23 September 2017

opini musri nauli : Tradisi Langir



Merayakan datangnya tahun baru Hijriah (tahun baru Islam) disambut dengan gegap gempita di berbagai pelosok Jambi. Di perkotaan, perayaan menyambut tahun baru islam diwarnai dengan kegiatan pawai obor, syalawat sepanjang malam. Sedangkan di berbagai tempat dilaksanakan kegiatan “yasinan, ulu tahlil” di berbagai masjid.
Di Desa Kembang Seri, Maro Sebo Ulu, Batanghari, perayaan merayakan tahun baru Hijriah dikenal dengan tradisi “Langir”. Prosesi “langir” dimulai setelah sholat magrib dilanjutkan dengan “yasinan, ulu tahlil”. Selama proses “langir”, ketupat kemudian yang telah dikumpulkan seluruh penduduk kemudian dibagikan kepada yang hadir di masjid Kembang Seri.

Sebelumnya telah disiapkan “daun kumpeh, daun cakraw, daun sedingin, daun setawar”. Seluruh sajian ini dikenal juga sebagai “tepung tawar. Seluruhnya kemudian dicampur air dan dimasukkan kedalam perahu yang diletakkan disamping masjid.

Setelah prosesi “yasinan, ulu tahlil” selesai dilakukan, maka seluruh penduduk kemudian mengambil air wangi yang berupa “tepung tawar” dan kemudian membasahi seluruh badan. Selain itu juga, air yang diambil dari dalam perahu kemudian dibawa pulang untuk membersihkan diri. Selama prosesi “langir”, azan Isya kemudian berkumandang selama prosesi “langir’.

Setelah Prosesi mengambil air didalam perahu selesai, maka “imam” masjid kemudian mengeluarkan petuah yang dikenal “Larang pantang” yang terdiri dari 5 larangan (5 larang pantang). 5 Larangan berupa (1) Dilarang berbalas bantah. (2) Membunyikan suara keras. (3) Dilarang seluruh permainan. (4). Membanting pakaian. Menjemur pakaian didepan rumah (5). Tidak boleh kegiatan setelah jam 11 malam.

Terhadap pelanggaran “larang pantang” dijatuhi denda sebesar 200 ketupat. 200 ketupat dikonversikan senilai Rp. 250.000,- (Dua ratus lima puluh ribu rupiah). Denda kemudian diserahkan kepada Ketua RT atau Kepala Dusun dan diserahkan kepada Mesjid. “Larang pantang” berlaku di seluruh Desa Kembang Seri. “Larang pantang” berlaku hanya satu hari.

“Larang pantang” mengingatkan kepada upacara “Nyepi”. Larang pantang” seperti “Dilarang berbalas bantah” biasa juga dikenal seperti “amati geni” yaitu singkatnya berpuasa”. Atau dapat juga dikategorikan seperti “amati lelanguan” yaitu “puasa bicara”. Atau Larang pantang “Membunyikan suara keras” didalam upacara “nyepi” yaitu “amati karya” menghentikan semua kegiatan.

Sedangkan larang pantang ketiga yaitu “Dilarang seluruh permainan” maka dapat ditemukan sebagai “Amati lelanguan” yaitu istirahat dari semua bentuk dan jenis hiburan. Begitu juga larang pantang “Membanting pakaian. Menjemur pakaian didepan rumah” dikenal sebagai  amati karya” yaitu menghentikan semua pekerjaan”. Sedangkan “larang pantang” Tidak boleh kegiatan setelah jam 11 malam dapat dijumpai sebagai  amati lelungan” yaitu tidak tidak bepergian, hanya berada di dalam pekarangan rumah”.

Tradisi “langir” adalah tradisi merayakan dan menyambut tahun Baru Hijriah. Tradisi dikenal di Desa Kembang Seri, Maro Sebo Ulu, Batanghari. 152 km arah barat Jambi. Tradisi “langir” juga dapat ditandai sebagai perwujudan datangnya tahun baru Hijriah sekaligus sebagai “refleksi” terhadap perjalanan hidup manusia.

Tradisi “Langir” yang masih dirawat kolektif masyarakat Desa Kembang Seri adalah tradisi panjang yang dapat ditemukan “jejak” peradaban yang masih dirawat. Tradisi ini juga sebagai bentuk “berkumpulnya (guyup)” masyarakat didalam merayakan tradisi.

Membicarakan Desa Kembang Seri adalah sebuah wilayah yang dicatat oleh Barbara Watson Andaya didalam Buku “Hdup Bersaudara – Sumatra Tenggara Pada Abad XVII –XVIII”.   Dalam lintasan perdagangan merica Kerajaan Jambi, Kembang Seri salah satu daerah penghasil merica dalam lintasan perdagangan. Sehingga sebagai daerah penghasil merica untuk perdagangan Kerajaan Jambi, pada tahun 1738 pasukan dari Minangkabau menyerang Desa Kembang Seri di Batanghari dan menghancurkan semua perkebunan merica. Penyerangan dari Minangkabau diakibatkan perselisihan antara Kaisar Minangkabau dengan Kerajaan Jambi. Namun hubungan baik antara Kerajaan Minangkabau dengan Kerajaan Jambi oleh Sultan Astra kemudian dapat menyelesaikan dengan baik.

Namun walaupun berada dalam lindungan Kerajaan Jambi, hubungan dagang antara daerah penghasil merica dengan kerajaan Jambi tetap independent. Kembang Seri tetap dapat menjalin hubungan dagang dan mendirikan kontak untuk mengatur perdagangan. Sedangkan Kerajaan mengatur tentang batas-batas, administrasi, menyelesaikan perselisihan dan denda perselisihan.

Namun pemaksaan penanaman merica tidak terhenti walaupun telah selesai perdamaian antara Kerajaan Minangkabau dengan Kerajaan Jambi. Tahun 1741, Kepala Kembang Seri mengeluhkan terhadap Pangeran Ratu yang tetap memaksa penduduk untuk kerja paksa menanam merica. Sedangkan Pangeran termuda yaitu Pangeran Sutawijaya yang menguasai Tujuh Koto dengan mencabuti pohon kapas dan memaksa penduduk untuk menanam merica. Pertengkaran keluarga Kerajaan juga terjadi di Merangin dan Air Hitam. Kesemua pangeran yang menguasai daerah hulu memaksa penduduk untuk membayar upeti dan pajak dan memaksa menanam merica[1].

Kembang Seri termasuk kedalam Marga Maro Sebo Ulu. Marga Maro Sebo Ulu kemudian menjadi Kecamatan Maro Sebo Ulu, Kabupaten Batanghari, Jambi.






[1] Barbara Watson Andaya didalam Buku “Hdup Bersaudara – Sumatra Tenggara Pada Abad XVII –XVIII”, Hal. 279 - 281