Memasuki
musim panas, ingatan kolektif rakyat di 5 Propinsi (Riau, Jambi, Sumsel,
Kalbar, Kalteng) mulai mengancam.
Di
Jambi, kebakaran kemudian mencapai seluas 135 ribu hektar. 40% di lahan gambut.
25,6 juta orang
terpapar asap dan mengakibatkan 324.152 jiwa yang menderita ISPA dan
pernafasan lain akibat asap. Indeks standar pencemaran udara (ISPU) melampaui
batas berbahaya. Bahkan hingga enam kali lipat seperti yang terjadi di
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.
Kebakaran
hutan dan lahan menyebabkan warga terserang ISPA. Di Jambi ada 20.471 orang,
Kalteng 15.138, Sumsel 28.000, dan Kalbar 10.010 orang. 12 orang anak-anak
meninggal dunia akibat asap dari kebakaran hutan dan lahan. 4 balita di Kalteng,
3 orang di Jambi, 1 orang di Kalbar, 3 di Riau dan 1 orang di Sumsel. Kelima
daerah kemudian menyatakan “darurat asap” sehingga diperlukan upaya Negara
untuk memadamkan api selama tiga bula lebih.
Problema muncul. Disatu sisi,
analisis menunjukkan kebakaran banyak terjadi di kawasan gambut. Namun disatu
sisi, peraturan perundang-undangan masih tumpang tindih dan memberikan beban
tambahan terhadap penegakkan hukum.
Didalam
pembahasan ini, maka pendekatan digunakan adalah pendekatan yuridis. Dimana
peraturan yang dianalisis yaitu Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden. Keputusan Presiden/instruksi Presiden, Peraturan Menteri dan
peraturan dibawahnya hingga Peraturan Daerah di berbagai daerah yang
berhubungan dengan sector gambut.
Peraturan
perundang-undangan yang dianalisis adalah 11 UU (4 Putusan MK), 20 Peraturan Pemerintah, 1 Perpres, 5 Keppres,
3 Keppres, 21 Peraturan Menteri dan 27 Peraturan Daerah yang menjadi obyek
pembahasan.
Dari analisis peraturan maka “Penggunaan kata
“gambut” dapat ditemukan didalam PP
NO. 71 Tahun 2014 (yang kemudian diperbaharui berdasarkan PP No. 57 Tahun 2016), Keppres No. 32 Tahun 1990, Keppres
No. 82 Tahun 1995, Keppres No. 80 Tahun 1999 dan Keppres No. 48 Tahun 1991,
Inpres No. 8 Tahun 2015, Inpres No. 2 Tahun 2007 Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup No. 14 Tahun 2012, Peraturan Menteri Pertanian Nomor
18/Permentan/KB.330/5/2016, Permentan No. 14/Permentan/OT.140/PL.110/2/2009. Selain
itu juga terdapat kata “gambut” Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 dan
Inpres No. 8 Tahun 2015.
Penggunaan berbagai penamaan terhadap
kawasan ekosistem gambut seperti “lahan
basah”, “ekosistem gambut
yang tidak dapat tergantikan”, “ekosistem lahan basah atau “ekosistem
lahan basah yang unik,
Definisi gambut dapat dikategorikan yaitu
tanah hasil akumulasi timbunan bahan organic dengan komposisi lebih dari 65%
yang terbentuk secara alami, tertimbun waktu yang lama, ketebalan kurang dari 3 meter.
Gambut mempunyai karakteristik seperti ekosistem lahan basah yang unik,
keanekaragaman hayati, ekosistem yang khas
namun miskin unsur hara bagi pertumbuhan vegetasi diatasnya.
Kawasan hidrologi gambut ditentukan letaknya
di antara 2 buah sungai atau diantara sungai dan laut atau pada rawa atau
cekungan di antara dua sungai besar. Bila cekungan tersebut sempit, gambut yang
terbentuk merupakan gambut dangkal dengan ketebalan 0,5 hingga 1 meter atau
gambut sedang dengna ketebalan 1-2 meter. Jika jarak horizontal kedua sungai
besar tersebut cukup jauh hingga beberapa kilometer, maka tanah gambut
membentuk kubah gambut (peat dome) yang cukup besar dan dalam (2 – 3 meter)
hingga sangat dalam (lebih 3 meter).
Gambut berfungsi dan manfaat yang unik,
mencegah terjadinya kerusakan ekosistem sistem gambut, satu kesatuan yang utuh,
saling mempengaruhi, penambat air dan pencegah banjir.
Namun peraturan masih memungkinkan terhadap
pengelolaan gambut seperti UU No. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, Keppres No.
82 Tahun 1995, Keppres 80 Tahun
1999, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
14 Tahun 2012, Peraturan Menteri Pertanian Nomor
18/Permentan/KB.330/5/2016 Tentang
Pedoman Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit yang mendukung Permentan No.
14/Permentan/OT.140/PL.110/2/2009 Tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut
untuk Budidaya Kelapa Sawit dengan
menggunakan mekanisme Kawasan gambut budidaya.
Negara
telah memandang pentingnya kawasan gambut yang disebut sebagai “kawasan unik
dan penting’. Berbagai peraturan perundang-undangan kemudian menempatkan
kawasan ekosistem gambut dengan menggunakan berbagai istilah.
