Mengikuti diskusi yang dipaparkan oleh Bahren Nurdin yang berjudul “Menjadi Pemilih Loyalis Rasionalis”, seketika saya tertawa terbahak-bahak.
Dengan perumpamaan membeli ikan sungai di pasar, perumpamaan yang disampaikan Bahren mendukung tema yang dipaparkan. “Loyalis” dan “rasioanis”.
Ide tentang alinea terakhir menyebutkan “setiah pada pasangan calon yang dipilih dengan tetap mengedepankan nilai-nilai rasional” kemudian disambung “loyalis rasionalis”.
Perumpamaan dengan membeli ikan sungai segar dipasar membuat idenya menarik untuk diikuti..
Mengikuti alur pemikiran yang disampaikan oleh Bahren, saya malah memberikan sebuah perumpamaan yanh berbeda.
Salesmen..
Secara umum, istilah salesmen dilekatkan kepada penjual. Seseorang yang bertugas “mempromosikan barang untuk dijual.
Sebagai “sales”, maka dia memang bertugas untuk mempromosikan barang dagangan agar laku. Termasuk teknik-teknik, membujuk para pembeli. Bahkan tidak henti-henti menghubungi pembeli agar bersedia menolehkan dan segera membeli produknya.
Namun di ranah politik, rasioanlitas menempatkan sebagai pilihan utama.
Memilih ketua kelas dipastikan bukanlah murid yang suko bolos. Atau murid yang kabur disaat teman-temannya kena marah.
Ketua kelas harus menghadapi tekanan guru. Bahkan apabila diperlukan, dia mengambil alih tanggungjawab kesalahan temannya.
Memilih ketua kelas adalah orang yang memikirkan nasib teman-temannya. Saya memberikan istilah“rekam jejak”. Rekam jejak kemudian menempatkan pilihan menjadi rasional. Meminjam istilah Bahren menyebutkan “loyalis rasionalis”.
Pilihan politik bukanlah tugas sales. Tapi tugas tim sukses meyakinkan pemilih agar memilih dengan rasionalitas.
Memilih rasionalitas bukan semata-mata menggambarkan mengapa memilih kandidat.. Tapi mengajak memilih karena memang rasional dipilih.
Dalam kancah demokrasi praktis, berbagai slogan, kampanye tetap terukur. Apakah program yang diusung memang “rasional” untuk dijalankan.
Jangan terjebak dengan slogan namun sulit untuk dilaksanakan. Bahkan sang kandidat malah “asal cuap”. Dan sama sekali tidak melihat apakah program itu dilaksanakan atau tidak.
Dari sudut pandang inilah, Bahren kemudian mengkritik. Jangan membabi-buta untuk mendukung. Apalagi ditambah suara supporter yang gegap gempita.
Kritikan Bahren cukup pedas.. Memilihlah dengan rasional.
Meminjam pemikiran Bahren, alasan rasional ketika memilih menampakkan watak dari pemilih. Pilihan menggambarkan cara pandang pemilih.
Di saat demokrasi semakin baik, pilihan kandidat semakin beragam, maka rakyat kemudian menjadi banyak pilihan.
Demokrasi kemudian mengajarkan rasionalitas, Rasionalitas yang berangkat dari “rekam jejak”, Rasionalitas kemudian menjadi loyalis. Tentu saja bukan loyalis buta. Loyalis semu..
Sekali lagi, ide dari Bahren menarik untuk disentil. Agar tidak fanatisme semu untuk mendukung di Pilkada..
Selamat datang pilkada Jambi.
Selamat memilih
Opini Musri Nauli
Jambi dalam hukum
Jambi
Lihat opini Musri Nauli di www.musri-nauli.bogspot.com