pangkalan Jambu kemudian menjadi Kecamatan Pangkalan Jambu yang terdiri dari
Desa Birun, Desa Baru Pangkalan Jambu, Desa Bukit Perentak, Desa Tiga Alur,
Desa Bungo Tanjung, Desa Sungai Jering, Desa Kampung Limo dan Desa Tanjung
Mudo.
Wilayah
Marga Pangkalan Jambu ditandai dengan Tembo “bukit perentak di Tanjung Aur yang
terletak di Bungo Tanjung. Kemudian dari Tanjung Mudik ke Bukit Batu dan Lubuk
tanjung di Sungai Jerinjing. Terus ke Kampung Lima di Datuk Delapan. Kemudian
ke Batas Birun dengan Dusun Durian Rambun, Lubuk Beringin dan Lubuk Birah
terletak di Bukit Sekeladi. Tembo ini kemudian juga disampaikan oleh Marga
Senggarahan.
Sedangkan
batas dengan Kerinci di Dusun Penetai di Siporak Hook dan diseberang Batang
Merangin. Selanjutnya di Bukit Tungku -
Durian Rabah di Lempur Kerinci.
Didalam
struktur adat, mereka mengenal “Tiga Tali sepilin. Tungku Sejarangan”. Ikatan
yang kuat antara struktur adat yaitu hukum Negara, hukum agama dan hukum adat
kemudian diputuskan oleh Rio sebagai “pemutus akhir” dan pelaksana keputusan
adat.
Namun
yang unik pola hubungan antara Marga Pangkalan Jambu dengan Dusun Birun.
Sebagai
pemegang kekuasaan Rio di Pangkalan Jambu, maka terhadap sanksi adat seperti
“ayam sekok. beras segantang” atau “kambing sekok. Beras 10 gantang”, cukup
diselesaikan oleh Datuk Nan berempat. Sedangkan sanksi adat berupa “Kerbau
sekok. Beras 100 gantang” maka harus diselesaikan oleh Rio sebagai pemegang
kekuasaan Marga Pangkalan Jambu.
Sedangkan
di Dusun Birun, walaupun merupakan dusun dari Marga Pangkalan Jambu, seluruh
proses sanksi baik dimulai dari “ayam sekok. beras segantang” atau “kambing
sekok. Beras 10 gantang” yang biasa cukup diselesaikan oleh Datuk Nan Berempat,
namun Dusun Birun juga bisa menjatuhkan sanksi adat hingga “Kerbau sekok. Beras
100 gantang”.
Kekuasaan
menjatuhkan sanksi Kerbau sekok. Beras 100 gantang” yang terdapat didalam
kewenangan Rio di Pangkalan Jambu dapat dilaksanakan oleh “Datuk Rajo Nan
Putih” di Dusun Birun.
Sebagai
salah satu daerah “penghasil” emas, kebiasaan “mendulang” telah lama dikenal masyarakat[7].
Mendulang adalah kebiasaan “mencari” emas dari sungai dengan cara “mengayak”.
Cara ini salah satu pilihan untuk mendapatkan emas tanpa merusak sungai. Dan
tidak pernah menggunakan alat berat ataupun zat kimia yang sering digunakan untuk memisahkan pasir dengan butiran emas.
Pengukuran
emas yang didapatkan menggunakan penghitungan dari dahulu kala hingga sekarang
tetap digunakan.
Mereka
menyebutkan “1 mayam”. Istilah “mayam” masih dikenal selain di Merangin juga
dikenal di Sarolangun dan Bungo. 1 mayam sama dengan 1 ¼ mas. 1 mayam diukur 2,5
gram. Sehingga 1 mas menjadi 3,7 gram.
Di
daerah hilir sendiri istilah “mayam”
atau “mas” kurang dikenal. Penghitungan mas Biasa menyebutkan 1 suku. 1 suku
berupa 6,7 gram. Sehingga 1 mayam adalah
1,5 suku.
Baca : Istilah Marga di Jambi
Dimuat di Jambi Pos Online, 11 Agustus 2016
http://www.jambipos-online.com/2016/08/raja-di-pangkalan-jambu.html
http://www.jambipos-online.com/2016/08/raja-di-pangkalan-jambu.html
[1] Zulkifli diberikan gelar “Datuk Rajo Nan Putih”,
Salah satu keturunan Keturunan Sultan Gadamsyah yang menjadi Raja di Pangkalan
Jambu-Birun. Ranji Kerajaan Indrapura, Birun, 7 Agustus 2016
[2] Amir Syarifoedin, Minangkabau –Dari Dinasti Iskandar
Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol, Penerbit Gria Media Prima, Jakarta, 2014,
Hal. 310
[3] Sabawi, Pulau Tengah, 14 Maret 2016. Sabawi merupakan
mantan Depati terakhir di Pulau Tengah. Baru menjabat dua tahun sebagai Depati
kemudian sistem pemerintahan diganti dengan Kepala Desa. Sabawi kemudian
menjabat dua periode sebagai kepala Desa Pulau Tengah.
[4] Datuk Perpatih Nan Sebatang dikenal sebagai “puyang”
Minangkabau. Cerita ini masih hidup di sepanjang alur Sungai Batanghari dan
hidup di dataran Tinggi Merangin.
[5] J. Tideman didalam
bukunya “Djambi” tahun 1938 didasarkan M. M Menes didalam catatan “Stamboom
van he Djambische vorsten Geslach”,
[6] Seloko yang berbunyi "TALI UNDANG TAMBANG TELITI"
mengandung arti “Mencerminkan bahwa Daerah Kabupaten Merangin merupakan daerah
pertemuan yang berbentuk peraturan yang kuat antara dua induk suku yang besar
yaitu suku Batin dan suku Penghulu.
[7] Budihardjo, Perkembangan Ekonomi Masyarakat Daerah
Jambi – Studi Masa Kolonial, Philosophy Press, University of Michigan, 2001,
Hal. 64