Ketika
Porto menjuarai Piala Champion 2004, dunia kaget dengan kemenangannya. Publik
kemudian berpaling dan mulai mengenal Jose Mario Dos Santos Mourinho Felix yang
kemudian dikenal sebagai Jose Mourinho. Jose Mourinho kemudian dikenal sebagai “ahli
strategi” dan piawai matematika.
Kelebihannya
dengan menguasai matematika dengan memperhitungkan “kecendrungan” pemain
(termasuk arah tendangan) membuat tim setua Intermilan mampu menjadi Juara
Champion tahun 2010. Gaya Mourinho dengan “memarkir” pemain hingga 10 orang
didalam kotak penalty membuat Mourinho dikenal pemain “licik” dan membuat meme memarkir
bis.
Kemampuan
Mourinho menaklukan tim-tim Besar seperti Barca, Madrid, Bayer Muecnhen membuat
dia lirik menjadi Pelatih. Chelsea, Intermilan, Read Madrid dan MU adalah
klub-klub internasional yang pernah merasakan tanda tangan sebagai pelatih.
Lihatlah
seperti Barca yang “kagok” menghadapi “parker bis” yang dimainkan oleh Mourinho
mengatur Intermilan. Cara yang kemudian berhasil memenangkan Intermilan
menjuarai Champion 2010.
Sehingga
Mourinho kemudian dikenal sebagai ahli strategi. Menguasai setiap permainan,
memahami karakter lawan dan mampu menggerakkan tim walaupun compang camping.
Karakter Mourindho membuat apapun dilatihnya membuat tim dihormati dan sering
bingung dengan strategi yang dimainkan oleh Mourinho.
Lalu
apa hubungan dengan Mourinho dengan politik Indonesia ?
Ya.
Cara ini dimainkan oleh Jokowi dalam politik kontemporer. Dengan memasang Ali Moechtar
Ngabalin (TA KSP) sebagai “juru bicara”, menarik Idrus Marhan sebagai Menteri
Sosial, Mahfud MD (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), Tuan Guru Bajang (TGB/Tim
Pemenangan Prabowo/Gubernur NTB).
Cara
yang juga dilakukan Prabowo merekrut Anies Baswedan (juru bicara Jokowi)
sebagai Gubernur Jakarta.
Diibaratkan
pertandingan sepakbola, sukses Jokowi merekrut orang penting Tim Pemenangan
Prabowo setelah berhasil membangun koalisi dengan Partai Golkar dan PPP (2
partai semula pendukung Prabowo) membuktikan, darah pemain tim Jokowi lebih
segar. Jokowi sedang membangun “gelandang” serang untuk counter attack (serangan
balik) setelah selama ini tim terus digempur empat tahun terakhir.
Masuknya
TGB didalam koalisi Jokowi membuktikan “kejelian” Jokowi memenangkan
pertarungan “psy war”. TGB yang sempat digadang-gadang koalisi Prabowo,
berhasil “memenangkan pertarungan”.
Secara
“psy war’, TGB dianggap representative tokoh Islam yang disegani (dengan
background Doktor dari Timur Tengah) berhasil “meredam” serangan. Seruan TGB
tentang “penggunaan ayat-ayat perang” berhasil “memisahkan antara perjuangan
agama dan cuma urusan pilpres. “Setting” menjelang pilpres menjadi buyar
setelah sebelumnya TGB merupakan kandidat kuat untuk pilpres.
Cara
permainan Jokowi dengan mempersiapkan “gelandang serang” dilakukan setelah 4
tahun terakhir, Jokowi hampir praktis kurang merespon suara minor. Dengan
rentang “mengerjakan” proyek-proyek infrastruktur’, Jokowi memerlukan “serang
balik (counter attack). Suara-suara minor menenggelamkan prestasi Jokowi.
Pasukan yang ada masih berposisi bertahan. Menghalau serangan tanpa memberikan
effek kejut. Selain juga tim yang melingkari Jokowi kurang menguasai “medan
tempur” dengan serangan balik (counter attack).
