Ketika
Jokowi mengumumkan Ma’ruf Amin sebagai Bakal calon Wakil Presiden, secara
psikologis dan mengirimkan pesan “psy war”, Jokowi sudah memenangkan
pertarungan. Dengan mengumumkan kandidat yang mendampingi maka Jokowi kemudian
berhasil “mengambil timing” untuk mengendalikan dan arah pilpres 2019.
Sebagai
politisi yang mumpuni, si Ceking Jokowi jago memainkan “emosi” public. Entah
dengan mengumpankannya nama-nama dengan inisial atau awalan “M”, membiarkan
pertarungan Muhaimin Iskandar (cak Imin) dengan Mahfud hingga kemudian
mengibarkan bendera “siap” memasuki pilpres 2019.
Suara
kemudian menggema. Dengan melakukan “kick of” menawarkan Mahfud MD yang
kemudian ditentang oleh Cak Imin maka kemudian Jokowi melempar dan melihat respon
dari NU. Sebuah strategi jitu untuk “menyiapkan” MA sebagai “sandaran utama”.
Banyak
yang mengaitkan “Tarik menarik” antara Cak Imin dan Mahfud adalah “kegelisahan”
Jokowi didalam menentukan komposisi Cawapres.
Padahal sebulan yang lalu, Jokowi sudah mengirimkan pesan. Mencari
pendampingnya yang tidak berambisi jabatan Wapres. Sebuah “kemewahan” setelah
pilpres 2024. Sebuah iklan gratis setelah Jokowi diperkirakan menang pilpres
2019.
Dengan
mengumpankan Mahfud MD dan mendapatkan penolakan keras dari Cak Imin maka
Jokowi akan “menghandle” Mahfud MD. Strategi “meminjam tangan” orang lain untuk
ditolak.
Ketika
Mahfud kemudian disebut-sebut bukan kader NU yang dimainkan maka selain
berhasil “menghandle” Mahfud, justru MA dikeluarkan dari kantongnya. Tanpa
reserve maka tema “kader NU” justru tidak terbantahkan. Dalam strategi ‘seni
diplomasi” cara ini biasa dikenal dalam “pertarungan diplomasi” yang jenius.
Sang lawan justru akan terjebak dengan “jaringan” yang sesungguhnya sudah
disiapkan.
Selain
mendapatkan bonus dari NU, dipilihnya MA maka akan memutuskan mata rantai
terhadap issu “tidak islami’. Dengan bobot MA baik sebagai “sanad” yang jelas
dalam jaringan NU, sebagai Ketua MUI, Jokowi berhasil menjungkalbalikkan peta
“hijau’. Sebuah peta yang tidak boleh diremehkan dalam kancah politik
kontemporer.
Sebagai
politisi bertangan dingin, sabar dan mampu menguasai panggung politik, jejak
Jokowi memang tidak pernah kalah. Dua kali menjadi Walikota Solo, Gubernur
Jakarta dan menjadi pemenang Pilpres 2014, Jokowi melambangkan konsepsi
kepemimpinan Jawa. Berhitung dengan cermat, counter attack bahkan mampu
bermain-main di gelanggang musuh dengan tenang.
Memasuki
periode pertama dengan Tarik menarik dengan parlemen, Jokowi dengan tenang
berhasil menyelesaikan dengan baik. Ancaman “tidak dilantik” sama sekali tidak
terbukti. Bahkan Jokowi berhasil “merebut” suara Partai Golkar dan PPP yang
kemudian menjadi barisan mendukung Jokowi.
Belum
usai menyelesaikan di parlemen, suasana panas KPK dan Kepolisian mulai
mengemuka. Namun dengan kejelian, sabar menghitung waktu, Jokowi jitu tanpa
harus dikalahkan. Diangkatnya Wakil Kapolri sebagai Kapolri merupakan jalan
tengah “Tarik menarik” antara PDIP yang mengusung Budi Gunawan dan penetapan
tersangka oleh KPK. Kejelian dan “strategi ciamik” yang berhasil meredam kedua
belah.
Saya
teringat status FB Jokowi ketika menyelesaikan kasus KPK-Kepolisian. “Suro
Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti..." segala sifat keras hati,
picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati,
dan sabar..
Begitu
juga ketika diangkatnya Tito sebagai Kapolri dengan dingin maka hampir praktis
riak-riak mampu dilewatinya dengan mudah.
Periode
yang paling sulit justru aksi 212. Peristiwa yang paling rumit diantara issu
agama dan kebhinekaan. Namun dengan hadirnya Jokowi ditengah-tengah aksi mampu
meredam dan kemudian berhasil melewati dengan baik.
Dalam
alam kosmopolitan, makna “Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening
Pangastuti..." adalah manifestasi dari keguyuban,
keharmonisan, kedamaian dan keselarasan. Menyelesaikan persoalan
“kerumitan” tanpa ingin menang sendiri. Jokowi ingin menyelesaikannya
tanpa ada yang merasa dikalahkan.
Bukankah
dengan diangkatnya Wakapolri menjadi Kapolri adalah jalan tengah yang dapat
diterima kedua belah pihak seperti KPK dan Kepolisian.
Benar.
Setelah diangkatnya Wakapolri menjadi Kapolri, praktis “gaduh” antara KPK dan
Kepolisian tidak terdengar lagi.
Bahkan
berbagai peristiwa OTT, dukungan dari Kepolisian justru memudahkan di berbagai
daerah. Entah beberapa kali setiap konferensi pers, KPK selalu memulai dengan
ucapan terima kasih kepada Kapolda-kapolda yang memberikan dukungan.
Begitu
juga dalam kasus Ahok. Begitu banyak pihak yang menghujat.
Namun
Jokowi dengan sabar meladeni. Dan dengan sabar kemudian Jokowi “memainkan”
pertarungan sehingga dapat diketahui apakah memang kasus ini memang berkaitan
dengan hukum atau memang ada “desain agenda” terhadap negara,
Terlepas
dari sebagian yang belum menerima putusan Ahok, dengan menyerahkan kepada kasus
hukum maka “kegaduhan” tidak perlu lagi terjadi.
Terlepas
dari kegaduhan yang masih terjadi maka dengan memotret lebih jeli, maka ada
“scenario” yang hendak dimainkan. Skenario kemudian terbaca.
Penumpang
gelap yang menjadi “benalu” dalam kasus Ahok mulai kelihatan. Dengan “setting”
khilafah, maka HTI kemudian dibubarkan. Sebuah asas yang bertentangan dengan
negara. Sebuah sikap politik yang kemudian dibenarkan oleh hukum. HTI kemudian
dinyatakan terlarang dan dibubarkan. HTI kemudian adalah organisasi terlarang
seperti PKI, Masyumi dan PSI.
Lalu
mengapa kemudian banyak yang kaget dengan pengumuman terhadap Ma’ruf Amin.
Ya.
Monggo. Belajarlah seni kepemimpinan Jawa.
Politik
tanpa gaduh.
Lalu
pelajaran apa yang bisa kita Tarik dari penetapan Ma’aruf Amin ?
Gampang.
Pilpres 2019 tidak ada “privilege” kepada partai atau kelompok tertentu. Semua
mendapatkan kesempatan yang sama.
Maka
tahun 2014 merupakan start yang seimbang untuk mempersiapkan kepemimpinan
nasional. Sebuah gelanggang sehat yang ditawarkan Jokowi.
Advokat. Tinggal di Jambi
Dimuat di serujambi.com, 11 Agustus 2018
https://www.serujambi.com/2018/opini-politik-tanpa-gaduh/