Ketika
ada undangan dari Jurnal Institute yang menginisiasi “bedah” Buku “Hdup Bersaudara – Sumatra Tenggara Pada Abad
XVII –XVIII” karya Prof. Barbara Watson Andaya (Prof Barbara) maka pikiran saya berkecamuk. Selain ingin mengetahui
para pemateri yang membahas karya “master
piece” dari Prof. Barbara, saya juga penasaran edisi Indonesia yang
ditranslate dan diterbitkan Penerbit Ombak.
Sebagaimana
karya-karya fenomental, jejak translate juga penting bagi saya selain saya juga
harus mencari edisi asli. Dengan membaca hasil translate, saya kemudian
memudahkan untuk “melacak” para
translater didalam membaca tulisan edisi asli.
Pengalaman
ini saya temukan ketika saya membaca terjemahan “Elsbeth
Locher-Scholten, Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the Rise of Dutch
Imperialism, 1830-1907” yang kemudian menjadi “Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial :
Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imprealisme Belanda.
Atau
ketika menghadiri launcing buku “Kepulauan
Nusantara – Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam” karya master
piece Alfred Russel Wallace yang kemudian membagi garis imajiner (dikenal sebagai garis Wallace) dan
kemudian mengirimkan naskah kepada Charles Darwin yang terkenal dengan “teori evolusi”.
Membaca
edisi asli dan kemudian membaca edisi terjemahan mempunyai nuansa dan suasana
sendiri.
Dengan
bekal itulah maka saya kemudian mendatangi tempat acara sekaligus ingin melihat
buku edisi terjemahan.
Namun
bukan isi buku Prof Barbara yang bikin saya kaget. Tapi didalam Kata Pengantar
dari Prof. Barbara yang kemudian menyebutkan dan mengucapkan terima kasih
kepada berbagai pihak. Salah satunya mengucapkan nama-nama yang berada di
Jambi.
Disebutkan
di Jambi menyebutkan “M. Ceylon, M. Ichan, Syaifullah A Khorrie, Suratman
Effendi dan Budhi Jauhari”.
Dengna
menyebutkan nama M. Ceylon, maka ingatan saya kemudian melayang tahun 1986-1987
ketika saya menemani ayahanda untuk menemui “seorang bule’. Yang saya ingat
cuma “perempuan kecil, putih”.
Sebagai
pegawai di Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bungo Tebo (waktu itu
masih berbentuk kabupaten Bungo Tebo sebelum kemudian menjadi Kabupaten Bungo
dan Kabupaten Tebo tahun 1999), ayahanda kemudian meminta saya untuk
mengantarkan makanan. Walaupun sempat mendengarkan pembicaraan, Dengan usia
masih sekolah, saya hanya mengerti ketika saat pulang, ayahanda kemudian
bercerita tentang adanya bahan-bahan arkeologi di Tebo. Lengkap cerita tentang
data-data dengan pemotretan dari udara. Sayapun hanya menggangguk. Mengerti apa
yang disampaikan namun belum memahami apa yang dimaksudkan. Selebihnya saya
tidak ingat.
Sejak
itu kemudian saya mulai mengagumi sejarah panjang Jambi. Dan itu kemudian saya
ikuti ketika di Jambi diadakan Seminar Melayu Kuno yang kemudian memberikan
catatan penting terletak Kerajaan Sriwijaya.
Didalam
perjalanan panjang menyusuri kampong-kampung, mendengarkan cerita-cerita dari
sudut kampong kadang diterangi lampu teplok, cerita rakyat tentang sejarah
panjang Jambi kemudian pelan-pelan saya susun (puzzle). Cerita rakyat yang
kadang-kadang dibantu dokumen-dokumen klasik, catatan, laporan dari berbagai
sumber kemudian menemukan titik terang. Saya kemudian meyakini sejarah panjang
Jambi tercecer baik belum mampu dihubungkan antara satu periode zaman dengan
periode zaman yang lain atau antara satu periode tidak dapat dihubungkan dengan
periode selanjutnya.
Cerita
tentang kebesaran Candi Muara Jambi sulit ditelusuri selain diungkapkan para
ahli arkeologi yang mampu merekontruksikan areal percandian hingga luasnya
mencapai 260 hektar memanjang 12 km persegi.
Atau
cerita Datuk Paduko Berhala yang hanya ditemukan berdasarkan berbagai makam di
Pulau Berhala. Dan kemudian cerita rakyat tentang jejak perlawanan Sultan Thaha
yang pernah menyerang di Muara Kumpeh sebelum istana Kerajaan Jambi diserbu
belanda.
Didalam
pencarian puzzle, saya kemudian membaca tulisan Prof. Barbara tentang perang
Johor, tentang Wanita didalam Melayu. Atau tentang Tuhfat al-Nafis sebagai
karya monumental dari Raja Ali Al-Haji.
Selain
itu dengan tekun Prof. Barbara kemudian menyusun puzzle periode abad XVII-XVIII
salah satu periode yang sempat “panic” ketika saya belum menemukan puzzle
tersebut.
Bak
pepatah “sudah dicinta ulampun tiba”. Puzzle yang sempat saya “panic”
melacaknya mampu disusun dengan baik oleh Prof. Barbara. Puzzle itu kemudian
saya lihat untuk menyusun sejarah lengkap tentang Jambi.
Namun
kegembiraan saya kemudian bertambah ketika kemudian didalam kata pengantarnya,
Prof Barbara mengingatkan ingatan kecil tahun 1986-1987. Ketika saya cuma ingat
cuma bertemu “bule, putih, kecil”.
Dengan
ketekunan 20 tahun lebih maka tidak salah kemudian saya bertemu buku edisi
terjemahan seperti menemukan “harta karun”. Dan sang pemberi harta karun adalah
orang yang tekun 20 tahun yang lalu.