Jagat belantara
Jambi dihebohkan terhadap penangkapan oknum Kepolisian di Kendari (Sulawesi
Tenggara). Sebagaimana diberitakan, penangkapan bermula dari laporan sang Suami
yang juga kebetulan anggota kepolisian terhadap “dugaan” istrinya berselingkuh
dengan oknum Kepolisian. Pihak Kepolisian kemudian berhasil mengungkapkan
terhadap dugaan selingkuh istri sang Polisi.
Secara sekilas
tindak pidana perzinahan (overspel) telah termaktub didalam pasal
284 KUHP. Namun KUHP memberikan “penegasan” yang dapat dikategorikan
“perzinahan (overspel)” adalah yang
terikat didalam perkawinan. Berbanding terbalik dengan definisi “Zinah” menurut
hukum adat maupun hukum di Indonesia yang menegaskan “Zinah” adalah perbuatan
“bukan suami istri.
Dengan demikian
maka zinah menurut hukum “harus terikat perkawinan” berbanding zinah menurut
hukum adat dan hukum agama yang dilakukan “bukan suami istri (terikat lembaga
perkawinan). Sehingga terhadap definisi “Zinah” menurut hukum berbeda dengan
penafsiran zinah menurut Hukum adat maupun hukum agama di Indonesia.
Dengan demikian,
banyak sekali laporan yang disampaikan kepada Kepolisian terhadap perbuatan
antara Bujang dengan Gadis yang tidak dapat diproses secara hukum. Benturan ini
kemudian “coba diperbaiki” didalam RUU KUHP (yang entah bagaimana belum ada proses selanjutnya di DPR-RI).
Namun dengna
menilik dari Laporan suami P terhadap istrinya P (yang terikat perkawinan) terhadap “dugaan” perzinahan” dapat diproses secara hukum.
Didalam hukum
adat Jambi terhadap kejahatan kesusilaan dikenal antara “salah Bujang dan
gadis” dan 4 nilai terhadap Kesusilaan.
Salah Bujang
dan gadis terdiri dari “salah bujang dan gadis”, “Bersalah bujang dengan
gadis”, “Salah Bujang dan Salah gadis” dan “Salah Gadis Bujang dak mau”.
Didalam Marga
Pelepat disebutkan “salah bujang dan gadis” dicontohkan seperti “melarikan anak
gadis”. Sedangkan “bersalah Bujang dengan gadis ditandai dengan Seloko “Tebulah beruas. Ubilah berisi”. Melakukan
perbuatan yang tidak sepantasnya di negeri sehingga menimbulkan kehebohan.
Sedangkan Salah Bujang dan Gadis ditandai
dengan Seloko “Duduk mengintai gelap. Tegak mengintai sunyi (Marga Sungai Tenang) atau Di Marga Pelepat disebut seloko ”berunding tempat sepi. Duduk di tempat
lain”. Sedangkan ”Salah gadis, Bujang tidak mau” diperumpamakan seperti
Kisah Nabi Yusuf.
Keempat norma yang
dilanggar merupakan ”Bujang dengan Gadis” sehingga dikenal ”Salah Bujang dengan
Gadis”.
Namun terhadap
perbuataan kesusilaan yang selain itu dikenal dengan ”Mencacak telur”, menikam bumi”, memetik bunga setangkai” dan Mandi di
Pancuran Gading.
”Mencacak telur” adalah
perbuatan ayah yang menggauli anak putrinya (baik kandung maupun tiri). Cara
ini paling sering terjadi apabila kita melihat tayanga televisi dan media
massa.
”Menikam bumi” pernah
kejadian ketika seorang Anak Bujang menghamili Ibu kandungnya seperti terjadi
di daerah hilir beberapa waktu yang lalu.
Sedangkan ”memetik bunga
setangkai” adalah perbuatan Laki-laki yang menggauli atau mengganggu Adik
perempuan istrinya. Sedangkan Mandi di Pancuran gading adalah ”mengganggu istri
orang lain”.
Hukum adat terhadap
”mencacak telur”, Menikam bumi”, Memeting bunga setangkai” dan ”mandi di
pancuran gading”. Selain diterapkan hukum berat seperti “Kerbo atauj awi sekok, beras 100 gantang,
asam segaram. kain 6 kayu. kedua pelaku kemudian
diusir dari kampung.
Bahkan di Marga Jujuhan,
Kedua pelanggar kemudian dimasukkan kedalam lukah dan kemudian dibuang
kedalam sungai. Lukah adalah alat menangkap ikan berupa bamboo atau rotan yang
di mukanya terdapat lobang sehingga ikan masuk kedalam perangkap lukah.
Dengan
demikian terhadap perbuatan kesusilaan seperti “Mencacak telur”, Menikam bumi”,
Memetik Bunga setangkai” dan “Mandi di pancuran gading” selain dijatuhi denda
adat, diusir dikampung bahkan harus dimasukkan kedalam lukah dibuang ke sungai.
Melihat
sanksi adat terhadap perbuataan “Mencacak
telur”, Menikam bumi”, Memetik Bunga setangkai” dan “Mandi di pancuran gading”
lebih berat dari kasus pembunuhan.
Perbuatan
kesusilaan ”Mencacak
telur”, menikam bumi”, memetik bunga setangkai” dan Mandi di Pancuran Gading adalah perbuatan paling memalukan. Sehingga walaupun Hukum nasional
(KUHP) hanya memberikan hukuman yang ringan (paling lama 9 bulan) namun Hukum Adat Jambi justru lebih berat.
Selain dijatuhi sanksi denda adat juga diusir dikampung. Bahkan di Marga Jujuhan dimasukkan kedalam lukah dan dibuang
kesungai.