29 Maret 2017

opini musri nauli : PROF. BARBARA WATSON ANDAYA YANG SAYA TAHU



Ketika ada undangan dari Jurnal Institute yang menginisiasi “bedah” Buku “Hdup Bersaudara – Sumatra Tenggara Pada Abad XVII –XVIII” karya Prof. Barbara Watson Andaya (Prof Barbara) maka pikiran saya berkecamuk. Selain ingin mengetahui para pemateri yang membahas karya “master piece” dari Prof. Barbara, saya juga penasaran edisi Indonesia yang ditranslate dan diterbitkan Penerbit Ombak.

Sebagaimana karya-karya fenomental, jejak translate juga penting bagi saya selain saya juga harus mencari edisi asli. Dengan membaca hasil translate, saya kemudian memudahkan untuk “melacak” para translater didalam membaca tulisan edisi asli.

Pengalaman ini saya temukan ketika saya membaca terjemahan “Elsbeth Locher-Scholten, Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the Rise of Dutch Imperialism, 1830-1907” yang kemudian menjadi “Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial : Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imprealisme Belanda.

Atau ketika menghadiri launcing buku “Kepulauan Nusantara – Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam” karya master piece Alfred Russel Wallace yang kemudian membagi garis imajiner (dikenal sebagai garis Wallace) dan kemudian mengirimkan naskah kepada Charles Darwin yang terkenal dengan “teori evolusi”.

Membaca edisi asli dan kemudian membaca edisi terjemahan mempunyai nuansa dan suasana sendiri.

Dengan bekal itulah maka saya kemudian mendatangi tempat acara sekaligus ingin melihat buku edisi terjemahan.

Namun bukan isi buku Prof Barbara yang bikin saya kaget. Tapi didalam Kata Pengantar dari Prof. Barbara yang kemudian menyebutkan dan mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak. Salah satunya mengucapkan nama-nama yang berada di Jambi.

Disebutkan di Jambi menyebutkan “M. Ceylon, M. Ichan, Syaifullah A Khorrie, Suratman Effendi dan Budhi Jauhari”.

Dengna menyebutkan nama M. Ceylon, maka ingatan saya kemudian melayang tahun 1986-1987 ketika saya menemani ayahanda untuk menemui “seorang bule’. Yang saya ingat cuma “perempuan kecil, putih”.

Sebagai pegawai di Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bungo Tebo (waktu itu masih berbentuk kabupaten Bungo Tebo sebelum kemudian menjadi Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo tahun 1999), ayahanda kemudian meminta saya untuk mengantarkan makanan. Walaupun sempat mendengarkan pembicaraan, Dengan usia masih sekolah, saya hanya mengerti ketika saat pulang, ayahanda kemudian bercerita tentang adanya bahan-bahan arkeologi di Tebo. Lengkap cerita tentang data-data dengan pemotretan dari udara. Sayapun hanya menggangguk. Mengerti apa yang disampaikan namun belum memahami apa yang dimaksudkan. Selebihnya saya tidak ingat.  

Sejak itu kemudian saya mulai mengagumi sejarah panjang Jambi. Dan itu kemudian saya ikuti ketika di Jambi diadakan Seminar Melayu Kuno yang kemudian memberikan catatan penting terletak Kerajaan Sriwijaya.

Didalam perjalanan panjang menyusuri kampong-kampung, mendengarkan cerita-cerita dari sudut kampong kadang diterangi lampu teplok, cerita rakyat tentang sejarah panjang Jambi kemudian pelan-pelan saya susun (puzzle). Cerita rakyat yang kadang-kadang dibantu dokumen-dokumen klasik, catatan, laporan dari berbagai sumber kemudian menemukan titik terang. Saya kemudian meyakini sejarah panjang Jambi tercecer baik belum mampu dihubungkan antara satu periode zaman dengan periode zaman yang lain atau antara satu periode tidak dapat dihubungkan dengan periode selanjutnya.

Cerita tentang kebesaran Candi Muara Jambi sulit ditelusuri selain diungkapkan para ahli arkeologi yang mampu merekontruksikan areal percandian hingga luasnya mencapai 260 hektar memanjang 12 km persegi.

Atau cerita Datuk Paduko Berhala yang hanya ditemukan berdasarkan berbagai makam di Pulau Berhala. Dan kemudian cerita rakyat tentang jejak perlawanan Sultan Thaha yang pernah menyerang di Muara Kumpeh sebelum istana Kerajaan Jambi diserbu belanda.

Didalam pencarian puzzle, saya kemudian membaca tulisan Prof. Barbara tentang perang Johor, tentang Wanita didalam Melayu. Atau tentang Tuhfat al-Nafis sebagai karya monumental dari Raja Ali Al-Haji.

Selain itu dengan tekun Prof. Barbara kemudian menyusun puzzle periode abad XVII-XVIII salah satu periode yang sempat “panic” ketika saya belum menemukan puzzle tersebut.

Bak pepatah “sudah dicinta ulampun tiba”. Puzzle yang sempat saya “panic” melacaknya mampu disusun dengan baik oleh Prof. Barbara. Puzzle itu kemudian saya lihat untuk menyusun sejarah lengkap tentang Jambi.

Namun kegembiraan saya kemudian bertambah ketika kemudian didalam kata pengantarnya, Prof Barbara mengingatkan ingatan kecil tahun 1986-1987. Ketika saya cuma ingat cuma bertemu “bule, putih, kecil”.

Dengan ketekunan 20 tahun lebih maka tidak salah kemudian saya bertemu buku edisi terjemahan seperti menemukan “harta karun”. Dan sang pemberi harta karun adalah orang yang tekun 20 tahun yang lalu.