Untuk sementara, mari kita abaikan dulu hasil Pilgub 2020 yang sebagian kalangan belum mengakui kemenangan Al Haris-Sani. Sebagaimana juga sebagian kalangan belum mengerti mengapa Al Haris-Sani bisa meraup suara dan “meledak di TPS”. Termasuk juga belum mengakui datangnya Al Haris-Sani dari orang yang tidak pernah diunggulkan kemudian “tetap belum diakui” kemenangannya.
Namun sebaiknya mari kita lihat berbagai Pilkada di beberapa tempat. Seperti di Pilkada Batanghari dan Pilkada Sungai Penuh.
Sebagaimana diketahui, untuk sementara keunggulan diraih oleh Fadhil Arief dan Bakhtiar (FAB) untuk Pilkada Batanghari dan Ahmadi Zubir-Alvia Santoni (AZAS) untuk Pilkada Sungai Penuh.
Keduanya mampu “mementahkan” ramalan sebagian pihak. Yang justru menempatkan keduanya “dianggap” tidak mungkin memenangkan pilkada.
Sebagaimana diketahui, keunikan FAB justru paling menarik perhatian. Mengalahkan lawan-lawannya yang merupakan istri Bupati dan anak-anak Bupati Batanghari.
Sebagai “orang muda”, FAB justru “berhitung” dengan meraup yang jauh meninggalkan lawan-lawannya.
Begitu juga AZAS yang “hampir” tidak mendapatkan partai. Bahkan Pilkada Sungai Penuh malah diperkirakan akan menjadi pilkada “melawan kotak kosong”. Begitu digdaya sang lawannya di Pilkada Sungai Penuh. Hampir semua kekuatannya dimiliki.
Entah “memborong partai”, anak Walikota, sumber daya tidak terbatas hingga dukungan partai yang begitu “ramai”.
Yang dilupakan sebagian kalangan adalah “militansi” para pendukungnya. Mereka kukenal “jago tempur” di medan yang sulit.
Sebelum Pilkada dilangsungkan, tim militansi FAB – yang kukenal baik, dengan santai bercerita.
“Kekuatan kami adalah penguasaan lapangan. Kami harus memenangkan suara yang telah dikuasai lawan”. Terpancar wajah optimis dari temanku.
Begitu juga menjelang pilkada Sungai Penuh, tim inti kemudian bercerita. Bagaimana mereka “kesulitan mendapatkan dukungan partai”. Bahkan mereka nyaris tidak mendapatkan dukungan partai.
Kedua tim FAB dan AZAS kukenal sebagai “orang lapangan”. Jago menguasai medan. Bahkan mereka mempunyai barisan yang cukup rapi, terorganisasir dan efektif.
Merekalah yang berjuang dengan militansi dan mobilitas yang tinggi. Merekalah yang kemudian mampu meyakinkan public untuk meraup suara.
Membaca Pilgub, Pilbup dan Pilwako justru “membelakkan mata” berbagai pihak. Sekaligus memberikan pelajaran politik penting.
Kekuatan politik di Jambi tidak hanya “profiling kandidat” semata. Tapi juga dukungan tim yang mempunyai mobilitas tinggi, penguasaan medan dan keyakinan ditengah ketidakpercayaan public.
Merekalah anak-anak muda. Sebagian malah baru memasuki usia 40-an. Bahkan ada yang justru memasuki usia 30-an.
Merekalah yang memberikan “energi” kepada saya. Kepada kita semua. Bagaimana politik dikelola dengan cara-cara yang efektif, tepat sasaran dan mampu mendulang suara.
Merekalah yang akan menguasai politik 10-20 tahun yang akan datang.
Selamat datang, anak Muda.
Kalianlah sang Penakluk.