08 Oktober 2020

Opini musri nauli : Sekali Lagi Tentang Omnisbus Law

 



Ketika berbagai pihak kemudian melakukan penolakan terhadap RUU-Omnibus Law yang kemudian “masih dilanjutkan” pembahasannya, maka penolakan semakin massif. Bahkan ketika DPR-Pemerintah kemudian tetap melanjutkan pembahasan hingga pengesahan, amarah public tidak dapat dihindarkan. Publik kemudian disuguhkan “perdebatan” yang tidak substansi. 


Namun teriakkan “supporter (cheeflead)” lebih menggelikan dibandingkan dengan pengesahan itu sendiri. 


Berbagai meme kemudian menghiasai media maya. Entah dengan “enteng” menuduh sang penolak tidak membacanya, adanya “susupan” agenda ataupun “ada yang membiayai”. 


Nurani pubik seakan-akan “dipacu” untuk melakukan perlawanan. Apalagi kemudian “skill komunikasi” yang buruk dari negara. 


Secara umum, penolakan publik tidak dapat dilepaskan dari pandangan berbagai kalangan akademisi. Berbagai sektor baik dilihat dari tatacara penyusunan peraturan perundang-undangan, materi yang diatur, berbagai putusan MK yang kemudian “malah” kembali dimasukkan kembali ke materi RUU hingga berbagai pertemuan ilmiah. 


Nama-nama seperti Prof. Hariadi Kartodijardjo, Prof. Maria Farida Indrati, Prof. Maria Sumardjono, Zainal Muchtar, Susi Dwi Harijanti adalah nama-nama yang mempunyai latar belakang berpuluh tahun tekun dibidang Hukum, Agraria dan Kehutanan. Belum lagi berbagai kampus yang bersuara untuk menolaknya. 


Organisasi masyarakat sipil yang terkenal justru menjadi “penolak” utama melihat Omnibus Law. 


Sehingga dipastikan, sang penolak yang menuduh “tidak membacanya”, merendahkan logika publik. Sekaligus mengganggu Nurani publik. 


Secara pribadi, saya juga pernah menuliskannya “Reading the Indonesia Omnibus Bill on Job Creation”. Dan dimuat di media internasional. 


Namun dalam diskusi yang hendak saya sampaikan bukanlah berkaitan dengan materi “penolakan” omnibus law. 


Tapi reaktif defensif berbagai pihak menyikapinya. 


Pertama. Tuduhan adanya “susupan” agenda ataupun “ada yang membiayai”. 


Cara ini dikenal Argumentum ad Loculun”. Argumentasi ini sering dipakai untuk menggertak lawan namun sama sekali tidak membicarakan apa yang dibicarakan. 


Sekali lagi cara-cara ini digunakan para pendukung omnibus law. Tuduhan yang disampaikan selain tidak membuka “ruang” untuk perdebatan substansi omnibus law justru menjauhkan publik dengan negara. 


Cara ini juga sering digunakan oleh negara. 


Kedua. Kesesatan berfikir. 


Entah mengapa cara ini digunakan sebagai “counter” terhadap aksi-aksi penolakkan. 


Masih ingat ketika “publik” kemudian digiring “vandalisme” ataupun “anarkis” terhadap aksi-aksi penolakkan. 


Terlepas dari peristiwa yang berujung proses hukum-ranah yang mesti diselesaikan hukum, pesan publik terhadap penolakkan harus diberi ruang. 


Penolakkan publik harus ditangkap sebagai “resistensi” publik terhadap omnibus law. Bukan menempatkan “vandalisme” dan “anarkis” sebagai tema utama didalam melihat reaksi publik. 


Ketiga. Komunikasi yang kurang efektif. 


Ketika penjelasan dari berbagai perangkat negara, entah melalui jurubicara, partai, anggota DPR ataupun dari Pemerintah, penjelasan yang disampaikan sering “kurang nyambung”. 


Selain “mengajak” pembahasan yang “berat-berat”, kurang menarik juga informasinya yang disampaikan juga berangkat dari rasa “trust” publik yang lagi rendah. 


Bagaimana publik bisa menerima penjelasan dari berbagai perangkat negara, ketika “dijanjikan” pembahasannya “melihat keadaan”. Namun proses pembahasan “jalan terus”. 


Atau rakyat kemudian diminta berkonsentrasi menghadapi pandemi virus corona namun DPR-Pemerintah “seakan-akan” mengebut pembahasannya. 


Belum lagi berbagai drama yang membuat “geram” publik. 


Namun terlepas dari semua itu, reaksi publik, penolakkan omnibus law dari berbagai kalangan membuktikan. Generasi baru telah hadir. 


Mereka mulai paham dengan dunia politik (voter education). Mereka mulai sadar akan masa depan. 


Mereka kelahiran tahun 1990-an. Bahkan kelahiran 2000-an. 


Mereka menyaksikan di sekeliling mereka. Mereka menyaksikan ataupun mendengarkan “petuah” orang tua yang bicara “sok-sokan” bicara moral. Tapi malah tersangkut kasus korupsi. 


Mereka sudah muak dengan keadaan. 


Dan mereka memilih dunia sendiri. Merekalah yang akan mengisi zaman yang akan datang. 


Dan mereka akan tertawa menyaksikan “bapak” atau “paman” yang dulu turun ke jalanan angkatan 98’, justru menuduh mereka sebagai “Vandalisme” ataupun “anarkis”. 


Dengan lantang mereka akan berujar. “Selamat jalan angkatan 98’. 


Selamat datang anak muda Indonesia.


Pencarian terkait : Musri nauli, opini musri nauli, jambi dalam hukum, hukum adat jambi, jambi, 


Opini Musri Nauli dapat dilihat : www.musri-nauli.blogspot.com