Akhir-akhir ini wacana public
disuguhkan “polemic” pembangunan Tugu Kotabaru. Penulis menggunakan istilah “tugu
kotabaru” sebagai jalan tengah diperdebatan “Tugu Monas” dan Tugu Keris”.
Di satu sisi, masyarakat
menolak terhadap pembangunan Tugu Kotabaru. Namun disisi lain, sebagian
masyarakat mendukung pembangunan tugu kotabaru sebagai “etalase” khas Jambi.
Namun yang menarik perhatian
penulis bukan terhadap “argumentasi” yang menyetujui ataupun yang menolak. Tapi
“argumentasi tanding” yang justru mengaburkan subsansi persoalan.
Menghadapi argumentasi yang
menolak pembangunan tugu Kotabaru, argumentasi tandingan menyebutkan “Kalau sudah siap Tugu Kotabaru, maka jangan
Selfi, ya’.
Argumentasi untuk membantah
dari argumentasi yang menolak pembangunan Tugu Kotabaru cukup mengganggu nalar
logika “perdebatan”. Membantah
argumentasi yang menolak pembangunan Tugu Kotabaru dengna menyodorkan “Kalau sudah siap Tugu Kotabaru, maka jangan
Selfi, ya” adalah nalar yang tidak tepat. Didalam materi logika biasa
disebutkan dengan “Logical fallacy”.
Sesat pikir.
Dengan menyodorkan “Kalau sudah siap Tugu Kotabaru, maka jangan
Selfi, ya”, maka sang penutur kemudian diklasifikasikan sebagai “Argumentum
ad Hominem”.
Dalam literature Filsafat, “Argumentum
ad Hominem” sering disebutkan sebagai bentuk argumen yang tidak ditujukan untuk
menangkal argumen yang disampaikan oleh orang lain. Namun lebih menjurus kepada
pribadi si pemberi argumen itu sendiri. Argumen itu akan menjadi sesat pikir
ketika ia ditujukan menyerang pribadi lawan demi merusak argumen lawan.
Argumentasi ini juga sering
kita lihat didalam “argumentasi” yang disodorkan kepada penentang pembangunan
jalan tol. Dengan enteng sang penutur menyampaikan argumentasi “Kalau menolak jalan tol, nanti pas arus
mudik tidak usah lewat jalan tol”.
Padahal “argumentasi” yang
disodorkan menolak pembangunan tugu kotabaru ditangkis dengan argumentasi “pentingnya
pembangunan tugu Kotabaru’. Misalnya dengna menyebutkan sebagai “ikon kota
Jambi”, atau masuk didalam kategori sebagai program unggulan. Atau bisa saja
sebagai “janji dari Kepala Daerah”. Atau dengan menyodorkan argumentasi yang
rasional sehingga pembangunan tugu Kotabaru dapat dilaksanakan. Sehingga sang
penutur menolak pembangunan Tugu Kotabaru dapat memahami argumentasi tangkisan
dari yang menyetujui Tugu Kotabaru. Walaupun tetap tidak setuju terhadap
pembangunan tugu Kotabaru.
Sehingga wacana “perlu
tidaknya tugu kotabaru” berubah dan menjadi tempat “sarang” caci maki yang
justru tidak mendidik masyarakat untuk melihat persoalan ini secara utuh.