Sebagai
putra bungsu, Lio dikenal “penyayang”. Dengan dua abangnya dan satu kakaknya,
Lio mendapatkan berbagai pelajaran penting dari saudara-saudaranya. Entah
kakaknya yang tertua “rajin” menasehati agar menuruti perkataan ibunya atau “abang-abangnya”
yang mengajarkan lelaki tidak boleh cengeng dan harus mandiri.
Suatu
waktu kemudian aku mendapatkan kabar. Hari pertama masuk sekolah TK sudah
berkelahi. Padahal kutahu dia tidak pernah ganggu orang apalagi sampai memukul.
Dengan
tenang kutanyakan mengapa dia memukul temannya pada hari pertama. Dengan santai
meminum es krim dia menjawab “Kawan adek yang ganggu adik”. Akupun diam.
Mengapa dia ganggu sehingga menjadi tidak sabar.
Pelan-pelan
kucari informasi. Ternyata. Dengan wajah yang “imut-imut, mata supit” sering
diganggu temannya. Wajahnya dicubit-cubit. Pipinya digosok-gosok. Memang
matanya sipit. Sehingga dia menjadi bahan guyonan teman-temannya. Dia diam
saja. Mungkin tidak mau diganggu pada hari pertama dan didalam kelas.
Namun
ketika waktu istirahat, ketika temannya lengah, dia kemudian menghajar muka
temannya. Langsung terjengkang tanpa sempat melawan. Sekolah kemudian gempar.
Dia kemudian ditanya. Dengan santai dia menjelaskan kekesalan dari temannya
yang terus mengganggu selama belajar. Dan tidak ada sedikitpun dia takut
walaupun ditanya guru. Tidak menangis namun tegas menunjukkan sikapnya.
Akupun
teringat kata-kata istriku. “Adek harus melawan kalua diganggu. Kalau badannya
besar, kejar pakai kayu” teringat perkataan istriku disela-sela menonton TV.
Sang
Guru sekolah kemudian bijaksana. Lio tidak bersalah. Dengan diam selama ini
diganggu kemudian dia menunjukkan sikapnya. Lelaki tidak boleh cengeng. Lelaki
harus melawan apabila terus diganggu.
Namanya
kemudian melekat di Sekolah. Hampir
setiap orang tua di sekolah tidak pernah menyalahkan sikap Lio. Dia kemudian
menjadi bintang. Nama Lio kemudian dilekatkan oleh orang tua di Sekolah.
Bahkan
apabila ada anak-anak nakal atau tidak menuruti perintah orang tua atau tidak
mau makan, maka keluar ancaman “nanti kasih tau Lio”. Nama Lio kemudian membuat
anak menjadi patuh. Cerita yang kuterima dari para orang tua ketika aku
mengantar sekolah. Akupun tersenyum. Lio tidak pernah dianggap anak nakal. Tapi
Lio menunjukkan sikapnya. Melawan ketika mulai diganggu dan sang kawan sudah
diingatkannya.
Keberanian
dia melawan menjadi pegangan di sekitar rumahku. Bahkan dia pernah menghajar
teman abangnya yang badannya tiga kali lebih besar darinya. Persoalannya cuma
sepele. Dia merebut mainan ditangannya. Sebuah ajaran yang diingatkan dari
ibunya. “Tidak boleh merampas mainan dari tangan. Kalau ingin harus ngomong”.
Hingga kini sang teman abangnya tidak pernah berani lagi main kerumah apabila
ada Lio. Akupun tersenyum mendengar kisah itu.
Lalu
apakah Lio menjadi keras kepala dan tidak mau diatur. Tidak. Dia tidak pernah
marah apabila teman-temannya yang perempuan sering mengganggunya. “Paling-paling
dia tersenyum”. Sebuah ajaran dari ibunya. Tidak boleh memukul perempuan.
Ajaran yang paling esensial dari keluarga yang kami tanamkan. “Sesalah apapun
perempuan, tidak boleh tangan melayang’. Ajaran yang membuat aku tidak terima
ketika adanya perkelahian diantara keluarga. Ini yang membuat aku marah besar
ketika putraku kedua pernah memukul kakaknya. Walaupun sang kakak yang salah.
Dan itu yang paling diingatkan dari Lio.
Lio
sekarang sudah kelas IV SD. Tidak pernah lagi ada cerita dia memukul temannya.
Tidak pernah ada lagi perkelahian. Semua teman-temannya akan ketakutan apabila
ada yang mengganggu. Dan Lio tenang bermain dengan teman-temannya.
Pikiran
Lio kemudian mengajarkan kepada kita semuanya. Kita akan menunjukkan sikap
apabila kita terus diganggu. Sikap kita hanya bertujuan untuk bertahan.
Melindungi diri. Bukan untuk menyerang.
Bukankah
agama selalu mengingatkan. “Siapkan kuda-kuda terbaik. Agar musuh akan gentar ”?
Mempersiapkan
kuda-kuda bertujuan bukan untuk menyerang. Agar sang musuh tidak berani
menyerang pertahanan kita. Namun apabila musuh kemudian menyerang, apakah kita
tidak boleh bertahan ?
Kalau
Bahasa anak gaul. “Lu jual, gue beli”.
Akupun
meneruskan minum kopi. Tidak lupa mempersiapkan bahan untuk diskusi malam
nanti.