Mari
kita hentikan “sejenak” diskusi ataupun aspirasi tentang berbagai “dugaan”
kecurangan pemilu 2019. Biarlah proses di Banwaslu ataupun mekanisme melalui MK
untuk “menguji” terhadap tuduhan kecurangan. Sebagaimana sering disampaikan
oleh Fajar Laksono, jurubicara MK, “siapapun yang mendalilkan maka dirinya
wajib membuktikan. Dalil yang biasa disebut burden of proof, burden of
producing evidence. Dalil yang jamak diterapkan dalam hukum pembuktian di
Pengadilan.
Mari kita “konsentrasikan” kepada
upaya makar, merongrong terhadap pemerintahan yang sah. Konsentrasi terhadap
berbagai upaya untuk “membunuh” pejabat penting termasuk Presiden maupun
rongrongan untuk mengganti asas negara.
Dalam berbagai temuan Kepolisian
(penyidik), rangkaian panjang sudah menemukan benang merah. Ancaman “pembunuhan”
terhadap kepala negara termasuk juga berbagai pejabat penting tidak “sekedar”
cuma memaki-maki sebagaimana diatur didalam UU ITE. Tidak sesederhana itu. Tapi
“by desain” serius didalam melihat kasus ini secara jeli.
Terlepas
dari “motivasi” dari pelaku yang mengancam ataupun “hendak membunuh” Presiden,
perbuatan “formil” dari pelaku sudah memenuhi unsur Pasal 104 KUHP. Secara
tegas limitative, Pasal 104 KUHP menyebutkan “Makar dengan maksud
untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden
memerintah, diancam dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
“Membunuh Presiden” bukan sekedar
kebebasan berbicara dan berpendapat sebagaimana diatur didalam UU ITE. Tapi “motivasi”
kuat untuk mengadakan makar. Ancamannya tidak main-main.
Lihatlah.
“Hukum mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun”. Ancaman
terberat sebagaimana diatur didalam pasal 10 KUHP. Kejahatan yang “serius”
terhadap pemerintahan yang sah.
KUHP
sendiri menegaskan kejahatan makar terdiri dari “Makar dengan maksud
menyerang keselamatan Presiden dan Wakil Presiden yang memerintah (Pasal 104
KUHP), Makar dengan maksud menyerang keutuhan wilayah NKRI (Pasal 106 KUHP), Makar
dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah (Pasal 107 KUHP).
MK
dalam
Putusannya No 7/PUU-XV/2017 sendiri
justru menegaskan, “perbuatan mengancam” atau “hendak membunuh” adalah
perbuatan formil”. Sehingga “tidak perlu adanya akibat” terhadap ancaman
tersebut. Atau “apakah ancaman itu sudah terjadi atau tidak’.
Dalam
ranah ilmu hukum pidana, perbuatan ini lebih dikenal sebagai pidana formil.
Pidana yang sama sekali tidak melihat “akibat”.
Dalam
ilmu hukum pidana, upaya “serangan” kemudian “digunakan istilah “Aanslag”.
Artinya adanya serangan langsung terhadap Presiden. Bahkan upaya persiapanpun sudah termasuk kedalam
perbuatan “formil” makar.
Sehingga
putusan MK kemudian mengabaikan “teori causalitet”. Hukum sebab akibat yang
jamak diterapkan dalam tindak pidana materiil sebagaimana diatur didalam KUHP.
Dengna
demikian maka MK kemudian justru mengaskan, pasal 104 KUHP tidak bertentangan
dengan konstitusi. Sebuah “reduksi” dari sebagian kalangan yang masih
bersikukuh menempatkan “ancaman terhadap Presiden” cuma semata-mata cukup
diatur didalam UU ITE.
Sehingga
melihat “upaya pengancaman membunuh Presiden” tidak semata-mata kemudian hanya
diterapkan UU ITE, tapi diterapkan Pasal 104 KUHP maka “upaya” pembunuhan
seperti “menyiapkan Sniper’, mempersiapkan senjata pembunuh, permufakatan
tentang “rencana matang” untuk membunuh Presiden dan berbagai tokoh nasional
sudah tepat diterapkan pasal 104 KUHP. Tidak hanya sekedar “menyampaikan
aspirasi’. Upaya reduksi untuk “menarik” pelaku untuk dapat dihukum ringan.