Mari
kita lupakan tentang Copras-capres 2019. Mari kita lupakan alasan dari pihak
manapun “siapa Pemenang Pilpres 2019”.
Mari
kita sejenak memalingkan wajah. Menundukkan wajah. Tafakkur. Mengucapkan duka
mendalam terhadap korban yang terus berjatuhan. Panitia KPPS di 20 Provinsi.
Kabar dari KPU sudah mencapai angka ratusan. Bayangkan. Ratusan. Bukan puluhan
orang lagi.
Mari
kita hentikan “perdebatan” tentang KPU curang atau tuduhan lain. Mari kita
sejenak memandang kinerja KPPS.
Dengan
rata-rata setiap TPS mencapai 300-an mata pilih dengan 5 lembar surat suara.
Bisa dibayangkan “menghitung” suara yang diraih.
Berbeda
dengan Pemilihan Presiden yang “cuma” 2 pasang, dengan rata-rata mengucapkan
nama Pilpres yang terpilih, maka dibutuhkan paling maksimal 5 detik untuk
setiap surat suara. Plong. Maka hanya membutuhkan 1500 detik. Atau 25-30 menit.
Namun
untuk Pemilihan DPRD Kabupaten/kota yang kertas suaranya “sebesar kertas koran”,
maka rata-rata melihat 15-25 detik. Dikalikan 300 kertas suara. 7500 detik.
Paling cepat 3-3,5 jam. Begitu juga DPRD Provinsi, DPR-RI dan DPD.
Belum
lagi memindahkan hasil penghitungan dengan seabrek dokumen untuk diserahkan
kepada KPU.
Selain
hati-hati, untuk menghindarkan kecurangan, maka setiap surat suara diperhatikan
betul, disaksikan para saksi, Pengawas Pemilu, pihak keamanan, bahkan
masyarakat. Semuanya dapat menyaksikan dengan baik setiap proses yang
berlangsung. Sehingga tidak salah kemudian “rata-rata” hingga menjelang subuh.
Sedikit
sekali kita menerima kabar adanya kecurangan didalam penghitungan. Setiap lembar
hasil penghitungan, para pihak mengantongi sebagai arsip. Sehingga tuduhan “adanya
kecurangan” sama sekali menebar angin. Tidak berfaedah. Dan justru melukai
nurani para pihak penyelenggara pemilu.
“Ya, bang. Kami sebagai petugas
juga terasa betul capeknya masalah pemilu serentak ini”, kata Sekdes di Desa Pulau Burung, Tembilahan,
Riau. Sekdes yang kukenal ketika saya mendatangi desa mereka maret 2019.
Terbayang
kinerja dan sumbangsihnya pelaksanaan Pemilu serentak 2019. Terbayang loyalitas
dan ketulusan mereka terhadap suksesnya acara di TPS. Terbayang wajah tulus dan
tanpa pamrih untuk menyelesaikan tugasnya.
“Itu
amanat, pak sekdes. Cuma Tuhan yang membalasnya. Bukankah Tuhan mengetahui
orang yang bekerja untuk orang banyak ?”, kataku menghibur. Terbayang beban
tugas maha berat.
“Kalo
amanat, kami tunaikan, bang. Tapi pagi-pagi sudah menuduh kami curang, itu
menyakitkan”, balas SMSnya. Mengungkapkan kekesalannya.
Akupun
mendengarkan. Sembari membaca pelan-pelan dan membalasnya, kupikir apa kalimat
yang tepat. “Saya merasakan, pak sekdes. Biarlah. Waktu yang menjawabnya”,
kataku. Semoga dapat meneduhkan hatinya yang sedang kesal. Kinerja sebagai
petugas pemilu yang dipersoalkan “orang-orang” yang cuma twit dari ruang
ber-AC.
“Amin,
bang”, katanya. Lega rasanya ketika menerima jawaban SMS ditengah malam.
Disaat
inilah, sudah saatnya “rasa respek” kita haturkan kepada seluruh penyelenggara,
panitia Pemilu serentak 2019”. Ditangan merekalah, nasib kita dipertaruhkan.
Merekalah “pejuang demokrasi”. Merelah pahlawan-pahlawan demokrasi.
Alangkah
eloknya, sebelum rapat pleno KPU Kabupaten/kota/Provinsi hingga KPU nasional
kemudian mengajak yang hadir untuk berdiri. Mengheningkan cipta terhadap upaya
kerja keras dari seluruh penyelenggara, panitia Pemilu serentak 2019. Sembari
mengingatkan akan sumbangsih yang tiada terkira.
Sembari
itu, sudah saatnya “kita memikirkan” dana santunan terhadap keluarga yang
ditinggalkan.
Mereka
“mungkin” tidak butuh itu lagi. Namun respek dari kita semua membuat Pemilu
serentak menjadi beradab.
Salam
hormatku.
Respek
untuk mereka semuanya.