Merayakan
datangnya tahun baru Hijriah (tahun baru Islam) disambut dengan gegap gempita
di berbagai pelosok Jambi. Di perkotaan, perayaan menyambut tahun baru islam
diwarnai dengan kegiatan pawai obor, syalawat sepanjang malam. Sedangkan di
berbagai tempat dilaksanakan kegiatan “yasinan, ulu tahlil” di berbagai masjid.
Di Desa Kembang
Seri, Maro Sebo Ulu, Batanghari, perayaan merayakan tahun baru Hijriah dikenal
dengan tradisi “Langir”. Prosesi “langir” dimulai setelah sholat magrib dilanjutkan
dengan “yasinan, ulu tahlil”. Selama proses “langir”, ketupat kemudian yang
telah dikumpulkan seluruh penduduk kemudian dibagikan kepada yang hadir di
masjid Kembang Seri.
Sebelumnya
telah disiapkan “daun kumpeh, daun cakraw, daun sedingin, daun setawar”.
Seluruh sajian ini dikenal juga sebagai “tepung tawar. Seluruhnya kemudian
dicampur air dan dimasukkan kedalam perahu yang diletakkan disamping masjid.
Setelah prosesi
“yasinan, ulu tahlil” selesai dilakukan, maka seluruh penduduk kemudian mengambil
air wangi yang berupa “tepung tawar” dan kemudian membasahi seluruh badan.
Selain itu juga, air yang diambil dari dalam perahu kemudian dibawa pulang
untuk membersihkan diri. Selama prosesi “langir”, azan Isya kemudian berkumandang
selama prosesi “langir’.
Setelah Prosesi
mengambil air didalam perahu selesai, maka “imam” masjid kemudian mengeluarkan
petuah yang dikenal “Larang pantang” yang terdiri dari 5 larangan (5 larang
pantang). 5 Larangan berupa (1) Dilarang berbalas bantah. (2) Membunyikan suara
keras. (3) Dilarang seluruh permainan. (4). Membanting pakaian. Menjemur
pakaian didepan rumah (5). Tidak boleh kegiatan setelah jam 11 malam.
Terhadap
pelanggaran “larang pantang” dijatuhi denda sebesar 200 ketupat. 200 ketupat
dikonversikan senilai Rp. 250.000,- (Dua ratus lima puluh ribu rupiah). Denda
kemudian diserahkan kepada Ketua RT atau Kepala Dusun dan diserahkan kepada
Mesjid. “Larang pantang” berlaku di seluruh Desa Kembang Seri. “Larang pantang”
berlaku hanya satu hari.
“Larang
pantang” mengingatkan kepada upacara “Nyepi”. Larang pantang” seperti “Dilarang
berbalas bantah” biasa juga dikenal seperti “amati geni” yaitu
singkatnya berpuasa”. Atau dapat juga dikategorikan seperti “amati lelanguan”
yaitu “puasa bicara”. Atau Larang pantang “Membunyikan suara keras” didalam upacara
“nyepi” yaitu “amati karya” menghentikan
semua kegiatan.
Sedangkan larang pantang ketiga yaitu “Dilarang
seluruh permainan” maka dapat ditemukan sebagai “Amati lelanguan” yaitu istirahat dari semua bentuk dan jenis hiburan. Begitu
juga larang pantang “Membanting pakaian. Menjemur pakaian didepan rumah” dikenal
sebagai “amati
karya” yaitu menghentikan semua pekerjaan”. Sedangkan “larang pantang” Tidak boleh
kegiatan setelah jam 11 malam dapat dijumpai sebagai “amati
lelungan” yaitu tidak tidak bepergian, hanya berada di dalam pekarangan rumah”.
Tradisi “langir” adalah tradisi merayakan dan menyambut
tahun Baru Hijriah. Tradisi dikenal di Desa Kembang Seri, Maro Sebo Ulu,
Batanghari. 152 km arah barat Jambi. Tradisi “langir” juga dapat ditandai
sebagai perwujudan datangnya tahun baru Hijriah sekaligus sebagai “refleksi”
terhadap perjalanan hidup manusia.
Tradisi “Langir” yang masih dirawat kolektif masyarakat
Desa Kembang Seri adalah tradisi panjang yang dapat ditemukan “jejak” peradaban
yang masih dirawat. Tradisi ini juga sebagai bentuk “berkumpulnya (guyup)”
masyarakat didalam merayakan tradisi.
Membicarakan Desa Kembang Seri adalah sebuah wilayah
yang dicatat oleh Barbara Watson Andaya didalam Buku “Hdup Bersaudara – Sumatra Tenggara Pada Abad
XVII –XVIII”. Dalam lintasan perdagangan merica Kerajaan Jambi,
Kembang Seri salah satu daerah penghasil merica dalam lintasan perdagangan.
Sehingga sebagai daerah penghasil merica untuk perdagangan Kerajaan Jambi, pada
tahun 1738 pasukan dari Minangkabau menyerang Desa Kembang Seri di Batanghari
dan menghancurkan semua perkebunan merica. Penyerangan dari Minangkabau
diakibatkan perselisihan antara Kaisar Minangkabau dengan Kerajaan Jambi. Namun
hubungan baik antara Kerajaan Minangkabau dengan Kerajaan Jambi oleh Sultan
Astra kemudian dapat menyelesaikan dengan baik.
Namun walaupun berada
dalam lindungan Kerajaan Jambi, hubungan dagang antara daerah penghasil merica
dengan kerajaan Jambi tetap independent. Kembang Seri tetap dapat menjalin
hubungan dagang dan mendirikan kontak untuk mengatur perdagangan. Sedangkan
Kerajaan mengatur tentang batas-batas, administrasi, menyelesaikan perselisihan
dan denda perselisihan.
Namun pemaksaan
penanaman merica tidak terhenti walaupun telah selesai perdamaian antara
Kerajaan Minangkabau dengan Kerajaan Jambi. Tahun 1741, Kepala Kembang Seri
mengeluhkan terhadap Pangeran Ratu yang tetap memaksa penduduk untuk kerja
paksa menanam merica. Sedangkan Pangeran termuda yaitu Pangeran Sutawijaya yang
menguasai Tujuh Koto dengan mencabuti pohon kapas dan memaksa penduduk untuk
menanam merica. Pertengkaran keluarga Kerajaan juga terjadi di Merangin dan Air
Hitam. Kesemua pangeran yang menguasai daerah hulu memaksa penduduk untuk membayar
upeti dan pajak dan memaksa menanam merica[1].
Kembang Seri
termasuk kedalam Marga Maro Sebo Ulu. Marga Maro Sebo Ulu kemudian menjadi
Kecamatan Maro Sebo Ulu, Kabupaten Batanghari, Jambi.
[1] Barbara Watson Andaya didalam Buku “Hdup Bersaudara – Sumatra Tenggara Pada Abad
XVII –XVIII”, Hal. 279 - 281