Sebagai generasi yang menikmati suasana menjelang kejatuhan Soeharto, pemimpin otoriter, saya hidup didalam lintasan berbagai peristiwa. Berbagai peristiwa kemudian mengajarkan berbagai bentuk pergaulan. Termasuk menikmati berbagai panggilan sebagai bentuk “keakraban’.
Dikalangan teman-teman sekolahku terutama teman-teman organisasi PA yang masih memanggil panggilan sehari-hari. Selain itu Seingatku hanya 1 orang polisi memanggilku. Dia pernah menjadi kasat Intel ketika menjelang kejatuhan Soeharto. Sedangkan di kalangan bisnismen, cuma satu yang kuingat. Dia sudah lama kukenal sejak kejatuhan Soeharto. Sementara teman-teman kuliah hanya memanggil pendek. Nauli. Nama Nauli kemudian menjadi nama yang dikenal hingga sekarang. Sedangkan dosen hingga sekarang masih memanggil nama depanku. Musri.
Di kalangan pergaulan, panggilan “bro” pernah kunikmati ketika bergaul dengan teman-teman yang baru pulang dari Akabri. Rata-rata waktu itu seusiaku ataupun beberapa tahun dibawahku. Panggilan “bro” juga kunikmati dari manager Hotel di Bungo. Di kalangan teman-teman kontras, panggilan bro masih dikenal hingga sekarang.
Panggilan “wak” juga kurasakan. Bermula ketika panggilan “wak nik” kami sematkan kepada Nick Karim. Panggilan “Wak” membuktikan kesenioran wak Nick di Pencinta Alam. Entah kapan bermula “wak nik” kemudian memanggil Feri Irawan (Direktur Walhi) dan saya dengan panggilan “Wak”. Feri kemudian “membasokan” panggilan kami bertiga menjadi masing-masing “wak”. Sehingga entah mengapa Mukri (Eknas Walhi) kemudian memanggil “wak” kepada kami bertiga. Panggilan “Wak” kemudian menjadi panggilan kami bertiga. Sebenarnya Panggilan “wak” lebih ditepat ditujukan “Wak” dadang. Selain umurnya yang relative jauh diatas kami bertiga, panggilan wak juga ditujukan kepada “senioritas” wak dadang di PA.
Panggilan “wak” juga bergema di Bogor. Entah mengapa kemudian teman-teman di bogor tetap memanggil “wak” terhadap kami bertiga.
Memasuki periode Berry (Direktur Walhi 2008-2012), panggilan menggema menjadi “Ketua”. Istilah ketua berasal dari panggilan teman-teman dari Sumut. Hampir setiap orang dipanggil ketua. Guyonan mengenai panggilan ketua kemudian trendsetter sejak itu hingga sekarang.
Hanya 2 orang yang istimewa dengan panggilan berbeda. Satu memanggilku “kamerad”. Kamerad adalah saudara. Panggilan “kamerad’ digunakan dikalangan kaum sosialis. Panggilan “kamerad’ ditujukan kepadaku, dari orang yang mengagumi Tan Malaka. Salah satu tokoh berpengaruh pada awal 1930-an. Kami berbincang dan sepakat dengan kebesaran Tan Malaka. Sejak itu kami kemudian berpanggil “kamerad’.
Satu lagi memanggil “med’. Waktu itu lagi trend istilah “soulmed”. Teman sejati. Kami berdua saling memanggil “med’.
Sebagian orang bingung. Kok aku dipanggil “med’. Khan namaku “Nauli”. Namun setelah dijelaskan “soulmed”, barulah kami saling tertawa terbahak-bahak.
Mengapa penting saya mengingatkan panggilan ? Selain saya mudah mengikuti proses perjalanan saya, saya juga mengukur. Apakah semula panggilan yang ditujukan kepadaku kemudian bergeser menjadi panggilan lain. Dengan demikian, maka saya kemudian masih mengingat relasi hubungan saya dengan waktu selanjutnya.
Misalnya semula saya dipanggil “wak” namun kemudian bergeser panggilan “abang’. Atau semula panggilan “wak” kemudian bergeser menjadi panggilan “ketua”. Atau semula dipanggil “abang” namun kemudian dipanggil “Ketua’. Atau semula “nauli” kemudian menjadi “musri”.
Rasa panggilan itulah yang kemudian menjadi penilaian tersendiri bagi saya. Apakah zaman yang berubah atau memang sahabat saya mulai lupa dengan perjalanan yang sudah ditempuh.
Baca : Panggilan Bebaso (1)
Pencarian terkait : Musri nauli, opini musri nauli, jambi dalam hukum, hukum adat jambi,
Opini Musri Nauli dapat dilihat : www.musri-nauli.blogspot.com