Membaca berita anak-anak sekolah yang kemudian mendatangi DPRD Kota Jambi menimbulkan berbagai polemik. Sebagian mengecam. Sebagian kemudian melihat dari sudut pandang yang berbeda.
Melihat anak-anak sekolah berbaju putih-biru muda membuktikan yang datang adalah anak-anak sekolah tingkat Atas. Atau anak-anak masih dibawah umur.
Kebetulan UU masih mengamanatkan yang disebut dewasa adalah orang yang berumur 18 tahun. Sehingga dipastikan berdasarkan UU Perlindungan Anak dapat dikategorikan sebagai “anak dibawah umur”. Begitu juga UU Pengadilan Anak. Masih menempatkan “dibawah 18 tahun” belum dewasa.
Kategori “belum dewasa” menempatkan mereka tidak boleh diperlakukan sebagaimana “orang dewasa’. Entah proses hukum yang harus cepat, didampingi orang tua ataupun Penasehat Hukum. Bahkan didalam persidangan, Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat Hukum tidak dibenarkan memakai toga. Pakaian resmi didalam persidangan pidana.
Kategori “belum dewasa” juga menyebabkan “belum pantas” bertindak dimuka hukum. Sehingga hukum harus melindungi kepentingannya. Termasuk bagaimana pertanggungjawaban pidana.
Sehingga dipastikan, “apapun” perbuatan mereka, mereka tidak dapat dipersalahkan. Yang menjadi “tanggungjawab” hukum adalah “guru” atau Kepala Sekolah (apabila di jam belajar). Dan “orang tua” diluar jam belajar. Bahkan “negara” dapat diminta pertanggungjawaban. Baik didalam rangka pembinaan maupun pengurusan hukumnya.
Berbeda dengan mahasiswa yang “sudah dewasa” yang sudah berumur diatas 18 tahun. Mempunyai tanggungjawab hukum. Dan bertindak dimuka hukum sebagaimana layaknya orang dewasa.
Namun saya kemudian kecewa. Berbagai aktivis yang kukenal selama ini mendukung Gerakan mahasiswa justru malah “mengutuk” perbuatan yang dilakukan anak sekolah.
Padahal selama ini kukenal “dia” selalu mendukung Gerakan mahasiswa. Entah Gerakan mahasiswa yang kadangkala berakhir anarkis. Bukankah “gandengan tangan” justru memperkuat Gerakan mahasiswa semakin massif.
Dan saya kemudian semakin kecewa. Ketika “Gerakan mahasiswa” yang berakhir anarkis justru berapi-api membela Gerakan mahasiswa. Namun kemudian menjadi “tirani” perbuatan yang dilakukan anak sekolah.
Padahal secara bijaksana, problema sebenarnya bukanlah di perbuatan anak sekolah. Tapi harus dicari “dalang” atau “actor intelektual”. Secara hukum dikenal sebagai “dader”.
Mengapa “tiba-tiba” tanpa “ba-bi-bu” ada perbuatan yang kemudian “disasar” ke DPRD Kota. Siapa yang merencanakannya. Tugas penegak hukum yang harus membongkarnya.
Sembari menunggu pengumuman resmi dari apparat penegak hukum untuk mencari “dalang” atau “actor intelektual” untuk menentukan “dader”, alangkah baiknya seluruh proses hukum tunduk kepada mekanisme Pengadilan Anak. Proses hukum harus mengacu kepada “pelaku anak”. Sehingga “anak” diperlakukan secara “sabar” dan motif “pembinaan”. Proses hukum yang diatur didalam konstitusi.
Terhadap pihak-pihak yang mengecam terhadap perbuatan anak sekolah. Sudah saatnya tidak boleh ambigu. Terhadap aksi-aksi mahasiswa yang berakhir anarkis cenderung membelanya. Namun terhadap perbuatan anak Sekolah “seolah-olah” mengutuknya.
Sikap ambigu terhadap aksi mahasiswa dan perbuatan anak sekolah justru malah meminggirkan persoalan sebenarnya. Dan menempatkan anak sekolah menjadi “terhukum” sebelum proses hukum dilangsungkan.
Pencarian terkait : Musri nauli, opini musri nauli, jambi dalam hukum, hukum adat jambi, jambi,
Opini Musri Nauli dapat dilihat : www.musri-nauli.blogspot.com