27 Juli 2017

opini musri nauli : SESAT PIKIR TUGU KOTABARU





Akhir-akhir ini wacana public disuguhkan “polemic” pembangunan Tugu Kotabaru. Penulis menggunakan istilah “tugu kotabaru” sebagai jalan tengah diperdebatan “Tugu Monas” dan Tugu Keris”.

Di satu sisi, masyarakat menolak terhadap pembangunan Tugu Kotabaru. Namun disisi lain, sebagian masyarakat mendukung pembangunan tugu kotabaru sebagai “etalase” khas Jambi.

Namun yang menarik perhatian penulis bukan terhadap “argumentasi” yang menyetujui ataupun yang menolak. Tapi “argumentasi tanding” yang justru mengaburkan subsansi persoalan.

Menghadapi argumentasi yang menolak pembangunan tugu Kotabaru, argumentasi tandingan menyebutkan “Kalau sudah siap Tugu Kotabaru, maka jangan Selfi, ya’.

Argumentasi untuk membantah dari argumentasi yang menolak pembangunan Tugu Kotabaru cukup mengganggu nalar logika “perdebatan”. Membantah argumentasi yang menolak pembangunan Tugu Kotabaru dengna menyodorkan “Kalau sudah siap Tugu Kotabaru, maka jangan Selfi, ya” adalah nalar yang tidak tepat. Didalam materi logika biasa disebutkan dengan “Logical fallacy”. Sesat pikir.

Dengan menyodorkan “Kalau sudah siap Tugu Kotabaru, maka jangan Selfi, ya”, maka sang penutur kemudian diklasifikasikan sebagai “Argumentum ad Hominem”.

Dalam literature Filsafat, “Argumentum ad Hominem” sering disebutkan sebagai bentuk argumen yang tidak ditujukan untuk menangkal argumen yang disampaikan oleh orang lain. Namun lebih menjurus kepada pribadi si pemberi argumen itu sendiri. Argumen itu akan menjadi sesat pikir ketika ia ditujukan menyerang pribadi lawan demi merusak argumen lawan.

Argumentasi ini juga sering kita lihat didalam “argumentasi” yang disodorkan kepada penentang pembangunan jalan tol. Dengan enteng sang penutur menyampaikan argumentasi “Kalau menolak jalan tol, nanti pas arus mudik tidak usah lewat jalan tol”.

Padahal “argumentasi” yang disodorkan menolak pembangunan tugu kotabaru ditangkis dengan argumentasi “pentingnya pembangunan tugu Kotabaru’. Misalnya dengna menyebutkan sebagai “ikon kota Jambi”, atau masuk didalam kategori sebagai program unggulan. Atau bisa saja sebagai “janji dari Kepala Daerah”. Atau dengan menyodorkan argumentasi yang rasional sehingga pembangunan tugu Kotabaru dapat dilaksanakan. Sehingga sang penutur menolak pembangunan Tugu Kotabaru dapat memahami argumentasi tangkisan dari yang menyetujui Tugu Kotabaru. Walaupun tetap tidak setuju terhadap pembangunan tugu Kotabaru.

Sehingga wacana “perlu tidaknya tugu kotabaru” berubah dan menjadi tempat “sarang” caci maki yang justru tidak mendidik masyarakat untuk melihat persoalan ini secara utuh.