20 Oktober 2017

opini musri nauli : Kisah Batam


“Bang, abang berangkat ke Batam, ya” ujar suara diujung telephone dari Alm Arif Munandar pada pertengahan Agustus. Kalimat “Berangkat, ya” lebih tepat perintah daripada ajakan.

Saya kemudian mempersiapkan diri untuk mengikuti kegiatan yang diadakan Kementerian Lingkungan Hidup. Tema yang tidak jauh dengan disiplin ilmu hukum. Materi yang berkisar tentang “hak gugat” negara didalam penyelesaian sengketa Lingkungan Hidup.
Sebelum berangkat, saya teringat dengan teman saya Paken Pandiangan yang bekerja di Universitas Terbuka. Paken kuketahui ditempatkan di Batam.

Teringat waktu sekolah, siswa yang tekun belajar dan “jarang kabur” memanjat jendela. Taat beribadah dan rajin masuk kelas. Berbanding terbalik denganku. Yang hoby keluyuran dan “sering minggat”.

Nasib kemudian memisahkan kami. Paken kemudian diterima di UGM, kampus bergengsi. Sedangkan aku malah masuk Fakultas Hukum Unja. Sebuah ilmu sosial yang tidak pernah kupelajari di SMA.

Hampir praktis, setelah berteman di FB, kami tidak pernah bertemu. Hingga ketika kabar kusampaikan kedatangan ke Batam, Paken antusias menyambutnya. Dia berjanji akan menjemput ke Bandara.

Setelah memastikan keberangkatan, saya menghubunginya dan dia bersedia menjemput di bandara.

Setelah berbasi-basi sebentar, saya kemudian menaiki mobil Innova dengan plat merah yang kemudian ternyata disupiri. Sepanjang perjalanan, setelah bercerita tentang teman-teman SMA, saya kemudian iseng bertanya.

“Ken. Di UT kamu bagian apa ?”. Tanya saya. “Saya hanya bagian administrasi”. Jawab Paken. “Lha, tidak masalah menjemput saya pake mobil dinas ?. “Tidak. Tidak apa-apa. Sesekali jemput kawan lama”. Cerita tentang mobil kemudian terhenti.

Perjalanan dari Bandara Hang Nadim ke pusat pasar tidak terasa. Sepanjang perjalanan kami bercerita sebagai teman sekolah. Tidak ada kesan formal sepanjang perjalanan.

Setelah mengikuti acara 2 hari, sayapun pulang ke Jambi. Sambil menunggu keberangkatan, Rudiansyah (sekarang Direktur Walhi Jambi) kemudian memanggil saya.

“Bang. Siapa nama kawan abang yang kerja di UT ?”. “Paken Pandiangan. Kenapa ? Tanya saya heran. Tumben Rudi bertanya. Padahal sudah bertemu dan makan bersamanya.

“Ini !!! Lihat  !!!. Teman abang tuh yang jadi pimpinan UT di Batam” sembari menunjukkan koran lokal tentang iklan penerimaan mahasiswa baru di UT. Jelas tertulis. Paken Pandiangan.

Jantung serasa copot. Terbayang sepanjang perjalanan, pertanyaan iseng saya tentang posisi Paken di UT. Entah apa yang terpikirkan oleh supir Paken sepanjang perjalanan. Pasti terbayang.
“Sialan. Bos aku ditanya  apa posisi  di UT”.

Rasa panik dan bersalah membuat saya tidak tenang. Tidak lama kemudian saya sengaja menelpon. Sambil kesal saya bilang. “Sialan kau, Ken. Kau jadi orang penting di UT. Tuh ada di koran lokal Batam. Aku minta maaf. Bilang ke supir kau. Aku malu pertanyaan kemarin waktu kau jemput aku. Sungguh keterlaluan pertanyaanku”.

Saya hanya mendengarkan suara tawa di seberang sana. Seakan-akan mengejek atau tertawa lepas terhadap keluguan aku.

TIdak apa, cok. Kau Kawan sekolahku. Kau tidak berubah.. Aku suka”. Aku tidak mengerti kalimatnya. Namun yang kutangkap “ada ketulusan” terhadap gayaku yang suka jahil.

Hari selasa, tanggal 24 Oktober 2017, sang pemimpin UT, yang kukenal sejak SMA kelas 1 akhirnya meraih gelar akademik tertinggi. Menjadi Doktor di Universitas Negeri Surabaya.

Selamat atas kerja kerasmu.
Tetaplah menjadi Paken yang kukenal. Paken teman sekolah tanpa batas sekat gelar akademik.

Maaf. Aku tidak bisa menjadi penyaksi peristiwa penting sejarah.
Salam untuk keluarga.