24 April 2019

opini musri nauli : RESPEK


Mari kita lupakan tentang Copras-capres 2019. Mari kita lupakan alasan dari pihak manapun “siapa Pemenang Pilpres 2019”.

Mari kita sejenak memalingkan wajah. Menundukkan wajah. Tafakkur. Mengucapkan duka mendalam terhadap korban yang terus berjatuhan. Panitia KPPS di 20 Provinsi. Kabar dari KPU sudah mencapai angka ratusan. Bayangkan. Ratusan. Bukan puluhan orang lagi.
Mari kita hentikan “perdebatan” tentang KPU curang atau tuduhan lain. Mari kita sejenak memandang kinerja KPPS.

Dengan rata-rata setiap TPS mencapai 300-an mata pilih dengan 5 lembar surat suara. Bisa dibayangkan “menghitung” suara yang diraih.

Berbeda dengan Pemilihan Presiden yang “cuma” 2 pasang, dengan rata-rata mengucapkan nama Pilpres yang terpilih, maka dibutuhkan paling maksimal 5 detik untuk setiap surat suara. Plong. Maka hanya membutuhkan 1500 detik. Atau 25-30 menit.

Namun untuk Pemilihan DPRD Kabupaten/kota yang kertas suaranya “sebesar kertas koran”, maka rata-rata melihat 15-25 detik. Dikalikan 300 kertas suara. 7500 detik. Paling cepat 3-3,5 jam. Begitu juga DPRD Provinsi, DPR-RI dan DPD.

Belum lagi memindahkan hasil penghitungan dengan seabrek dokumen untuk diserahkan kepada KPU.

Selain hati-hati, untuk menghindarkan kecurangan, maka setiap surat suara diperhatikan betul, disaksikan para saksi, Pengawas Pemilu, pihak keamanan, bahkan masyarakat. Semuanya dapat menyaksikan dengan baik setiap proses yang berlangsung. Sehingga tidak salah kemudian “rata-rata” hingga menjelang subuh.

Sedikit sekali kita menerima kabar adanya kecurangan didalam penghitungan. Setiap lembar hasil penghitungan, para pihak mengantongi sebagai arsip. Sehingga tuduhan “adanya kecurangan” sama sekali menebar angin. Tidak berfaedah. Dan justru melukai nurani para pihak penyelenggara pemilu.

“Ya, bang. Kami sebagai petugas juga terasa betul capeknya masalah pemilu serentak ini”, kata Sekdes di Desa Pulau Burung, Tembilahan, Riau. Sekdes yang kukenal ketika saya mendatangi desa mereka maret 2019.

Terbayang kinerja dan sumbangsihnya pelaksanaan Pemilu serentak 2019. Terbayang loyalitas dan ketulusan mereka terhadap suksesnya acara di TPS. Terbayang wajah tulus dan tanpa pamrih untuk menyelesaikan tugasnya.

“Itu amanat, pak sekdes. Cuma Tuhan yang membalasnya. Bukankah Tuhan mengetahui orang yang bekerja untuk orang banyak ?”, kataku menghibur. Terbayang beban tugas maha berat.

“Kalo amanat, kami tunaikan, bang. Tapi pagi-pagi sudah menuduh kami curang, itu menyakitkan”, balas SMSnya. Mengungkapkan kekesalannya.

Akupun mendengarkan. Sembari membaca pelan-pelan dan membalasnya, kupikir apa kalimat yang tepat. “Saya merasakan, pak sekdes. Biarlah. Waktu yang menjawabnya”, kataku. Semoga dapat meneduhkan hatinya yang sedang kesal. Kinerja sebagai petugas pemilu yang dipersoalkan “orang-orang” yang cuma twit dari ruang ber-AC.

“Amin, bang”, katanya. Lega rasanya ketika menerima jawaban SMS ditengah malam.

Disaat inilah, sudah saatnya “rasa respek” kita haturkan kepada seluruh penyelenggara, panitia Pemilu serentak 2019”. Ditangan merekalah, nasib kita dipertaruhkan. Merekalah “pejuang demokrasi”. Merelah pahlawan-pahlawan demokrasi.

Alangkah eloknya, sebelum rapat pleno KPU Kabupaten/kota/Provinsi hingga KPU nasional kemudian mengajak yang hadir untuk berdiri. Mengheningkan cipta terhadap upaya kerja keras dari seluruh penyelenggara, panitia Pemilu serentak 2019. Sembari mengingatkan akan sumbangsih yang tiada terkira.

Sembari itu, sudah saatnya “kita memikirkan” dana santunan terhadap keluarga yang ditinggalkan.

Mereka “mungkin” tidak butuh itu lagi. Namun respek dari kita semua membuat Pemilu serentak menjadi beradab.

Salam hormatku.


Respek untuk mereka semuanya.