29 November 2020

opini musri nauli : Kerbau dalam Pandangan Adat di Jambi

 

Selain emas sebagai ukuran didalam melihat penghitungan di Jambi, kerbau juga dikenal didalam masyarakat Melayu Jambi. 

Seloko yang paling sering disebut seperti “kerbo sekok. Beras seratus
 adalah denda yang paling berat terhadap hukuman dijatuhkan. 


Istilah kerbo sekok diartikan “kerbau satu ekor”. Sedangkan “beras seratus” diartikan 100 gantang. 


Namun terhadap kesalahan berat selain “kerbo sekok. Beras seratus” juga dikenal “kambing sekok. Bereh duo puluh”. Kambing sekok diartikan “kambing seekor”. Sedangkan “bereh duo puluh” diartikan “beras dua puluh gantang”. 


Sedangkan kesalahan ringan dikenal “ayam sekok. Beras segantang”. Diartikan “ayam seekor. Beras segantang”. 


Gantang terdiri dari 10 canting. Atau dikonversi menjadi 2,5 kg. Ada juga menyebutkan satu gantang terdiri dari 3 kg. Atau satu gantang dengan 12 canting atau 12 liter. 


Dibeberapa tempat juga dikenal dengan istilah “canting”. 


Kata canting menunjuk kaleng susu sapi yang kecil. Satu kilogram diukur dengan 4 canting. Ada juga menyebutkan 1 “Canting” sekitar 2 mato”. 


Ukuran diatas Canting biasa disebut Cupak. 1 Cupak diperkirana 1 liter. Diatas Cupak biasa disebut Cubuk atau secanting lebih sedikit. Atau sekitar 5 Mato. 


Selain canting, gantang juga dikenal istilah “pikul”. Satu pikul lebih kurang 100 kg. Sehingga satu ton biasa disebut 10 pikul.


Ukuran kerbau dikenal sebagai Hukum Hewan Ternak. Seperti Seloko “Humo bekandang Siang. Ternak bekandang malam”. Di Marga Batin Pengambang menyebutkan Undang – undang pagar sawah. Sawah bakandang siang. Tonak bakandang malam. Siang bapaga tegak malam bapaga rebah.


Ada juga menyebutkan “Padi Bapaga Siang. Kebau Bakandang Malam”.


Sehingga kerbau merupakan bagian dari Seloko masyarakat Melayu Jambi. Baik ditempatkan sebagai seloko Hukum yang mengatur ternak dan tanah seperti “Humo bekandang Siang. Ternak bekandang Malam” maupun sebagai bentuk sanksi terhadap kesalahan yang berat. 


Simbol kerbau juga ditandai dalam prosesi adat. Kepala Kerbau merupakan tanda pemberian gelar adat. Ataupun prosesi adat yang besar. 


Praktek ini masih sering digunakan. Terutama setelah pelantikan Kepala Desa yang baru dipilih. 


Nah. Upacara adat kemudian ditandai dengan pemotongan kerbau. Kepala kerbau diserahkan sebagai upacara adat. 


Selain itu adanya prosesi “menginjak kepala kerbau”. Prosesi ini dimulai dari ritual mempelai wanita dengan kereta burung garuda. Diselingi dengan kompangan dan pencak silat. 


Setelah itu dilanjutkan berbalas seloko antara kedua ninik mamak yang mewakili kedua penganten. 


Makna “menginjak kepala kerbau” diharapkan agar kedua mempelai meninggalkan sifat buruk ketika masih lajang. Sebagaimana sering disampaikan didalam seloko perkawinan (nasehat perkawinan) seperti “Yang Bujang tinggallah perangai bujang. Yang Gadis tinggallah perangai gadis”. 


Sehingga keduanya memasuki kehidupan baru sebagai kedua mempelai. Tradisi ini kemudian sering juga disebut tradisi “ulur antar”. 


Di beberapa tempat juga dikenal “mantai kerbau”. Tradisi memotong kerbau dilakukan menjelang memasuki bulan Ramadhan. Seekor kerbau ataupun beberapa ekor kerbau kemudian dipotong ditengah lapangan.


Setelah dipotong maka daging kerbau kemudian dibagikan ke seluruh penduduk desa. 


Selain kerbau juga dikenal sapi (jawi) sebagai sanksi hukuman yang berat. Beberapa tempat mengenal jawi sebagai sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan. 


Mahkamah Agung memberikan perhatian terhadap hukum ternak. Sebagaimana putusan Mahkamah Agung Nomor 348 K/Sip/1957 menyebutkan “di waktu kemarau kerbau-kerbau itu dibiarkan saja siang dan malam mengembara di padang-padang dan pemelihara hanya diwajibkan untuk sekali seminggu menengok binatang-binatangnya. 


Ketentuan teknis diatur didalam Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata umum dan Perdata Khusus Buku II, 2007. 


Didalamnya dijelaskan terhadap sita jaminan, maka didalam melakukan penyitaan dan eksekusi dilarang untuk menyita hewan atau perkakas yang benar-benar dibutuhkan untuk mencari nafkah. Makna ini diatur didalam pasal 197 ayat (8) HIR/211 Rbg. 


Dijelaskan lebih lanjut, hewan yang benar-benar dibutuhkan untuk mencari nafkah seperti satu atau dua ekor sapi/kerbau yang benar-benar dibutuhkan untuk mengerjakan sawah. Sedangkan hewan seperti kuda, anjing, burung apabila harganya tinggi dapat disita. 


Pencarian terkait : Opini musri nauli, musri nauli, jambi, sejarah jambi, politik jambi, hukum adat jambi, 


opini lain dapat dilihat di www.musri-nauli.blogspot.com