06 Agustus 2018

opini musri nauli : PIKIRAN LIO



Sebagai putra bungsu, Lio dikenal “penyayang”. Dengan dua abangnya dan satu kakaknya, Lio mendapatkan berbagai pelajaran penting dari saudara-saudaranya. Entah kakaknya yang tertua “rajin” menasehati agar menuruti perkataan ibunya atau “abang-abangnya” yang mengajarkan lelaki tidak boleh cengeng dan harus mandiri.
Suatu waktu kemudian aku mendapatkan kabar. Hari pertama masuk sekolah TK sudah berkelahi. Padahal kutahu dia tidak pernah ganggu orang apalagi sampai memukul.

Dengan tenang kutanyakan mengapa dia memukul temannya pada hari pertama. Dengan santai meminum es krim dia menjawab “Kawan adek yang ganggu adik”. Akupun diam. Mengapa dia ganggu sehingga menjadi tidak sabar.

Pelan-pelan kucari informasi. Ternyata. Dengan wajah yang “imut-imut, mata supit” sering diganggu temannya. Wajahnya dicubit-cubit. Pipinya digosok-gosok. Memang matanya sipit. Sehingga dia menjadi bahan guyonan teman-temannya. Dia diam saja. Mungkin tidak mau diganggu pada hari pertama dan didalam kelas.

Namun ketika waktu istirahat, ketika temannya lengah, dia kemudian menghajar muka temannya. Langsung terjengkang tanpa sempat melawan. Sekolah kemudian gempar. Dia kemudian ditanya. Dengan santai dia menjelaskan kekesalan dari temannya yang terus mengganggu selama belajar. Dan tidak ada sedikitpun dia takut walaupun ditanya guru. Tidak menangis namun tegas menunjukkan sikapnya.

Akupun teringat kata-kata istriku. “Adek harus melawan kalua diganggu. Kalau badannya besar, kejar pakai kayu” teringat perkataan istriku disela-sela menonton TV.

Sang Guru sekolah kemudian bijaksana. Lio tidak bersalah. Dengan diam selama ini diganggu kemudian dia menunjukkan sikapnya. Lelaki tidak boleh cengeng. Lelaki harus melawan apabila terus diganggu.

Namanya  kemudian melekat di Sekolah. Hampir setiap orang tua di sekolah tidak pernah menyalahkan sikap Lio. Dia kemudian menjadi bintang. Nama Lio kemudian dilekatkan oleh orang tua di Sekolah.

Bahkan apabila ada anak-anak nakal atau tidak menuruti perintah orang tua atau tidak mau makan, maka keluar ancaman “nanti kasih tau Lio”. Nama Lio kemudian membuat anak menjadi patuh. Cerita yang kuterima dari para orang tua ketika aku mengantar sekolah. Akupun tersenyum. Lio tidak pernah dianggap anak nakal. Tapi Lio menunjukkan sikapnya. Melawan ketika mulai diganggu dan sang kawan sudah diingatkannya.

Keberanian dia melawan menjadi pegangan di sekitar rumahku. Bahkan dia pernah menghajar teman abangnya yang badannya tiga kali lebih besar darinya. Persoalannya cuma sepele. Dia merebut mainan ditangannya. Sebuah ajaran yang diingatkan dari ibunya. “Tidak boleh merampas mainan dari tangan. Kalau ingin harus ngomong”. Hingga kini sang teman abangnya tidak pernah berani lagi main kerumah apabila ada Lio. Akupun tersenyum mendengar kisah itu.

Lalu apakah Lio menjadi keras kepala dan tidak mau diatur. Tidak. Dia tidak pernah marah apabila teman-temannya yang perempuan sering mengganggunya. “Paling-paling dia tersenyum”. Sebuah ajaran dari ibunya. Tidak boleh memukul perempuan. Ajaran yang paling esensial dari keluarga yang kami tanamkan. “Sesalah apapun perempuan, tidak boleh tangan melayang’. Ajaran yang membuat aku tidak terima ketika adanya perkelahian diantara keluarga. Ini yang membuat aku marah besar ketika putraku kedua pernah memukul kakaknya. Walaupun sang kakak yang salah. Dan itu yang paling diingatkan dari Lio.

Lio sekarang sudah kelas IV SD. Tidak pernah lagi ada cerita dia memukul temannya. Tidak pernah ada lagi perkelahian. Semua teman-temannya akan ketakutan apabila ada yang mengganggu. Dan Lio tenang bermain dengan teman-temannya.

Pikiran Lio kemudian mengajarkan kepada kita semuanya. Kita akan menunjukkan sikap apabila kita terus diganggu. Sikap kita hanya bertujuan untuk bertahan. Melindungi diri. Bukan untuk menyerang.

Bukankah agama selalu mengingatkan. “Siapkan kuda-kuda terbaik. Agar musuh akan gentar ”?
Mempersiapkan kuda-kuda bertujuan bukan untuk menyerang. Agar sang musuh tidak berani menyerang pertahanan kita. Namun apabila musuh kemudian menyerang, apakah kita tidak boleh bertahan ?

Kalau Bahasa anak gaul. “Lu jual, gue beli”.

Akupun meneruskan minum kopi. Tidak lupa mempersiapkan bahan untuk diskusi malam nanti.