Sehingga
diperlukan “gelandang serang” setelah “memarkir” pemain didalam kotak penalty selama
4 tahun terakhir. Diperlukan “darah segar’ untuk melakukan serangan balik yang
effektif, mematikan dan membuat lawan kaget. Strategi effektif yang dilakukan
tim-tim yang melaju ke Final. Cara yang juga digunakan oleh Perancis sehingga
menjuarai dunia.
Cara
yang dilakukan oleh Mourinho ketika “membungkam” Barca dan membuat Barca
kehilangan “daya pesona” menghadapi pemain “super defensive” Intermilan. Cara
yang membuat Intermilan kemudian mencuri gol dan melenggang ke final dan
menjuarai Champion.
Sementara
“hasil rekrutan” Anies Baswedan tidak mampu mendulang dukungan. Pengelolaan
Jakarta dengan pikiran yang sulit ditangkap seperti “bamboo bendera”, issu kali
item (waring, pewangi) membuat Anies Baswedan “kurang dilirik” mendampingi
Prabowo.
Deklarasi
Anies Baswedan for Presiden kurang mendapatkan dukungan. Nama-nama candidate Wakil
Presiden antara AHY, Salim Al Jufri dan Abdul Somad lebih menggema dibandingkan
nama Anies Baswedan masuk dalam barisan pilpres. Belum lagi berbagai persoalan
antara Tarik menarik antara Partai Gerindra – PKS dan Partai Gerindra – Partai Demokrat
membuat “suasana pilpres” menjadi tegang.
Namun
koalisi for Jokowi juga tidak tenang. Tarik menarik antara Partai Golkar dan
PKB juga membuat koalisi tidak nyaman. Dengan sedikit “gertakan’, hendak
mencabut dukungan hingga khawatir memberikan mandate tanpa arah (cheq kosong)
membuat Partai Golkar dan PKB saling “psy war’. Entah dengan “mencabut dukungan”,
membangun koalisi baru atau “menetapkan sebagai Wakil Presiden’ coba dimainkan.
Sebuah kekhawatiran baru menjelang detik-detik pendaftaran di KPU.
Terlepas
dari “manuver” menjelang pendaftaran ke KPU, Jokowi sudah melewati “kisruh” KPK
vs Kepolisian. Melewati periode sulit suara di parlemen (KMP) dengan dukungan
dari Partai Golkar dan PPP, mendinginkan suara kritis PDIP yang sempat “panas
dingin” dengan Jokowi.
Dengan
barisan panjang baik koalisi kerakyatan yang tidak terganggu, merebut “suara”
KMP, membangun jaringan baru dengan mempersiapkan “gelandang serang” dengan barisan
penting Prabowo membuat Jokowi memasuki pilpres dengan senyuman.
Sehingga
seruan “tapi siap berkelahi” lebih menawarkan “psy war’. Sikap tegas yang tidak
aneh ketika ditanyakan “kita buat ramai” dalam debat kandidat ketika ditanyakan
“berani melawan dan mengganggu kedaulatan” Indonesia.
Termasuk
tidak tunduk dengan Amerika Serikat dalam kasus Freeport dan berdiri diluar
diatas kapal perang di Pulau Natuna dalam gertakan Malaysia dan Tiongkok dalam
peristiwa Laut Tiongkok Selatan.
Senyuman
yang sumringah selesai penandatangani Freeport dan blok Rokan yang semula
dikuasai oleh Chevron. Sesumringah Jokowi menyambut kehadiran cucu keduanya.
Sehingga
tidak salah kemudian pertemuan Jokowi dengan 9 Sekjen Partai lebih menampakkan
suasana informal, pakaian kasual, tertawa lebar dan jauh dari kesan pertemuan
politik.
Ya.
Jokowi “little” Mourinho. Mourinho – Indonesia.