20 Januari 2020

opini musri nauli : Depati





Ketika “Depati disebutkan pemimpin Suku Anak Dalam”, saya kemudian tersentak. Entah darimana asal dan sumbernya, menyebutkan “Depati” sebagai pemimpin Suku Anak Dalam adalah sebuah kekeliruan yang cukup serius diperhatikan.

Dipati berarti lebih daripada sekalian. Lembaga depati diperkenalkan oleh raja Jambi lebih dari enam ratus tahun yang lalu sebagai alat untuk memerintah (Lihat Ulu Kozok, Kitab Undang-undang Tanjung Tanah – Naskah Melayu Yang Tertua, Yayasan Naskah Nusantara)

Berdasarkan peta Schetkaart Resindentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, maka daerah-daerah di Jambi telah dibagi berdasarkan Margo dan Batin.

Tideman didalam buku klasiknya “Djambi” tahun 1938 menyebutkan “Dusun adalah kumpulan kampung gelar Rio, Rio Depati atau Depati. Du daerah hilir penguasanya adalah Penghulu atau Mangku dibantu oleh seorang Menti (penyiar, tukang memberi pengumuman).

Sekedar gambaran Depati kemudian menunjuk Dusun-dusun yang termasuk kedalam Marga. Di Marga Serampas dikenal Tembo Induk dan Tembo Anak. Tembo Induk dan Tembo anak. Tembo Induk mencakup wilayah Depati Pulang Jawa, Depati Singo Negoro dan Depati Pemuncak Alam. Sedangkan Tembo anak mencakup wilayah Depati Pulang Jawa dan Depati karti Mudo menggalo. Sehingga dikenal “Depati Seri Bumi Puti Pemuncak Alam Serampas”, “Depati Pulang Jawa”, “Depati Singo Negoro”, “Depati Karti Mudo Menggalo”, “Depati Seniudo”, “Depati Payung”, “Depati Kertau” dan “Depati Siba (Perda Kabupaten Merangin No. 8 Tahun 2016 Tentang  Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Marga Serampas”).

“Tijdschrift voor Nederlandsch IndiĆ«” disebutkan “Sungai Tenang dipimpin seorang Depati sebagai Kepala Marga dari Kota Tapas (Kototapus). Sedangkan Serampei dipimpin oleh Depati dari Tanjung Sri (Tanjung Kasri).

Di Marga Pratin Tuo dikenal Depati Pemuncak Alam, tempatnyo di dusun Tuo . Depati Karto Yudo, tempatnyo di dusun Tanjung Berugo, Nilo Dingin dan Sungai Lalang. Depati Penganggun Besungut Emeh, tempatnyo di dusun Koto Rami dan dusun Rancan dan Depati Purbo Nyato, tempatnyo di dusun Tiaro.

Begitu juga yang disampaikan Sargawi mengenai Marga Tiang Pumpung menyebutkan ““Depati Manjuang di Muara Siau, Depati Agung di Pulau Raman, Rio Depati di Sekancing, Depati Purbo Alam di Dusun Baru, Renah Jelmu, Muara Sakai, Beringin Sanggul dan Renah Manggis. Depati Permai Yudo di Pulau Bayur, Depati Suko Berajo di Selango.


Kembali ke istilah Pemimpin Suku Anak Dalam (Orang Rimba). Menyebutkan “Suku Anak Dalam” tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat yang bermukim di Air Hitam, Kejasung Besar, Kejasung Kecik, Terap, Makekal Ulu dan Makekal Ilir. Masyarakat Suku Anak Dalam lebih suka berikrar sebagai “Orang Rimba”.

Dalam tutur didalam masyarakat dikenal “Pangkal waris”, Ujung Waris dan Air Hitam. Pangkal waris merujuk ke Tanah Garo, Ujung Waris merujuk ke Tanah Serenggam. “Air Hitam – Tanah Bejenang’. Sehingga tutur disampaikan “Pangkal Waris – Tanah Garo”, “Ujung waris – Tanah Serenggam”. “Air Hitam – Tanah Bejenang”. Wilayah ini kemudian dikenal sebagai Taman Nasional Bukit 12 (TNBD).

Sebagai wilayah Provinsi Jambi, Berdasarkan peta Schetkaart Resindentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, maka wilayah Air Hitam kemudian dikenal sebagai Marga Air Hitam.

Didalam struktur, Marga Air Hitam dipimpin seorang pesirah. Setiap Dusun kemudian dipimpin Kepala Dusun. Namun dengan penamaan yang berbeda-beda antara satu dusun dengan dusun yang lain. Untuk pemangku Dusun Lubuk Kepayang diberi gelar Penghulu. Pemangku Dusun Baru disebut Menti. Untuk pemangku Dusun Semurung adalah Patih. Sedangkan pemangku Dusun Jernih Tuo dan Dusun Lubuk Jering diberi gelar Rio (Lubuk Kepayang, Air Hitam, 24 Oktober 2017).

Didalam Marga/batin di Jambi, hanya Marga Air Hitam dikenal sebagai Tanah Bejenang. Istilah Jenang adalah penamaan dari “orang yang dipercaya” dari Tumenggung yang Orang Rimba yang terdapat di Taman Nasional Bukit Dua Belas.

Sehingga Tanah bejenang diartikan sebagai tempat yang dipercaya orang Rimba dari Bukit Dua Belas untuk bertemu, berdagang hingga mengadakan berbagai aktivitas sosial lainnya.  

Hubungan social antara Marga Air Hitam dengan Orang Rimba dikenal dalam istilah “Dulur” atau “Sanak’. Dulur berarti saudara. Sedangkan “sanak” berarti “keluarga” atau “saudara”. 

Didalam Struktur Orang Rimba Bukit 12 Marga Air Hitam, kepemimpinan dikenal istilah Tumenggung. Tumenggung dibantu oleh Wakil Tumenggung, Depati, Mangku, Debalang batin,dan Menti.

Seorang Depati bertugas menangani kasus kasus yang berkaitan dengan hukum. Pembantu lainnya adalah Mangku. Tugas Mangku hampir sama dengan Depati yaitu mengurus masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum. Bedanya kasus kasus hukum yang ditangani oleh Mangku biasanya lebih kecil bobotnya apabila dibandingkan dengan kasus-kasus hukum yang ditangani oleh seorang depati.

Debalang Batin bertugas menjaga dan menegakan keamanan apabila terjadi situasi tak menentu, konflik dengan orang desa misalnya. Menti adalah orang yang bertugas memanggil seorang warga apabila diperlukan oleh Tumenggung atau oleh tokoh Orang Rimba lainnya. Dalam bertugas seorang menti bisa meminta bantuan kepada anak dalam (Buku Putih  - JEJAK LANGKAH ORANG RIMBA - Kisah Perjuangan Orang Rimba Dalam Mempertahankan Hak Atas Sumber Daya Hutan Di Bukit 12 Jambi)

Istilah Tumenggung juga dikenal SAD di Muara Kilis, Sungai Bengkal, Sungai Keruh, Tanah Garo dan Batin 9.

Sehingga istilah “Depati” sebagai pemimpin adat SAD kurang tepat. Depati adalah pemimpin didalam dusun-dusun Marga di Jambi.

Sedangkan “Depati” didalam struktur adat SAD (orang Rimba) adalah wakil Tumenggung. Justru Tumenggung yang menjadi pemimpin SAD (Orang Rimba) sebagai Kepala Rombong.




Advokat. Tinggal di Jambi