15 Desember 2020

opini musri nauli : Pilkada dan Pandemi


Berkat karunia Tuhan, Pilkada berlangsung dengan damai dan aman. Rakyat tetap berduyun-duyun ke TPS. Menggunakan haknya untuk memilih. 


Ditengah berbagai seruan dan kekhawatiran pandemic dengan dilaksanakan pilkada, kabar dari negara begitu menggembirakan. 


Pilkada serentak di 9 Provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota berhasil dilalui. Padahal semula ada kekhawatiran, Pilkada akan menimbulkan cluster baru. Cluster pilkada. 


Disampaikan langsung oleh Menko Polhukam, negara mengabarkan ternyata kekhawatiran timbulnya cluster Pilkada tidak terjadi. 


Ditengah disiplin berbagai pihak dengan tetap menggunakan masker, cuci tangan sebelum memasuki TPS, menggunakan sarung tangan selama di TPS akhirnya pelaksanaan pilkada dilalui dengan sukses. 


Bahkan tingkat partisipasi public justru meningkat. Dari 69,02 % (2015) justru naik menjadi 75,82 %. Angka partisipasi public diatas Amerika. 


Dengan disiplin protocol kesehatan, disiplin seluruh lapisan masyarakat, tingkat partisipasi yang tinggi membuyarkan kekhawatiran sebagian kalangan. 


Lalu mengapa ditengah pandemic justru tingkat partisipasi public meningkat ? 


Semula ada kekhawatiran, pandemic membuat masyarakat menjadi takut untuk datang TPS. Kekhawatiran yang membuat pilkada justru akan menjadi “ajang” yang tidak diminati masyarakat. 


Namun ditengah kekhawatiran, tiba-tiba seruan istri saya kemudian membuat saya menemukan jawabannya. 


Ya. Bagi masyarakat, hajatan politik – terlepas Pilpres atau pileg, sebagai proses politik ditangkap masyarakat sebagai “prosesi sosial’. Mempunyai makna dan relasi sosial. Sebagai bentuk interaksi masyarakat dalam kehidupan sosial sehari-hari. 


Makna yang jarang ditangkap oleh lapisan elit ataupun kelas menengah.


Sebagai “prosesi sosial”, lihatlah bagaimana dukungan dari masyarakat terhadap hajatan apapun. 


Entah pilkades. Apalagi pilkada, pileg dan pilpres. 


Bukankah kita sering melihat tayangan televisi ataupun media cetak yang mengabarkan “kesibukan panitia”. Mempersiapkan TPS sebaik mungkin.


Entah dengan mempersiapkan TPS kayak “kondangan”. Panitia juga berpakaian rapi. 


Dibeberapa tempat bahkan tidak sungkan-sungkan menggunakan pakaian adat. 


Panitia juga sering mengimbau masyarakat untuk memilih. Entah dengan keliling rumah, memasang poster di berbagai sudut ataupun seruan yang disampaikan disela-sela usai jumatan. 


Dukungan public terhadap pelaksanaan hajatan politik haruslah ditangkap sebagai dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan pilkada, pileg ataupun pilpres. Sebagai bentuk partisipasi masyarakat yang harus dipandang sebagai “relasi sosial”. Bukan semata-mata urusan politik. 


Sekali saja kita gagal menangkap potret dari dukungan masyarakat, maka semakin jauh kehidupan sosial yang terjadi ditengah masyarakat. Dan semakin sulit kita menangkap potret kehidupan ditengah masyarakat.


Dan itu sedang terjadi dan menjangkiti kelas menengah di Indonesia. Menangkap gejala-gejala sosial dari sudut ruang di kelas ber-AC. Namun gagal menangkap “gejala-gejala sosial” yang tengah terjadi. 


Dan saya kemudian percaya. Semakin kita melangkah keluar rumah, maka gejala-gejala sosial begitu menggembirakan. Sekaligus membungkam mulut para kelas menengah yang “sok tahu” tentang kehidupan sosial yang terjadi disekitar mereka.