Akhir-akhir ini, publik Indonesia dihebohkan peristiwa auto plagiasi terhadap pimpinan kampus bergengsi di Indonesia.
Secara sekilas dikabarkan, sang intelektual yang mengirimkan satu karya ilmiah ke beberapa jurnal. Cara inilah yang kemudian dikenal sebagai “self plagiasi” atau “auto plagiasi”.
Apabila melihat makna “plagiat” – kejahatan intelektual yang mengutip karya orang lain tanpa menyebutkan sumbernya, maka cara ini dapat dieliminir melalui regulasi. Sehingga terhadap upaya pengiriman satu karya ilmiah ke beberapa jurnal tidak dapat disebutkan sebagai “plagiat”.
Teringat beberap waktu yang lalu, ketika ada keluhan teman-teman jurnalis media online yang merasa kecewa terhadap seorang penulis dari kampus.
Semula ketika opini dikirimi ke medianya, dia berharap mendapatkan hak publikasi. Hak privilege untuk publikasi yang menjadi daya tarik pembaca.
Namun tidak lama berselang. Diapun kecewa. Setelah mengetahui, opini yang sama juga dimuat di media online lainnya.
Beberapa waktu yang lalu, saya sempat pernah diskusi dengan penulis opini yang rajin menulis di media massa.
Dengan enteng dia berujar, sebelum opini dimuat, sebagai penulis berhak untuk mengirimkan ke media manapun. Sehingga opini dapat dibaca publik.
Sayapun mengerutkan kening. Sebelum menjawab saya kemudian memberikan perumpamaan.
Pertama. Betul sebagai penulis memang mempunyai hak cipta. Hak yang melekat sebagai bentuk penghargaan intelektual terhadap penulis.
Namun ketika karya kemudian dikirimi ke media massa, maka secara tidak langsung, sang penulis memberikan “hak privilege” kepada media massa. Hak siar ataupun hak publikasi.
Hak publikasi adalah hak melekat terhadap media massa yang memuatnya. Sehingga penghargaan kepada media massa yang memuatnya adalah penghormatan terhadap upaya dari media massa yang rela susah payah memuatnya.
Dan tentu saja menjadi elegan apabila satu karya hanya dikirimi satu media saja. Tidak perlu dikirimi massal.
Dengan memberikan hak siar atau hak publikasi maka media massa maka terjadi hubungan saling menghormati.
Saya sedang membayangkan. Bagaimana media yang telah dikirimi opini begitu bergembira. Membayangkan hit ataupun pengunjung yang akan datang melihat opininya. Sebuah kemewahan di zaman sekarang.
Namun begitu kecewa kemudian ternyata juga dimuat di media lain. Benar-benar hopples.
“Kami kecewa, bang. Cuma abang yang mau menulis opini. Tiap opini dikirimi ke media berbeda-beda”, katanya sembari menghirup minuman.
Sayapun diam. Tentu saja membayangkan kecewaan yang dirasakan.
Atau bisa saja, sang penulis memberikan kesempatan kepada media massa untuk memuatnya. Misalnya, apabila beberapa waktu belum dimuat, agar dapat dikabarkan media yang telah dikirimi, agar bahan tersebut dapat dikembalikan. Dan sang penulis dapat mengirimkan ke media lain.
Kedua. Setiap opini adalah keunikan dari sang penulis. Tentu saja sudah ada pembaca menunggu bagaimana pandangan dari penulis terhadap tema tertentu. Sehingga menempatkan satu tulisan di satu media adalah didalam menjaga keunikkannya.
Ketiga. Disaat zaman milenial sekarang ini, kedatangan pembaca yang kemudian dikenal hit adalah cara media massa bersaing dan bertahan.
Sehingga dengan satu opini yang membuat pengunjung untuk membacanya merupakan sebuah cara untuk bersaing dan bertahan.
Lalu mengapa sang penulis begitu royal untuk mengirimkan satu opini ke berbagai media massa. Bukankah rasa respek terhadap media massa harus tetap dijaga.
Hingga sekarang saya mencoba mendisplinkan untuk mengirimkan satu opini ke satu media. Dan bagi saya itu adalah kemewahan.
Saya juga berkepentingan untuk menjaga kemewahan itu. Baik dengan cara menegur media lain yang memuat opini yang telah dimuat maupun dengan cara melarang agar dimuat di media lain.
Kalaupun ada para pihak yang berkeinginan agar dapat memuatnya, justru saya menyilahkan kepada media yang telah memuatnya. Untuk memberikan izin apakah dapat dimuat ke media lain atau tidak. Dan hak privilege itu tetap dipundak media yang telah memuatnya.
Namun berbeda dengan opini yang berkaitan dengan pilgub. Tugas sebagai Direktur Media Publikasi dan Opini Tim Pemenangan Al Haris-Sani yang tetap mengawal agenda-agenda politik, praktis satu opini dikirimi ke berbagai media.
Opini ini haruslah bukanlah dilihat sebagai karya ilmiah. Namun goresan tulisan yang tentu saja sangat subyektif. Dan bertujuan untuk membangun cara pandang dan image Pilgub dari pendekatan personal.