“Ekoregion
dan “Konservasi sumber daya alam (UU
No. 32 Tahun 2009), konservasi
sumber daya air (UU No. 7 Tahun 2004), Kawasan lindung wilayah (UU No. 37 Tahun
2014), Konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya (UU No. 5 Tahun 1990), kawasan hutan dan bukan kawasan
hutan (UU No. 41 Tahun 1999, UU No. 18 Tahun 2013), kawasan lindung (UU No. 26
Tahun 2007, Keppres 32 Tahun 1990), “pemanfaatan berdasarkan fungsi
ruang (UU No. 39 Tahun 2014), ekosistem
gambut (PP No. 71 Tahun 2014) dan konservasi rawa (PP No. 73 Tahun 2013)
PP No. 57 tahun 2016 lebih menitikberatkan
fungsi ekosistem gambut dengan meletakkan kesatuan hidrologi gambut yang harus
dilindungi.
Gambut yang merupakan kawasan ekosistem
gambut yang letaknya di antara 2 (dua) sungai, di antara sungai dan laut,
dan/atau pada rawa atau cekungan di antara dua sungai besar. Bila cekungan
tersebut sempit, gambut yang terbentuk merupakan gambut dangkal dengan
ketebalan 0,5 hingga 1 meter atau gambut sedang dengna ketebalan 1-2 meter.
Jika jarak horizontal kedua sungai besar tersebut cukup jauh hingga beberapa
kilometer, maka tanah gambut membentuk kubah gambut (peat dome) yang cukup
besar dan dalam (2 – 3 meter) hingga sangat dalam (lebih 3 meter).
Sedangkan Konvensi Ramsar mendefinisikan mereka sebagai "daerah payau,
rawa, lahan gambut atau air, baik yang alami maupun buatan, permanen atau sementara,
dengan air yang statis atau mengalir, segar, payau atau asin, termasuk area air
laut kedalaman yang saat surut tidak melebihi ketinggian 6 meter. Ketentuan
ini dapat dilihat dari definisi Gambut adalah tanah yang memiliki kandungan
bahan organic (berat kering) lebih dari 65% (enam puluh lima per seratus) dan
ketebalan gambut lebih dari 0,5 m (nol koma lima meter). Sehingga kategori
gambut sedang tidak diperlukan lagi.
Berbagai peraturan menjadi tumpang tindih. Disatu sisi peraturan
perundang-undangan memberikan perlindungan kawasan gambut (UU
No. 32 Tahun 2009, UU No. 5 Tahun 1990, UU No. 37 tahun 2014, UU No. 26 tahun
2007, UU No. 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan yang mencabut UU No. 11 Tahun 1974
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XII/2013, UU No. 25
Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan
UU No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan kerusakan Kehutanan,
PP No. 57 Tahun 2016 junto PP No. 71 Tahun 2014, PP No. 73 Tahun 2014, PP No.
45 Tahun 2004, PP No. 45 PP No. 4 Tahun 2001 Tentang Pengendalian
Kerusakan dan Atau Pencemaran
Lingkungan Hidup Yang Berkaitan dengan kebakaran Hutan dan Atau Lahan,
PP No. 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan, PP No. 28 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Hutan, Perpres No. 1
Tahun 2016, Keppres No. 32 Tahun 1990 TentangPengelolaan Kawasan Lindung, Keppres
No. 48 Tahun 1991 Tentang Pengesahan Convention on Wetland Of International
Importance Especially Waterfowl Habitat, Inpres No. 8 Tahun 2015 Tentang
Penundaan Pemberian Izin baru dan Penyempurnaan tata hutan alam Primer dan
Lahan Gambut, Inpres No. 11 Tahun 2015 Tentang Peningkatan Pengendalian
Kebakaran Hutan dan Lahan)
Namun
disisi lain Peraturan yang memberikan peluang pengelolaan gambut (UU No.
No. 18
Tahun 2013, UU No. 41 Tahun 1999 dan UU
No. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan).
Ketiga UU ini masih
dibenarkan untuk mengelola kawasan ekosistem gambut walaupun bukan dikawasan
konservansi dan kawasan lindung.
Ketiga UU kemudian didukung
oleh Keppres No. 82 Tahun 1995,
Keppres 80 Tahun 1999, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup 14 Tahun
2012, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18/Permentan/KB.330/5/2016
Tentang Pedoman Peremajaan Perkebunan
Kelapa Sawit yang mendukung Permentan
No. 14/Permentan/OT.140/PL.110/2/2009 Tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut
untuk Budidaya Kelapa Sawit dengan
menggunakan mekanisme Kawasan gambut budidaya
Sementara itu ambigu negara memandang gambut ditandai dengan Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2016
merupakan peraturan justru melihat persoalan gambut dari berbagai sudut. Selain
memberikan penafsiran yang menguntungkan rawa gambut namun juga mengabaikan
mandate BRG didalam Perpres No. 1 Tahun 2016.
Melihat berbagai peraturan yang
berkaitan dengan gambut maka diperlukan pemahaman yang kuat dari Negara yang menjadikan
Perpres No. 1 Tahun 2016 sebagai sumber hukum utama didalam fungsi pengembalian
gambut (restorasi gambut).
Selain
itu Mendefinisikan istilah gambut dan menjadikan istilah gambut seragam
sehingga dapat memperkuat fungsi BRG didalam melakukan restorasi gambut.
Yang
paling penting adalah menetapkan definisi gambut dengan kategori 0,5 meter
sebagaimana diatur didalam Keppres No.
32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan Keppres No. 48 Tahun 1991
Tentang Pengesahan Convention on Wetland Of International Importance Especially
Waterfowl Habitat. Dan sekaligus menetapkan kawasan ekosistem gambut sehingga
tidak lagi menjadi kawasan hutan dengan
non hutan atau kawasan gambut konservasi dengan kawasan gambut budidaya.
Penetapan
definisi gambut dengan kategori 0,5 meter sesuai dengan pengetahuan masyarakat
di kawasan gambut yang ditandai dengan “akar bekait, jelutung dan pakis”
sebagaimana hasil riset Walhi 2016.
Baca juga : Gambut dari pendekatan Etnografi