Pemilu 2019 telah usai. Pemenang Pemilu yang diraih oleh “incumbent” PDIP kemudian mengantarkan candidate Presiden/Wakil Presiden – Jokowi Widodoi-Makruf Amin telah ditetapkan oleh KPU tanggal 21 Mei 2019. Suksesnya pemilu telah mengantarkan Indonesia memasuki bangsa yang beradab. Ditengah persoalan pelik Pemilu, banyaknya partai, penghitungan yang rumit hingga penentuan berjenjang. Dari TPS-KPU-RI.
Ketika telah usai Pemilu 2019,
maka kita dapat kembali ke aktivitas kehidupan sehari-hari. Yang kerja silahkan
melanjutkan pekerjaannya. Yang Kuliah silahkan kembali ke bangku kuliah.
Terhadap hasil penetapan hasil
Pemilu 2019, yang keberatan penetapan dari KPU dapat mengajukan ke MK.
Mekanisme yang telah diatur didalam peraturan
perundang-undangan.
Sedangkan yang menganggap “adanya”
kecurangan” dapat mengajukan “temuannya” ke Bawaslu. Sehingga dapat diproses
menurut ketentuan.
Dalam hasil pemilu, hampir
keseluruhan partai menerimanya. Dengan hasil yang diraih, PAN dan Partai
Demokrat “jauh-jauh” hari sudah tidak mempersoalkannya. Sehingga rasa “plong”
kemudian membuat suasana adem-adem.
Berbeda dengan pilpres. Partai
Demokrat dan PAN sudah menyatakan dapat menerima hasil penetapan KPU. Sehingga tidak menjadi
bagian poros untuk mempersoalkan hasil pilpres.
Sementara kandidat Prabowo-Sandi
sudah menetapkan akan mempersoalkan keberatan hasilnya dan membawa ke MK.
Mekanisme konstitusional yang dibuka ruang oleh UU.
Namun yang menjadi pertanyaan.
Apakah “suara-suara” protes yang dikumandangkan oleh berbagai kalangan terhadap
hasil pilpres menggambarkan tentang pendukung Prabowo-Sandi ?
Pertama. Yang mengusulkan dan
mengusung candidate Presiden/Wakil Presiden adalah Partai. Partai Gerindra,
PKS, PAN dan Partai Demokrat termasuk Partai Berkarya adalah partai-partai yang
mengusung Prabowo-Sandi sebagai candidate Presiden/Wakil Presiden. Sehingga
partai-partai inilah yang mempunyai kapasitas untuk mempersoalkan keberatan
terhadap hasil pilpres.
PAN dan Partai Demokrat sudah menyatakan
menerima hasil pilpres 2019. Sehingga tidak akan terlibat “cawe-cawe” keberatan
terhadap hasil pilpres. Atau tidak akan mempersoalkan melalui MK.
Sedangkan Partai Gerindra
kemudian sepakat membawa keberatan melalui MK. Sehingga secara konstitusional
menjadi ranah dari MK untuk menilainya.
Mekanisme membawa ke MK kemudian
membawa pertanyaan serius. Lalu bagaimana suara protes yang disampaikan ?
Sebenarnya saya sudah lama “menduga”
ada desain serius untuk mempersoalkan Indonesia. Berbagai konflik di Timur
Tengah seperti di Irak, Afganistan, Mesir, Suriah kemudian yang kemudian
memporak-porandakan negara-negara Timur Tengah kemudian “menyebar” dan akan
mempengaruhi Indonesia.
Lihatlah bagaimana scenario ini
disusun. Berbagai “kepercayaan” public kemudian dihancurkan. Mereka kemudian
membuat “ulama jadi-jadian”, membuat fatwa (entah darimana dasarnya), mempersoalkan
tradisi yang sudah lama diterapkan di Indonesia, membangun milisi, membuat
pertemuan yang berisikan “penolakan” asas negara dan kemudian menawarkan konsep
negara Khilafah.
Belum lagi narasi
ketidakpercayaan terhadap berbagai media, symbol-simbol negara seperti seruan
untuk “tidak mempercayai hasil KPU”, seruan untuk tidak mempercayai Kepolisian
hingga berbagai struktur negara.
Masih ingat ketika adanya “seruan”
untuk menolak mata uang dengan alasan “bukan dari agama” yang sama, menolak
pajak hingga menyebarkan terror. Kesemuanya adalah desain yang tidak ada
hubungan dengan Pemilu. Apalagi Pilpres.
Kemarahan kelompok ini semakin
mengental ketika Pemerintah kemudian membubarkan HTI. Biang kerok dari sumber
berbagai narasi “hasutan’. Mereka kemudian menempel diberbagai tempat. Persis
benalu yang terus menyebarkan benin-benih permusuhan.
Lihatlah. Bagaimana hampir setiap
sendi bangsa Indonesia sudah terpapar ideology dan terus mengaungkan tema “khilafah”.
Entah dikampus-kampus elite, lembaga negara bahkan BUMN-BUMN yang seharusnya “netral”
dan “bersih” dari urusan seperti ini. Termasuk apparat Sipil yang juga harusnya
“tidak cawe-cawe” dari urusan politik.
Sehingga momentum Pilpres cuma “sekedar”
batu loncatan” untuk terus mengaungkan tema khilafah setelah berbagai perangkat
organisasi seperti HTI kemudian sudah dinyatakan terlarang hidup di Indonesia.
Lihatlah narasi yang dibangun
ketika “alasan’ menolak hasil pilpres, tema-tema “khilafah”, seruan untuk
menolak pajak, seruan untuk memprovokasi dan menggunakan kekerasan dan anarkhis
menempatkan “barisan’ penggerak untuk menarik Indonesia dalam kubangan konflik.
Sehingga ketika momentum konflik semakin meningkat, kepercayaan public kepada symbol-simbol
negara semakin hancur, hoax merajalela, peran mereka akan dominan. Sehingga
dapat menawarkan agenda-agenda diluar konstitusi.
Dengan mengamati jejak terhadap “suara-suara”
yang protes diluar dari mekanisme konstitusional maka sudah dipastikan, agenda
terbesar bukan menyampaikan “aspirasi” berkaitan dengan pilpres. Tapi memang
ada “desain besar’ untuk mengganti asas negara. Sebuah upaya serius tidak
semata-mata cuma urusan pilpres. Dan itu tidak sekedar wacana yang dapat
diremehkan.
Sudah saatnya kita bergandengan
tangan untuk menjaga Indonesia. Pekerjaan berat untuk dapat dinikmati generasi
selanjutnya.