“Musri, cepatan buat KRS (kartu
rencana Studi). Ibu tunggu !!!, kata Ibu Hafrida, Dosen PA (Pembimbing
Akademik).
Dosen pengampu mahasiswa untuk
bimbingan kuliah.
“Iya, bu. Ini lagi diisi”, kataku
sewot. Sembari melihat jadwal kuliah.
Pikiranku
cuma satu. Bagaimana kuliah dipadatkan senin – Kamis.
Biar
Jumat-sabtu minggu bisa “touring”.
Maklum semasa mahasiswa “benar-benar’
hidup diatas motor.
Rencana
mengatur jadwal kuliah penting. Selain memastikan “jumat-sabtu-minggu” bisa libur panjang, juga bisa jalan keluar
kota.
Teringat
masa kuliah. Hampir setiap pekan aku keluar kota. Entah nonton roadracross keluar
kota. Bukittinggi, Linggau adalah langganan.
Sebagai
“anak Jambi”, pembalap Jambi memang
dikenal diberbagai lintasan sirkuit. Anak Jambi dengan mental baja adalah jago
tikungan.
“Siapapun boleh start duluan. Namun anak
Jambi selalu “jago tikungan terakhir”. Demikian slogan dikalangan pembalap
ketika. Itu.
Suasana heroik itulah yang membuat kuliah menjadi “pengaturan” agar bisa liburan. Sembari menonton roadcross.
Dengan
banyaknya motor mengikuti dari Jambi, pengunjung dari Jambi selalu menarik
perhatian penonton banyak. Suasana itulah yang selalu menjadi alasan utama
mengatur “jadwal kuliah”.
Hobiku
semakin menjadi-jadi. Setelah masuk Mapala, setiap awal semester bukan
menghitung IP, tapi sibuk melihat jadwal kuliah. Tentu saja mengatur jadwal “mendaki gunung’.
Hingga
tidak salah kemudian kemudian aku banyak bergabung dengan mahasiswa genap dalam
mengambil mata kuliah. Bahkan tidak sungkan bergabung dengan mahasiswa adik
tingkat.
Teringat
percakapan 30 tahun yang lalu. Ketika seorang Ibu Dosen yang gigih “selalu” mendesak agar KRS cepat
diselesaikan. Sembari duduk di kursi, sebentar-sebentar keluar memastikan agar
aku mengisi KRS. Tentu saja mengatur jadwal dengan “alasan menonton roadcross”, tidak pernah aku sampaikan.
“Waduh. Kamu terlalu banyak mengambil mata
kuliah ini. Digeser waktunya. Biar kamu tidak kecapean setiap hari kuliah”,
saran Ibu Hafrida. Melihat KRS yang padat kuliah. Senin – Kamis. Setiap jam.
Bayangkan !!!.
“Biarlah, bu. Saya sanggup”, kata saya
menutupi alasan.
“Ya, udah. Semester ini kita coba. Nanti kalau
ada nilai yang jatuh, kamu harus perbaiki jadwalmu”, kata Ibu Hafrida
sembari menandatangani KRS. Tanda persetujuan KRS.
Hari
ini saya kemudian mendapatkan kabar. Bu Dosen mengikuti jenjang pendidikan
tertinggi. Mengambil doktor. Beliau kemudian mengikuti ujian terbuka.
Selamat,
bu Hafrida. Maafkan mahasiswamu yang bandel.
Terima
kasih atas dedikasimu. Pengayom sekaligus Ibu membimbing mahasiswa.