“Bang, sejak abang jadi tim sukses nih, pastilah orang tidak banyak lagi membaca opini abang”, kata temanku. Ketika baru saja diumumkan tim pemenangan Al Haris-Sani.
Aku cuma diam. Selain tidak perlu ditanggapi, bagiku menulis adalah sekedar ekspresi. Entah dibaca orang atau tidak. Atau kemudian berguna atau tidak, bagiku tidak penting.
Bukankah Leonardo da Vinci tidak pernah lagi melihat hasil lukisannya. Setelah melukis, dia kemudian tidak pernah memikirkan lukisan yang telah dihasilkannya. Atau dia sama sekali tidak pernah memikirkan tentang pandangan orang tentang lukisannya.
Pelan-pelan kemudian saya mulai meragukan pernyataan temanku. Dengan menulis selain memotret keadaan sekitarnya, menulis adalah memotret dari sudut pandangku. Selain juga mengabadikan peristiwa yang kemudian berguna kelak di suatu hari.
Berbagai peristiwa yang kemudian bisa kulukiskan dengan seuntai kata-kata kemudian menjadi ingatan bagi masyarakat Jambi. Berbagai nama, tempat, wilayah, sejarah yang semula Cuma sekedar peristiwa bisa kemudian menjadi tagline. Menjadi ingatan perjalanan panjang politik Al-Haris-Sani menyusuri jalan-jalan di Jambi. Menaiki ketek. Sepeda motor atau mobil double gardan.
Perjalanan yang dilalui terlalu sayang Cuma sekedar document pohoto. Atau Cuma sekedar selfie ditengah keramaian.
Diberbagai sudut, saya menemukan. Bagaimana cerita dan tutur disela-sela pertemuan. Harapan, optimis, wajah ceria yang didatangi Gubernur Jambi. Atau Wakil Gubernur Jambi.
Program “Pertisun” kadangkala adalah “ikatan emosi” dari pengurus negara terhadap rakyatnya. Dengan tidur, menghilangkan sekat birokrasi, membangun emosional dan tidak perlu ada rekayasa yang membuat “ABS”. Asal Bapak senang.
Dengan tidur didusun, rusaknya jalan, fasilitas masjid yang kurang dirawat, lapangan sepakbola yang kurang dirawat ataupun fasilitas puskesmas yang jarang digunakan menjadi “mata” langsung dari pemimpin. Sehingga keputusan akan mudah dilakukan.
Program “Pertisun” juga sekaligus mengukur stamina dari pemimpin. Agar tetap sehat dan produktif memikirkan rakyatnya.
Tidak ada sekat birokrasi. Tidak ada sekat-sekat komunikasi. Semua bisa menyuarakan suaranya tanpa ragu. Tanpa basa-basi.
Belum lagi ditambah dengan senda gurau yang dilontarkan Al Haris atau Yai Sani ditengah suasana pembicaraan. Belum lagi dialek ataupun logat dari Al Haris yang tetap menampakkan khas Jambi.
Alangkah sayangnya kemudian berbagai peristiwa kemudian berlalu dengan percuma. Sehingga dengan dituliskan berbagai peristiwa dari berbagai pendekatan membuat perjalanan politik yang ditempuh menjadi berarti.
Dan alhamdulilah. Ramalan temanku tentang menulis kemudian terbantahkan. Bahan material, ide yang ditemukan dilapangan membuat aku tetap bisa menulis. Setiap hari hingga menjelang pemilihan.
Dan sekali lagi aku hanya sampaikan. Tuliskan apa yang menjadi “hasrat”, emosi”, gundah gulana, suara senda gurau di lapangan sebagai peristiwa penting. Agar dapat dikenang sebagai perjalanan berarti.
Teringat pesan kakekku. “Semakin banyak negeri dijalani. Semakin banyak cerita yang hendak engkau ceritakan”.
Entah diceritakan kepada teman, sahabat, keluarga, anak-istri dan cucu.
Dan saya memilih untuk menulis. Bukan untuk dibaca atau tidak.
Tapi aku hanya menjalankan amanah kakek. Menceritakan kepada anak-istriku. Dan kelak untuk cucuku.